Putri (3) pun tersenyum manis, saat sejumlah wartawan mengarahkan kamera ke wajahnya. Di bagian atas kepalanya dihiasi dengan kartu identitas anak (KIA), yang dipegangi oleh ibunya. KIA itu baru saja diterima Putri dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Lebak, Banten, Jumat (6/12/2019) siang. Ia tak tahu fungsi KIA itu, tetapi tak ada yang perlu dipersoalkan. Putri tersenyum saja, karena ia kini jelas diakui dan tercatat sebagai anak Indonesia.
Tak hanya Putri, puluhan anak yang tinggal di empat desa di sekitar kawasan hunian warga Baduy di Kecamatan Leuwidamar, Lebak hari Jumat menerima pula bukti sah kependudukannya. Mereka, berasal dari Desa Cisimeut, Cisimeut Raya, Nayagati, dan Margawangi, menjadi anak-anak Indonesia yang diakui negara. Selain menerima KIA, sebagian di antara mereka juga menerima akta kelahiran. Bersamaan dengan anak-anak itu, sebagian dari orangtua dan saudara mereka pun menerima kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el), kartu keluarga, dan akta kelahiran.
Penerbitan KIA sebagai bukti identitas dan kependudukan anak-anak Indonesia dimulai sekitar tiga tahun lalu, dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 2 Tahun 2016 Tentang KIA. Fungsi KIA tak berbeda jauh dengan KTP, dan akan tak berfungsi lagi saat anak berusia 17 tahun. KIA diterbitkan untuk lebih memastikan pendataan, perlindungan, dan pelayanan publik. Apalagi, KIA juga merupakan upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional warga negara Indonesia.
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 Pasal menyatakan, Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Ayat (4) menambahkan, Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. Hak warganegara untuk mendapatkan pengakuan mengenai identitasnya pun ditegaskan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, yang diperbarui dengan UU Nomor 24 Tahun 2013. Khusus untuk anak-anak, jaminan atas hak konstitusional mengenai status kependudukannya pun ditegaskan dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 mengenai Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Umar (22), warga Baduy Luar, yang hari Jumat itu bertugas menghibur tetamu dengan meyajikan permainan angklung dan permainan khas suku Baduy, tidak bisa menyembunyikan keinginannya. Dia mengaku sudah memiliki KTP, tetapi sampai kini belum memiliki akta kelahiran. Sejumlah warga di kawasan Baduy pun diketahuinya belum memiliki KIA, KTP-el, akta kelahiran, atau kartu keluarga. Ia berharap layanan kependudukan itu bisa segera menyapa warga di Lebak, terutama warga dari suku yang tinggal di kawasan khusus.
Warga Baduy Luar, Kaimudin yang memiliki empat orang anak, mengakui anak-anaknya pun belum seluruhnya memiliki akta kelahiran. Baru anak nomor tiga yang sudah memilikinya. Anak pertama dan keduanya pernah memiliki akta kelahiran, tetapi tak tahu lagi di mana kini. Oleh karena itu, ia juga ingin dibantu agar anak-anaknya pun segera memiliki bukti sebagai warganegara Indonesia secara legal.
Menurut Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Lebak, Ujang Bahrudin, dari 28 kecamatan dengan 350 desa dan lima kelurahan di Lebak, terdapat tak kurang dari 1,290 juta penduduk. Dari jumlah itu, 97 persen data kependudukannya sudah direkam di kecamatan. Namun, memang belum semua warga sudah memiliki KTP-el, KIA, akta kelahiran, atau kartu keluarga. Blanko untuk dokumen kependudukan itu terbatas, khususnya untuk pencetakan KTP-el, yang tak sepadan dengan jumlah warga yang memintanya.
Untuk mampu memenuhi kebutuhan identitas kependudukan warganya, Ujang mengakui, pemerintah daerah harus bekerja sama dengan organisasi kemasyarakatan dan masyarakat. Apalagi, tak sedikit warga Lebak yang memiliki keterbatasan dalam bidang ekonomi. "Wilayah Lebak itu dari Jakarta memang cuma berjarak tempuh dua jam. Namun, untuk daerah yang lebih jauh, di ujung, bisa lebih dari tujuh jam dari Jakarta," paparnya. Warga memerlukan dana tak kurang dari Rp 100.000 untuk setiap kali mengurus dokumen kependudukannya di Rangkasbitung, ibu kota Kabupaten Lebak.
Beruntung, lanjutnya, sejak tahun 2016 Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) melakukan pendampingan pada warga Lebak, dan membantu pemerintah, khususnya Dinas Dukcapil Lebak, agar warga bisa sesegera mungkin menerima dokumen kewarganegaraannya. Dinas Dukcapil Lebak pun mengembangkan layanan keliling. Layanan itu, yang dipadukan dengan kerja keras relawan IKI, membuat warga tak perlu mengeluarkan biaya sepeser pun untuk mendapatkan akta kelahiran, KTP-el, KIA, dan kartu keluarga.
Bahkan, pada hari Jumat (6/12) itu, di tengah keterbatasan blanko dokumen kependudukan, Dinas Dukcapil Lebak bersama IKI bisa menyelesaikan 598 lembar KTP-el, 750 akta kelahiran, 275 kartu keluarga, dan 143 lembar KIA. Dokumen kependudukan itulah yang dibagikan kepada warga yang berhak. Selain itu, masih ada 81 warga dari keempat desa yang menerima layanan di sekitar kawasan Baduy itu yang baru selesai merekam data kependudukannya.
IKI memang berkonsentrasi pada upaya pemenuhan hak warganegara sesuai konstitusi, khususnya terkait dengan kepemilikan data kependudukan. Sekretaris Umum IKI Albertus Pratomo menjelaskan, lembaga yang dibentuk tahun 2006 itu, setelah lahirnya UU Administrasi Kependudukan, saat ini bekerja di 30 provinsi, dengan dibantu ratusan relawan yang berasal dari berbagai latar belakang. Mereka inilah yang membantu warga. Sebagian di antara mereka, adalah orang yang pernah mengalami "kesulitan" untuk memperoleh dokumen kependudukannya.
"Selama sekitar 13 tahun bekerja, bersama relawan, IKI mampu mewujudkan kepemilikan dokumen kependudukan, khususnya akta kelahiran bagi tak kurang dari 600.000 warga di seluruh Indonesia," ujar Pratomo. Tahun 2018 lalu, relawan IKI bersama Dinas Dukcapil Lebak bisa menerbitkan tak kurang dari 1.000 dokumen kependudukan, seperti KTP-el, akta kelahiran, dan kartu keluarga bagi warga Baduy. Relawan IKI bertugas mendampingi warga yang membutuhkan, membantu warga untuk mengisi formulir dokumen kependudukan, dan membantu warga untuk bisa memenuhi persyaratan untuk mendapatkan dokumen kependudukannya.
Pada awal tahun 2019, Kementerian Dalam Negeri mencatat dari sekitar 265 juta penduduk Indonesia, lebih dari 192,676 juta orang wajib memiliki KTP-el. Dari jumlah itu, masih ada sekitar 2,736 juta warga yang belum merekam data identitasnya. Sementara mengacu data tahun 2014, Kemendagri melaporkan, tak kurang dari 68 persen anak sampai dengan usia 18 tahun di negeri ini yang tidak memiliki akta kelahiran. Sedangkan yang sudah memiliki akta kelahiran, sekitar 21,552 juta anak sampai dengan usia 18 tahun, atau sekitar 31,25 persen. Oleh sebab itu, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri pada tahun 2019 mengenalkan penerapan Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) sebagai solusi dalam pelayanan penerbitan akta kelahiran (Supertajam).
Saat menyerahkan akta kelahiran pada sejumlah warga, Wakil Ketua Umum IKI KH Saifullah Mashum mengingatkan, dokumen kependudukan itu amatlah penting untuk kehidupan warga, termasuk untuk beribadah dan mendapatkan hak-hak lainnya sebagai warganegara.