Elite PAN Saling Sindir Mengenai Masa Depan Partai
Masa depan Partai Amanat Nasional sedang diperbincangkan oleh elite partai tersebut. Menjelang Kongres 2020, mereka membuka pandangannya masing-masing mengenai jalan terbaik yang bisa ditempuh partai di era mendatang.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Empat bulan jelang Kongres Partai Amanat Nasional 2020, perbedaan pandangan dan sikap politik di level elite sudah mulai terasa. Pada pembukaan Rapat Kerja Nasional V di Jakarta, Sabtu (7/12/2019), Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan dan Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais saling sindir ihwal paradigma dan strategi pengembangan partai ke depan.
Selain menentukan jadwal dan lokasi Kongres PAN 2020, rakernas diagendakan untuk menerima saran dan pemikiran terkait perbaikan materi kongres. Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan berharap, rakernas yang diikuti para pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP), Dewan Pimpinan Daerah (DPD), dan Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) itu juga bisa menghasilkan ide perbaikan agar PAN bisa benar-benar menjadi partai modern yang berkemajuan.
Hal itu penting karena kinerja dan capaian partai selama lima tahun ke belakang perlu dievaluasi. Kompas mencatat, raihan suara PAN cenderung stagnan dan beberapa kali menurun sejak pertama kali mengikuti pemilu pada 1999. Pada 1999, PAN memperoleh 7,12 persen suara, turun menjadi 6,44 persen pada 2004 dan 6,01 persen pada 2009.
Kemudian, pada 2014, raihan suara berhasil naik menjadi 7,57 persen. Namun, kembali merosot pada 2019, yaitu 6,84 persen.
”Dari hasil Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg) 2019 itu tampak, meski jumlah voters meningkat, angka partisipasi terhadap PAN menurun. Kita memperoleh 44 kursi di DPR, gagal memenuhi target, yaitu 60 kursi. Itu tanggung jawab saya sebagai ketua umum,” ujar Zulkifli.
Ia berdalih, tantangan untuk memperoleh suara pada Pemilu 2019 memang berat. Sebab, saat itu merupakan kali pertama Pileg dan Pemilihan Presiden (Pilpres) dilaksanakan secara serentak. Jauh-jauh hari sebelum pemungutan suara, ia menuding pula ada upaya penggiringan opini melalui sejumlah survei bahwa PAN tidak akan mampu melewati ambang batas parlemen.
Pasca-pemilu, Zulkifli dan Amien juga menunjukkan perbedaan sikap. Zulkifli memutuskan mendukung pemerintah Joko Widodo-Ma’ruf Amin dengan menemui Presiden Joko Widodo sepekan sebelum dilantik pada 20 Oktober 2019. Sebelum pertemuan itu, ia juga mengemukakan dukungan terhadap pemerintah, tanpa syarat, termasuk menempatkan kader PAN dalam kabinet.
Sementara itu, dalam peringatan Hari Ulang Tahun PAN Agustus 2019, Amien menegaskan bahwa PAN akan menjadi oposisi bagi pemerintah. Namun, oposisi yang dimaksud juga bersifat konstruktif. Tidak asal memberikan kritik, tetapi juga harus mendukung jika kebijakannya baik (Kompas, 23/8/2019).
Zulkifli melanjutkan, untuk menghadapi tantangan ke depan, partai harus mengutamakan rasionalitas. Program partai juga harus riil, manfaatnya bisa dirasakan langsung oleh masyarakat. Selain itu, kerja sama antarpartai juga dibutuhkan.
”Publik saat ini perlu substansi. Itu yang lebih penting ketimbang slogan oposisi ataupun bukan oposisi. Publik sekarang perlu hal pragmatis dalam artian positif. Jualan surga dan neraka sudah tidak laku,” kata Zulkifli.
Corak agama
Amien menyampaikan hal berbeda dalam pidatonya. Menurut dia, politisi saat ini umumnya ibarat menderita ”rabun ayam”. Kemampuan melihatnya terbatas, yaitu hanya pada kepentingan lima hingga sepuluh tahun saja dan mengalpakan perintah agama.
Ia menilai, kecenderungan PAN pun saat ini demikian. Langkah-langkah politik yang diambil lebih memprioritaskan kepentingan jangka pendek. ”Sesungguhnya. PAN diharapkan pendirinya harus bisa mengoneksikan perjuangan duniawi dengan perjuangan ukhrowi kita yang abadi. Kalau mau selamat di akhirat, ya, juga harus selamat di dunia,” kata Amien.
Amien pun mempertanyakan sikap politisi PAN yang cenderung tunduk pada tokoh politik lain. ”Saya betul-betul tidak paham, ada tokoh PAN, kok, takut sama orang gitu, lho. Aku mendukung tanpa syarat. Saudara sekalian, saya menangis,” ujarnya.
Menurut dia, dukungan tanpa syarat tak semestinya diberikan kepada tokoh politik lain. Selain memunculkan ketergantungan, politisi merupakan manusia biasa yang juga penuh kealpaan.
Ia berharap kader PAN tetap berintegritas dan tidak bergantung, bahkan dimanfaatkan pihak lain. ”Kalau (kader) hanya akan ditunggangi sesaat, itu saya yang akan mengambil perhitungan. Apa perhitungan itu? Tentu tunggu tanggal mainnya,” kata Amin.
Tantangan
Wakil Ketua Umum PAN Bara K Hasibuan mengatakan, saling sindir antar-elite PAN itu menunjukkan bahwa ke depan, partai harus bisa melepaskan ketergantungan dari satu tokoh. Setelah 20 tahun berdiri, partai harus bisa menjadi lebih independen, tidak boleh menjadi kendaraan politik salah satu tokoh atau keluarga saja.
”Kalau (melepaskan ketergantungan) itu tidak bisa dilakukan, PAN tidak akan bisa berkembang. Hanya akan stuck di perolehan suara 6-7 persen pada setiap pemilu,” kata Bara. Struktur kepengurusan PAN memang diisi beberapa orang yang berhubungan. Contohnya, Zulkifli dan Amien yang berbesan. Anak kandung Amien, Hanafi Rais, juga saat ini menjabat wakil ketua umum.
Namun, Wakil Ketua Umum PAN Mulfachri Harahap menolak jika keluarga Amien dikatakan mendominasi partai. ”Ketua umum bukan keluarga Pak Amien, sekretaris jenderal juga bukan, dan tidak pernah keluarga beliau ada dalam posisi puncak seperti yang saya sebutkan tadi,” kata Mulfachri.
Secara terpisah, pengamat politik dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, berpendapat, ketokohan Amien dalam PAN sulit dilepaskan. Selain pendiri, ia juga merupakan ideolog dari partai yang lahir dengan semangat reformasi itu. Adapun dominasi Amien merupakan konsekuensi logis dari posisinya terhadap partai.
Menurut Arya, faktor Amien memang sedikit banyak berpengaruh pada stagnasi raihan suara PAN. Akan tetapi, bukan karena dominasinya, melainkan kontroversinya.
Beberapa waktu belakangan, Amien kerap menggunakan dalil agama untuk menentukan langkah partai. Hal itu berdampak pada identitas partai yang mulai bergeser, bukan lagi partai modernis yang segmentasinya masyarakat kelas menengah perkotaan.
Pada tingkatan selanjutnya, pelunturan identitas itu juga menjadi faktor penyebab mengecilnya basis pemilih sehingga raihan suara berkurang. Hal lain yang juga tampak mencolok adalah ketiadaan inovasi untuk meningkatkan elektabilitas.