Keindahan Alam yang Belum Menjadi Berkah
Mungkinkah memiliki sebuah pulau di Laut Maluku hanya untuk diri sendiri? Di Desa Tumbak, Minahasa Tenggara, bahkan dua pulau sekaligus boleh direngkuh dengan segala keindahannya, setidaknya sehari.
Mungkinkah memiliki sebuah pulau di Laut Maluku hanya untuk diri sendiri? Di Desa Tumbak, Minahasa Tenggara, bahkan dua pulau sekaligus boleh direngkuh dengan segala keindahannya, setidaknya sehari. Namun, di balik itu semua, komunitas lokal yang kaya sejarah dan kebudayaan terbenam di tengah keelokan alamnya.
Kuatnya ombak di permukaan Laut Maluku, Minggu (24/11/2019) siang, tak menggentarkan Arjul (21). Pria berdarah Bajo itu tetap tenang duduk di atas moncong perahu meski lambung perahu terus terbanting ke permukaan air. Di belakang, Hendro (29) juga kalem menjaga manuver dengan gagang motor.
Ketenangan dua pelaut Bajo ini berbuah. Sekitar 20 menit berlayar dari pantai Desa Tumbak, Pusomaen, Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara, perahu berisi 14 penumpang berhasil merapat di sisi barat daya sebuah pulau kecil berbukit tak berpenghuni. Pulau Ponteng namanya.
Kecantikan pulau segera menyambut pada pijakan pertama. Makin dekat daratan, airnya semakin jernih, lalu menyatu dengan bongkahan batu karang putih di dermaga.
Sebuah jalan setapak menuntun ke tengah Pulau Ponteng. Jalan itu berujung pada undakan ratusan anak tangga berkelok yang akan mengantarkan ke puncak tertinggi pulau.
Keindahan pemandangan alam Sulawesi Utara, 360 derajat, menanti di puncak bukit. Biru Laut Maluku bergradasi menjadi hijau toska. Bayang batuan dan gugusan karang tampak di dasar. Kemudian air jadi biru muda, sebelum menyatu dengan pasir putih Pulau Ponteng.
Di utara, laut biru bersanding dengan keelokan rumah-rumah apung desa nelayan di permukaannya. Latarnya adalah hutan bakau yang hijau dan perbukitan di kaki Gunung Soputan. Langit biru dan awan-awan menggantung menggenapi keelokannya.
Jangan lupa berfoto di tengah rumput-rumput kuning dengan latar belakang laut. Atau, di landaian bukit yang bertuliskan ”Pulau Punten”, pengejaan nama pulau yang tidak tepat, menurut Kepala Dinas Pariwisata Minahasa Tenggara Sartje Taogan, akibat para pekerja konstruksi salah mengerti.
”Yang benar tetap ’Ponteng’. Tulisan itu sepaket dengan pembangunan jalan setapak, tangga ke puncak, dan beberapa gazebo dengan dana Rp 800 juta,” kata Sartje.
Pastikan tidak meninggalkan Pulau Ponteng sebelum snorkeling. Hanya 10 meter dari garis pantai, gugusan terumbu karang kelabu, baik dari genus Acropora maupun Montipora, dan warna-warni ikan langsung terlihat. Jenis ikan pun beragam, seperti ikan badut dan ikan singa.
Puas dengan titik tertinggi dan terendah yang mungkin dicapai di Pulau Ponteng, saatnya bertolak ke pulau kedua, yaitu Pulau Baling-baling. Jaraknya 20 menit pelayaran ke timur Pulau Ponteng. Meski berkali lipat lebih besar daripada Pulau Ponteng, pulau ini juga tak berpenghuni.
Snorkeling tidak disarankan di Pulau Baling-baling karena tak ada terumbu karang di dekat pantai. Namun, adalah satu kewajiban untuk mendaki ke puncak bukit demi pemandangan yang luar biasa dan tentunya swafoto untuk dibagikan di media sosial.
Pengunjung mesti berikhtiar mendaki bukit dengan kemiringan 60 derajat terlebih dahulu. Arjul si pelaut muda siap membantu setiap pengunjung mendaki demi merengkuh keindahan itu.
Dari puncak, terlihat ada satu titik berlatar laut dan kampung nelayan nun jauh di seberang. Jika beruntung, cahaya jingga senja dan tiupan angin yang meniup rambut dan pakaian akan membuat segala pose terlihat lebih menawan. ”Kurang bawa kain aja biar kayak foto di Sumba (NTT),” ucap Ayda, wisatawan asal Tomohon.
Pulau Ponteng di sisi barat juga akan tampak bak diterangi sinar surgawi yang menyelinap di celah-celah awan. Semuanya seolah milik pribadi, setidaknya selama kurang dari 6 jam.
Seabad
Sejak 2010, Hendro dan Arjul makin sering membawa tamu yang ingin snorkeling dan menyelam ke Pulau Ponteng dan beberapa pulau lain di lepas pantai Minahasa Tenggara. ”Makin biasa bawa bule Perancis, Jerman, juga Jepang dan China, enggak cuma jadi nelayan,” kata Hendro.
Sebagian besar tamu menginap di pondok Tumbak Island Cottage di Pulau Bohanga, timur Desa Tumbak. Penginapan itu dibangun warga negara Perancis, Yoan Parizot, yang menikah dengan warga Desa Tumbak, Yati Daeng Sitabah. Pasangan itu menjadi pemilik tiga dari empat rumah penginapan di pesisir Desa Tumbak.
Menurut Hendro, kedatangan Yoan ke Tumbak tidak hanya membuka peluang wisata, tetapi juga memperkaya keberagaman di Desa Tumbak. ”Penduduknya sudah campur. Ada orang keturunan Bajo, Bugis, Arab, Gorontalo, sekarang ada juga Perancis,” ujarnya.
Kekayaan kultural Desa Tumbak adalah peninggalan sejarah yang terukir sejak lama. Lebih dari 101 tahun lalu, tepatnya 21 April 1918, Penggawa atau Ketua Suku Bajo dari Tilamuta (Boalemo, Gorontalo) Sya’ban Ibrahim Mau beserta rombongan tiba di Desa Tumbak yang saat itu masuk wilayah Ratahan. Secara turun-temurun, suku Bajo adalah pelaut nomaden dengan perahu bercadik.
”Waktu itu banyak perompak di laut. Orang-orang Bajo yang dipimpin Sya’ban Mau diterima oleh pemerintah hukum besar Ratahan untuk menghindari serangan,” kata Iskandar Umaternate (56), Kepala Seksi Pemerintahan Desa Tumbak.
Meski dipimpin Penggawa Bajo, rombongan pelaut itu multietnis. Ada suku Gorontalo, Bugis, hingga Arab. Salah satu tokoh yang berperan penting dalam pendirian Desa Tumbak dan keberagamannya adalah Syekh Abdul Samad Bachdar, seorang keturunan Arab Yaman dalam rombongan Sya’ban Mau.
Iskandar mengatakan, Syekh Abdul menikahi seorang dari 12 putri Penggawa Bajo Tilamuta itu, sementara 11 putri lain menikahi pria dari kelompok etnis lain. ”Keturunannya masih ada sampai sekarang di desa ini. Misalnya, orang-orang bermarga Mau, Gindang, Nuhu, Norang, Darise, dan Lele. Mereka itu keturunan Penggawa Bajo,” lanjutnya.
Orang-orang keturunan Bajo tetap mempertahankan kebudayaannya hingga sekarang. Iskandar mengatakan, saat malam Tahun Baru Hijriah, warga Desa Tumbak menggelar makan ikan bersama di sepanjang jalan desa. Selain itu, tradisi Tiba Anca atau Obat Kampung juga masih dipraktikkan setahun sekali.
”Ini untuk mencegah penyakit dan memudahkan rezeki datang. Warga akan kumpul di masjid, membaca doa, kemudian jalan bersama pemuka agama dari ujung kampung ke ujung lain. Beberapa langkah, mereka akan berhenti untuk mengumandangkan azan ke sisi kiri dan kanan,” tuturnya.
Meski begitu, Iskandar mengakui, penggunaan bahasa Bajo sudah semakin jarang, terutama di kalangan muda. Pemerintah desa berusaha melestarikannya dengan mendaftarkan kalimat-kalimat singkat bahasa Bajo dan terjemahannya ke bahasa Indonesia dan Inggris.
Belum menyejahterakan
Kini, Desa Tumbak jadi ikon pariwisata Kabupaten Minahasa Tenggara. Pemerintah menunjukkannya lewat pembangunan di Pulau Ponteng, tujuannya agar snorkeling dan menyelam di pulau tak berpenghuni itu lebih nyaman.
Namun, lebih dari 400 keluarga di Desa Tumbak dan Desa Tumbak Madani sebagai pecahannya sejak 2010 nyaris tidak merasakan manfaatnya. Jumlah penginapan di Desa Tumbak, daratan Minahasa Tenggara, hanya satu, sementara tiga lainnya di Pulau Bohanga. Warga membuka toko kelontong dan warung, tetapi penghasilan mereka stagnan.
Leila Norang (53), pemilik warung mi ayam, menyebutkan, penghasilan sehari hanya berkisar Rp 90.000-Rp 200.000. Wisatawan yang kebanyakan menginap di Tumbak Island Cottage milik Yoan dan Yati tidak pernah mampir. ”Akhirnya warga tetap jadi nelayan, tangkap ikan saku dan bobara, lalu dijual. Hidup tetap susah dan kekurangan,” ujarnya.
Iskandar mengatakan, Yoan dan Yati sering menolak tamu, tetapi surplus tamu tak melimpah ke warga desa. Penyebabnya, masyarakat belum siap.
Iskandar menilai, pemerintah kabupaten (pemkab) tak ada inovasi untuk menggerakkan dan melatih masyarakat. ”Desa Tumbak hanya jadi obyek wisata pemerintah, tapi masyarakatnya tak pernah dijadikan subyek pembangunan pariwisata,” katanya.
Yati menyebutkan, Tumbak Island Cottage dapat memberikan pemasukan bagi setidaknya tujuh warga desa, seperti Hendro dan Arjul. Sebagian dari Rp 600.000-Rp 1 juta untuk sewa perahu disisihkan untuk para awak perahu itu. Beberapa warga juga diminta memasak makanan bagi tamu dan membawa air bersih dari Desa Tumbak ke Bohanga.
Yati mengatakan ingin melimpahkan kelebihan tamu kepada masyarakat. Sebulan, ia bisa menerima setidaknya 20 tamu yang rata-rata tinggal selama tiga hari. Namun, ia tak bisa menjamin kesiapan masyarakat dan khawatir malah akan mengecewakan tamu.
”Di rumah warga, belum tentu ada toilet dan air bersih. Belum tentu juga bisa menyediakan makan tiga kali sehari. Kalau tamu yang kami kasih ke warga kecewa, imbasnya akan ke kami juga,” lanjutnya.
Di samping itu, sebagian besar masyarakat masih belum mampu berbahasa Inggris. Padahal, mayoritas tamu yang datang ke Tumbak adalah wisatawan mancanegara. ”Kami ingin ajari warga, tapi kemampuan kami juga terbatas,” ucapnya.
Kepala Dinas Pariwisata Minahasa Tenggara Sartje Taogan mengatakan, Desa Tumbak adalah satu dari lima destinasi wisata yang akan dikembangkan. Ia menyadari, warga belum siap menerima wisatawan yang semakin sering berdatangan.
”Mereka belum bisa bikin homestay. Saya khawatir juga tentang kenyamanan karena Desa Tumbak termasuk padat. Ke depan, kami akan sosialisasikan cara membuat dan merawat homestay,” tutur Sartje.
Pelatihan ini telah digelar sebelumnya dan akan kembali digelar pada 2020. Untuk sementara, kata Sartje, Pemkab Minahasa Tenggara masih fokus pada pembangunan infrastruktur dasar seperti jalan.
Keindahan alam tanah Minahasa seharusnya menjadi berkah bagi penghuninya. Kedatangan wisatawan adalah keniscayaan. Namun, menjadi ironi jika nasib penduduknya terbenam di tengah keindahan alamnya.