Lambatnya Pemerintah Hambat Antisipasi Demam Babi Afrika
Lambatnya pemerintah mendeklarasikan virus demam babi afrika atau african swine fever (ASF) di Indonesia menghambat antisipasi penyebaran.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS— Lambatnya pemerintah mendeklarasikan virus demam babi afrika atau african swine fever (ASF) di Indonesia menghambat antisipasi penyebaran. Wabah itu bisa berdampak terhadap perekonomian Kepulauan Riau yang mengekspor rata-rata 1.000 ekor per hari ke Singapura.
Wabah di Sumatera Utara yang terjadi sejak Agustus sampai awal Desember 2019 diperkirakan membunuh 20.500 ekor ternak. Pengujian menggunakan teknik reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) di Balai Veteriner Medan menunjukkan sejumlah sampel positif terhadap ASF.
Jika tidak segera diantisipasi, hal itu bisa mengancam industri peternakan babi di Pulau Bulan, Batam, yang dikelola PT Indotirta Suaka. Data dari laman Badan Karantina Pertanian menunjukkan, sepanjang 2018, peternakan itu mengekspor 271.000 ekor babi ke Singapura. Nilainya diperkirakan Rp 1,1 triliun.
Manajer Biosekuriti dan Pencegahan Penyakit PT Indotirta Suaka Paulus Mbolo, Jumat (6/12/2019), menyesalkan, lambatnya pemerintah dalam mengumumkan hasil uji laboratorium itu. Seharusnya zona terjangkit segera diumumkan untuk diawasi agar virus tidak merebak ke daerah lain.
Babi dari Sumut masih bisa masuk ke Batam melalui sejumlah pelabuhan rakyat yang tidak diawasi petugas karantina. “Sebenarnya akan lebih mudah jika pemerintah sudah mengumumkan ternak di Sumut telah terjangkit ASF karena itu membuat pengawasan di daerah asal lebih ketat,” kata Paulus.
Sebenarnya akan lebih mudah jika pemerintah sudah mengumumkan ternak di Sumut telah terjangkit ASF karena itu membuat pengawasan di daerah asal lebih ketat
Sebagai anggota Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE), Indonesia wajib melaporkan penyakit hewan secepatnya. Deklarasi wabah ASF di Sumut tidak akan membuat ekspor babi dari Indonesia lumpuh total karena OIE memberlakukan sistem zonasi. Hal itu memungkinkan ternak di luar zona terjangkit tetap bisa diekspor selama dinyatakan sehat oleh Balai Veteriner.
Menurut Paulus, total populasi babi di Pulau Bulan saat ini ada sekitar 230.000 ekor. Untuk memudahkan pengawasan, peternakan itu dibagi ke dalam unit-unit yang berisi 10.000 ekor babi. “Belum ada ternak yang terjangkit ASF karena kami memberlakukan biosekuriti yang ketat,” ujarnya.
Pengawasan lalu lintas barang dan manusia di Pulau Bulan kini semakin ditingkatkan. Para pekerja dilarang membawa segala jenis makanan saat menginjakkan kaki di peternakan. Rencana impor sperma babi varietas unggul dari Denmark juga ditunda untuk membatasi interaksi dengan dunia luar.
“Yang jelas kami mendukung (pemerintah) segera deklarasi. Jika itu sudah dilakukan, pencegahan akan lebih efektif karena OIE ataupun lembaga internasional lain bisa ikut membantu,” kata Paulus.
Sementara itu, Kepala Badan Karantina Pertanian Kelas I Batam Joni Anwar menyatakan, Dinas Pertanian Kepri telah melarang daging babi dari Sumut masuk ke Kepri. Pelabuhan resmi di Batam yaitu Pelabuhan Batu Ampar dan Pelabuhan Sekupang juga telah diawasi dengan ketat oleh petugas.
“Yang berhak menetapkan itu pemerintah, bukan ikatan dokter hewan. Setahu kami babi di Sumut terjangkit wabah kolera, belum ada informasi dari (pemerintah) pusat yang menyatakan terjangkit ASF,” kata Joni.