Apa yang terjadi dengan tingkat pemahaman (literasi) dan akses layanan keuangan (inklusi) masyarakat Indonesia dalam tiga tahun terakhir ini?
Oleh
Abdul Rahman Mangussara, Otoritas Jasa Keuangan
·4 menit baca
Apa yang terjadi dengan tingkat pemahaman (literasi) dan akses layanan keuangan (inklusi) masyarakat Indonesia dalam tiga tahun terakhir ini? Apakah terjadi peningkatan? Apakah angkanya, secara absolut, mencapai target yang ditetapkan pemerintah?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus menggantung di benak banyak orang dan baru terjawab, Kamis (7/11/2019). Anggota Dewan Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen, Tirta Segara, menjelaskan hasil survei Otoritas Jasa Keuangan tentang perkembangan literasi dan inklusi keuangan tahun 2019.
Mari lihat statistiknya. Tingkat literasi keuangan nasional naik menjadi 38,03 persen dari posisi ketiga tahun sebelumnya (2016) sebesar 29,70 persen atau meningkat 8,33 persen. Sementara indeks pengetahuan tentang keuangan konvensional sebesar 37,72 persen. Sudah bisa diduga, pemahaman soal keuangan konvensional itu masih lebih tinggi dari indeks literasi keuangan syariah yang sebesar 8,93 persen.
Lantas bagaimana perkembangan pemahaman atau indeks literasi di perkotaan dan di perdesaan? Berdasarkan survei yang dilakukan di 34 provinsi dan 67 kabupaten kota dengan jumlah responden 12.773 orang tersebut, indeks literasi di kota lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat di perdesaan, suatu hal yang sangat mudah untuk dipahami. Angkanya masing-masing 41,41 persen untuk kota dan 34,53 persen untuk desa.
Namun, dalam tiga tahun ini, indeks pemahaman mengenai lembaga keuangan di perdesaan tumbuh lebih cepat dibandingkan di perkotaan. Bahkan, peningkatan literasi di desa lebih cepat, hampir dua kali lipat dari tingkat literasi di kota, yakni 44,5 persen untuk desa, sedangkan di kota hanya naik 24,7 persen.
Fakta bahwa tingkat literasi di desa tumbuh cepat membuktikan terpaan informasi mengenai lembaga keuangan dan layanannya di masyarakat perdesaan sangat tinggi dalam tiga tahun terakhir ini. Informasi-informasi itu tersebar, bisa diduga melalui telepon pintar yang kepemilikannya sekarang tersebar luas hingga ke pelosok.
Tentu saja ini kabar gembira sebab jangkauan layanan jasa keuangan yang makin luas hingga ke pelosok-pelosok negeri harus dibarengi dengan tingkat pemahaman yang baik mengenai hal ini.
Terlihat pula bahwa indeks literasi wanita selalu lebih rendah dari pria. Namun, laju peningkatan tingkat pemahaman wanita akan lembaga jasa keuangan dan layanannya jauh lebih tinggi dari pria.
Jika kita berasumsi bahwa wanita lebih menentukan dalam hal pengelolaan keuangan keluarga, rendahnya indeks literasi keuangan wanita perlu segera mendapat perhatian. Sebab, benteng pertahanan untuk tidak tertipu oleh begitu banyak tawaran investasi dan pinjaman daring ilegal adalah literasi yang memadai.
Wanita atau ibu-ibu mesti mendapat prioritas utama dalam program-program untuk meningkatkan pengetahuan mengenai lembaga dan layanan jasa keuangan. Sesungguhnya itulah yang persis dilakukan Otoritas Jasa Keuangan selama tiga tahun terakhir ini.
Target inklusi
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif menargetkan indeks literasi dan inklusi yang harus dicapai tahun 2019 ini berturut-turut 35 persen dan 75 persen. Apakah tercapai? Survei yang dilakukan OJK menemukan bahwa target-target tersebut terlampaui.
Saat ini dari 100 orang Indonesia, terdapat lebih dari 76 orang yang bisa mengakses layanan lembaga keuangan. Indeks inklusi pria lebih tinggi dari indeks secara nasional, yakni 77,24 persen, sementara untuk wanita lebih rendah dari tingkat inklusi nasional, tetapi lebih tinggi dari target inklusi, yakni 75,15 persen.
Adapun layanan lembaga jasa keuangan yang paling terjangkau, mudah untuk dipastikan, adalah lembaga perbankan (73,88 persen), disusul lembaga pembiayaan (14,56 persen), perasuransian (13,15 persen), pegadaian (12,38 persen) dan yang paling rendah (jika tidak memasukkan lembaga keuangan mikro yang harus disurvei tahun ini) adalah pasar modal (1,55 persen).
Selain menggembirakan, temuan survei ini sekaligus melahirkan tantangan, yakni tantangan untuk meningkatkan indeks literasi mendekati tingkat inklusi. Ini merupakan pekerjaan yang hanya bisa dilakukan bersama-sama oleh semua lembaga. Hanya dengan begitu, kita bisa berharap penipuan dan kejahatan di bidang keuangan bisa ditekan.
Teknologi finansial
Survei ini juga menjaring data dan informasi tentang kehadiran teknologi finansial yang mulai berkembang dalam dua-tiga tahun terakhir ini. Tidak berbeda dengan pendapat publik yang berkembang saat ini, kehadiran teknologi finansial memang sudah akrab dengan masyarakat umum.
Hampir sepertiga responden sudah menggunakan layanan keuangan berbasis internet lewat telepon pintar ataupun komputer pribadi (PC). Jika melihat kehadiran teknologi ini baru dua dan tiga tahun terakhir, persentase tersebut bisa dibilang mengagumkan perkembangannya.
Coba perhatikan temuan yang lebih detail. Sebanyak 27,4 persen responden menggunakan teknologi finansial untuk meminjam dana. Data ini menjelaskan dengan terang benderang mengenai berkembangnya pinjaman daring akhir-akhir ini.
Masalahnya, pinjaman daring ilegal juga marak dan meresahkan masyarakat. Itu terbukti dari jumlah entitas pinjaman daring tak terdaftar dan berizin di OJK yang ditutup Satuan Tugas Waspada Investasi yang mencapai ratusan. Total penyelenggara pinjaman daring atau fintech lending ilegal yang ditangani Satgas Waspada Investasi dari awal tahun sampai dengan 31 Oktober 2019 sebanyak 1.369 entitas.