Pemegang HTI Kini Bisa Leluasa Hasilkan Produk Nonkayu
Pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan-hutan tanaman industri (HTI) kini dapat leluasa menghasilkan produk-produk nonkayu. Aturan baru ini tertuang dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 62 Tahun 2019.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memberikan keleluasaan kepada pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan-hutan tanaman industri atau HTI untuk menghasilkan produk-produk nonkayu. Berbagai jenis potensi agroforestri bisa memanfaatkan areal izin HTI tanpa batasan areal luas sehingga membuka ruang-ruang produk baru yang variatif.
Regulasi baru dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 62 Tahun 2019 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri tersebut diundangkan pada 29 Oktober 2019. Langkah strategis ini pun diharapkan bisa menjadi jalan keluar untuk mengatasi konflik sosial yang terjadi pada konsesi HTI.
Langkah strategis ini pun diharapkan bisa menjadi jalan keluar untuk mengatasi konflik sosial yang terjadi pada konsesi HTI.
Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Hendroyono, Jumat (6/12/2019), di Jakarta, mengatakan, Permen LHK No 62/2019 diharapkan juga merangsang pemegang HTI yang belum aktif untuk mulai aktif memanfaatkan izin yang telah dipegang. Ia menunjukkan, dari 11 juta hektar izin HTI yang telah dikeluarkan, baru tertanam 3 jutaan hektar.
Dari HTI seluas 11 juta hektar tersebut, areal yang berpotensi dikembangkan untuk ditanami sekitar 7,8 juta hektar karena selebihnya merupakan kawasan lindung yang harus dijaga. Kawasan lindung tersebut bisa berupa sempadan sungai, lereng bukit terjal, dan puncak kubah gambut.
Ia mengatakan, Permen LHK No 62/2019 bisa membangun industri bahan baku yang dapat diolah. Jenis industrinya tidak hanya kayu, tetapi juga hasil hutan bukan kayu (HHBK). Produk HHBK berupa rotan, bambu, dan madu ini bisa dimanfaatkan dari kawasan lindung.
Terobosan
Bambang Hendroyono yang juga Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari mengatakan, pilihan jenis penanaman selain menghasilkan kayu ini merupakan terobosan. Sebelumnya, industri hanya memiliki pilihan untuk menanam jenis kayu untuk pulp and paper, kayu pertukangan, dan atau kayu energi.
Namun, kini pemegang izin HTI bisa berkreasi untuk mengembangkan produk selain tanaman hutan untuk meningkatkan produktivitas lahan hutan tanaman. Model agroforestri tersebut bisa berupa tanaman budidaya tahunan berkayu seperti kopi, cokelat/kakao, cengkeh, jengkol, petai, kemenyan, dan jenis tanaman HHBK lain.
Kini, pemegang izin HTI bisa berkreasi untuk mengembangkan produk selain tanaman hutan untuk meningkatkan produktivitas lahan hutan tanaman.
Pemanfaatan lahan hutan ini pun bisa dicampur dengan jenis tanaman lain, seperti kelapa, aren, pinang, sagu, bambu, rumput camellina, rumput gajah, ubi kayu, sorgum, jagung, padi, tebu, dan jarak pagar. Namun, tanaman berkayu tetap yang menjadi dominan.
Langkah ini, kata Bambang, juga merupakan strategi untuk mencari jalan keluar bagi konflik-konflik antara pemegang konsesi HTI dan masyarakat sekitar. Dengan membuka lebar ruang-ruang yang dulu disebut ”tanaman kehidupan” tanpa batasan persentase luasan ini, diharapkan lebih membawa keterlibatan masyarakat sekitar.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto menyambut baik kehadiran Permen LHK No 62/2019. Ia menyebutkan, sebelum permen LHK ini diterbitkan, agroforestri hanya bisa dikembangkan di areal 20 persen.
”Setelah P62 (Permen LHK No 62/2019), maksimal 90 persen HTI bisa untuk agroforestri yang penting tanaman pokok berupa kayu tetap dominan,” ujarnya.
Permen LHK No 62/2019 merupakan instrumen kebijakan yang ditunggu untuk mendorong penerapan agroforestri secara intensif di areal HTI.
Ia menambahkan, Permen LHK No 62/2019 merupakan instrumen kebijakan yang ditunggu untuk mendorong penerapan agroforestri secara intensif di areal HTI. Sebelum kehadiran permen LHK ini, agroforestri hanya boleh diterapkan di areal tanaman kehidupan, kini pemegang konsesi mendapatkan keleluasaan pengaturan, termasuk pola penanamannya.
Ia mengakui, selama ini beberapa HTI mencoba menerapkan agroforestri dalam skala proyek percontohan. Kehadiran permen LHK ini akan didorong penerapan secara komersial dengan beberapa industri off taker (penerima/pengolah), seperti industri pangan dan farmasi.
Purwadi pun optimistis regulasi baru ini bisa merangsang pemegang konsesi HTI yang tak aktif untuk memanfaatkan kesempatan ini untuk berbenah dan beroperasi kembali.