Jatuh Terjengkang Saat Liputan Maraton
Tiga wartawan ”Kompas” ditugaskan meliput pelaksanaan Borobudur Marathon 2019. Masing-masing mendapat pengalaman tak terlupakan, mulai dari terjatuh, berjalan kaki jauh, hingga bertemu pelari yang juga penyintas kanker.
”Nanti waktu maraton, kita harus bangun sebelum pukul 02.00 karena pukul 03.00 kita sudah harus ada di lokasi lomba. Kalau kita telat, jalan menuju tempat lomba akan ditutup dan kita tidak bisa meliput.”
Kira-kira begitu kalimat yang diucapkan Mbak Regina Rukmorini kepada saya, Selasa (15/10/2019). Mbak Regina yang berinisial EGI adalah rekan sesama wartawan di kantor. Saat itu saya bertanya kepada Mbak Egi yang lebih senior tentang apa saja yang harus dipersiapkan saat liputan maraton.
Jujur, saya tidak pernah akrab dengan kegiatan bangun terlalu pagi. Jika bangun sebelum pukul 05.00, saya selalu sakit perut dan mual. Efek sakit dan mualnya akan semakin parah jika saya kurang tidur pada malam sebelumnya.
Hari Minggu (17/11/2019), saya bangun pukul 01.45. Padahal, sebelumnya saya baru bisa tidur pukul 23.30 karena harus menyelesaikan tulisan. Dalam keadaan menahan sakit perut dan mual, saya berangkat ke lokasi lomba di kompleks Candi Borobudur.
Di hari lomba saya ditugaskan untuk meliput tentang persiapan para pelari serta suasana terkini menjelang dimulainya perlombaan. Setelah selesai wawancara, saya kemudian mengetik di dekat lokasi start. Merasa lelah setelah berdiri terus, saya lalu duduk.
Ternyata sakit perut dan mual yang tadinya membaik mulai saya rasakan kembali. Kali ini rasanya lebih hebat dan disertai keringat dingin. Saat mencoba berdiri, saya jatuh terjengkang. Untung, ada dua orang asing yang membantu saya berdiri.
Sekitar pukul 05.15, saya telah selesai mengetik lalu mengirimkan tulisan. Kemudian saya berencana menemui tukang ojek. Dalam peliputan ini, masing-masing wartawan difasilitasi satu tukang ojek untuk mengantarkan kami keliling lintasan lomba.
”Mbak, saya tidak dapat kartu akses dan rompi, jadi saya tidak bisa masuk ke lokasi lomba. Kalau saya tunggu di Dusun Ngaran II bagaimana, Mbak?”
Begitu pesan singkat dari tukang ojek saat saya meminta dijemput di sekitar lokasi start. Berdasarkan hasil pencarian di Google Maps, jarak antara lokasi saya dan tukang ojek sekitar 1,2 kilometer. Tanpa membuang waktu, saya berjalan kaki menuju si tukang ojek. Masih dengan sakit perut dan rasa mual tentunya.
Saat Borobudur Marathon, beberapa jalan ditutup. Untuk bisa bergerak leluasa, kita harus tahu jalan-jalan tikus. Untung saja, tukang ojek yang ditugaskan mengantar saya paham betul jalan-jalan tikus ini.
Sekitar pukul 05.45, saya sudah sampai di Dusun Pletukan yang masuk wilayah Desa Sidoagung, Kecamatan Tempuran, Kabupaten Magelang. Saat tiba di dusun tersebut, warga sudah sibuk mempersiapkan ini dan itu. Di dusun ini saya benar-benar melihat wujud nyata dari tema Borobudur Marathon 2019, yakni sinergi.
Ada warga yang mempersiapkan kostum tarian Dayak Blarak, ada yang menyiapkan buah untuk para pelari, dan ada pula yang menyiapkan konsumsi untuk warga. Setelah menyelesaikan wawancara dan memotret persiapan warga, saya meminta izin untuk duduk di salah satu teras rumah warga.
Ketika sedang duduk, sakit perut dan rasa mual yang tadi tidak terlalu terasa, kembali muncul. Kali ini saya benar-benar tidak tahan ingin muntah. Melihat gelagat saya, si pemilik rumah yang tadinya sibuk beraktivitas di dapur kemudian keluar rumah dengan membawa teh hangat dan tahu isi.
”Ayo diminum dulu tehnya, Mbak. Ini tahu isinya juga dimakan, enak kok,” kata Tugini (51), pemilik rumah.
Teh yang dihidangkan langsung saya teguk. Ada sensasi pyar ketika air teh hangat itu melewati kerongkongan saya. Saya kemudian mengambil tahu isi dan memakannya. Ajaib, saya pulih. Sakit perut dan mual itu tidak terasa lagi sama sekali.
Sekitar pukul 06.41, pelari pertama, Geoffrey Birgen, tiba di Dusun Pletukan. Warga bersorak-sorak memberikan semangat. Mereka mengenakan kostum yang dibuat dari blarak atau daun kelapa.
”Mister, watermelon, Mister!” kata para ibu pembawa tampah yang berdiri tak jauh dari sekumpulan penari Dayak Blarak. Di sepanjang jalan ada tiga ibu yang menenteng tampah berisi semangka dan pisang. Setiap pelari lewat, ibu-ibu ini menawarkan buah-buah tersebut.
Semakin siang, suasana di Dusun Pletukan semakin meriah. Warga berhimpun menjadi satu, bernyanyi sambil berjoget saat lagu-lagu Didi Kempot diputar. Melihat kemeriahan itu, sebagian pelari memutuskan untuk berhenti sejenak untuk bernyanyi dan berjoget bersama.
Salah satu pelari asal Malaysia, Azhar Bin Omran, mengaku terkesan dengan cara warga Dusun Pletukan menyambut para pelari. Meski tidak paham dengan lirik lagunya, Azhar tetap asyik berjoget ”Cendol Dawet” bersama warga.
Setelah berjoget, warga juga mengajaknya berswafoto. Meski komunikasi antara Azhar dan warga terbatas, Azhar tampak bahagia. Senyum di bibirnya melebar. Di sini saya melihat tema Borobudur Marathon yang kedua, harmoni.
Ikut olahraga
Meliput rangkaian Borobudur Marathon 2019 yang notabene merupakan kegiatan olahraga, memaksa saya ikut berolahraga. Memang tidak sampai harus ikut lari maraton, melainkan ”jalan santai” pada acara Friendship Run yang digelar pada Sabtu (16/11/2019) atau sehari sebelum pelaksanaan Borobudur Marathon.
Hari Sabtu itu, saya datang 20 menit sebelum acara dimulai. Setelah memotret aktivitas pada acara pembukaan, saya berencana melihat aktivitas lari para peserta serta interaksi mereka dengan warga desa yang dilewati. Ini jatah pekerjaan saya sesuai pembagian tugas yang disepakati malam sebelumnya oleh tim.
Jarak yang harus ditempuh pelari Friendship Run adalah 3,1 kilometer. Semula, karena yakin bisa segera mendapatkan bahan tentang interaksi warga dan pelari dengan cepat, saya berencana ikut berlari, meskipun hanya 1 kilometer saja. Namun, setelah berjalan cukup jauh, saya pun menyadari bahwa jarak 1 kilometer saja sudah cukup melelahkan. Apalagi kalau ditempuh dengan berlari.
Oleh karena belum mendapatkan cukup bahan liputan, saya melanjutkan berjalan kaki, tidak jadi berlari. Namun, akibat sama sekali tidak pernah olahraga rutin, saya merasa perjalanan sejauh 3,1 kilometer itu terasa sangat jauh. Apalagi, saya masih harus memanggul tas ransel berisi laptop berikut charger-nya, serta menenteng kamera untuk memotret ke sana kemari.
Sepanjang perjalanan, saya bertemu dengan ibu-ibu warga desa yang sudah saya kenal sebelumnya. Mereka mendorong saya untuk setidaknya jalan cepat kalaupun tidak kuat berlari. Ternyata, prestasi jalan saya pun memalukan karena kalah cepat dari mereka.
Dengan tugas mengamati dan wawancara yang saya lakukan sepanjang jalan, mau tidak mau, saya menjadi peserta terakhir yang menuntaskan finis di acara Friendship Run. Apa boleh buat. Setidaknya, semua tugas utama bisa saya selesaikan.
Sebelumnya, di sepanjang jalan kampung, saya melihat warga keluar rumah untuk menonton rombongan pelari melintas. Sebagian warga melakukannya sambil melakukan aktivitas lain, seperti menjemur anaknya yang masih bayi, atau minum kopi di teras. Namun, semua mata langsung tertuju pada pelari saat mereka melintas.
Seorang warga lansia bahkan ada yang sengaja merekam momen melintasnya pelari dengan telepon selular miliknya. Dia mengatakan, tahun sebelumnya, ia membuat rekaman video serupa.
”Tahun lalu, video itu saya pamerkan ke anak dan cucu saya di Balikpapan,” ujar warga Desa Wanurejo ini.
Istrinya kemudian menimpali, ia dan banyak warga setempat merasa sangat senang desa mereka dilewati acara internasional seperti Borobudur Marathon. ”Adanya acara penting, acara internasional yang memakai lokasi desa, membuat kami juga ikut merasa penting,” ujarnya.
Ucapan itu tentu saja membuat terharu. Ditambah lagi dengan pemandangan sebagian besar warga yang tampak senang dan antusias menyambut para pelari Borobudur Marathon yang melintasi desa mereka.
Energi positif
Mendapat tugas meliput ajang tahunan ini membuat saya bersyukur bisa mencicipi energi nan indah itu. Rupanya, Candi Borobudur bukan sekadar batu yang tertata rapi nan megah.
Ada spirit dan energi positif yang terpancar darinya. Lewat perhelatan Borobudur Marathon 2019 Powered by Bank Jateng, energi itu mewujud dalam perlombaan lari, keindahan budaya, keramahan warga, serta lezatnya kuliner setempat.
”Satu tahun yang lalu saya tidak bisa ngapa-ngapain. Sekarang kayak sedang dimampukan oleh Tuhan untuk bisa lari. Apalagi, dapat kesempatan lari yang berdampak bagi orang lain, kenapa tidak,” ujar Ridwan (23), penyintas kanker yang berlari dalam kategori 10 kilometer.
Ridwan, pemuda asal Kalibening, Banjarnegara, itu menjadi salah satu narasumber saya. Kisahnya melawan kanker limfoma Hodgkin, salah satu jenis kanker kelenjar getah bening, membuat saya tertegun. Kemoterapi dan radioterapi dilakoninya berbulan-bulan hingga rambutnya rontok dan berat badannya merosot drastis.
Disposisi batin yang penuh syukur atas proses pemulihannya diwujudkan dengan berlari di Borobudur Marathon ini. Ridwan yang terpaksa berhenti bekerja sebagai petugas cleaning service di salah satu mal di Jakarta ini tidak hanya berlari untuk dirinya sendiri, tetapi juga sekaligus menggalang dana bagi anak-anak yang terkena kanker di Yayasan Pita Kuning.
Borobudur Marathon mempertemukan saya dengan Ridwan. Perjumpaan ini membuat saya terentak betapa kesehatan adalah karunia yang tidak terperi. Betapa sakit adalah bagian dari kehidupan manusia yang bisa diantisipasi, tapi kadang tidak bisa dihindari.
Ridwan gemar berlari sejak 2016 dan sudah mengikuti sejumlah perlombaan. Ia tidak merokok dan tidak minum minuman beralkohol, tetapi ternyata tidak luput dari serangan kanker. ”Saya pernah panas dingin dan muntah-muntah di kos sampai nangis sendirian dan bertanya, Tuhan kenapa saya,” ujar Ridwan.
Tujuh tahun berkarya di harian Kompas, dengan penempatan di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, selama tiga tahun, kemudian bertugas di tanah kelahiran di Banyumas, Jawa Tengah, hingga kini, membuat saya berjumpa dengan banyak orang.
Penugasan beberapa hari hingga berminggu-minggu di Kendari, Medan, Timika, Singapura, Malaysia, hingga India menyadarkan saya betapa luasnya dunia dan betapa beragamnya umat manusia. Saya pun kian menyadari bahwa semakin hari, ternyata ada banyak hal yang tidak atau belum saya ketahui.
Demikianlah perjumpaan dan perkenalan dengan para pelari di Borobudur Marathon hingga narasumber pegiat wisata di sekitar kawasan Candi Borobudur, memberikan pelajaran hidup bagi saya secara pribadi.
Sosok Soim dari Desa Ngargoretno, Salaman, Magelang, misalnya, prihatin pada penambangan batu marmer. Melalui wisata desa dan perah susu kambing etawa, Soim berupaya menjaga lingkungan terutama area marmer merah. ”Marmer bisa dimanfaatkan melalui wisata, tidak harus ditambang,” ujarnya.
Bagi Muslich, Koordinator Kampung Homestay Borobudur, wisatawan yang hadir di kawasan Borobudur hendaknya bisa dilayani dengan baik serta memberikan cipratan rezeki yang merata bagi masyarakat setempat.
Melalui paguyuban yang dibentuknya, para pemilik homestay bisa saling berkoordinasi dan bergiliran menerima tamu. Tidak ada monopoli atau rebutan menerima tamu. Muslich juga mendorong warga berdaya upaya di tanah mereka sendiri agar tanah warisan leluhur itu tidak dicaplok investor yang membuat warga hanya bisa menjadi penonton.
Mereka yang berjuang dengan jalan dan caranya masing-masing, terangkum dalam harmoni serta sinergi spirit Borobudur. Batu-batuan itu seolah memberikan daya hidup dan daya juang bagi warga serta wisatawan di sana.
Setiap masalah tentu ada jalan keluarnya. Setiap manusia tentu mempunyai kisahnya. Para pelari yang menempuh jarak 10 kilometer, 21 kilometer, dan 42 kilometer berjuang jiwa raga mencapai garis finis. Semua lelah dan peluh yang menetes terangkum dalam energi positif di semesta....