Karunia Pasang-Surut Danau Melintang di Kutai Kartanegara
Saat air Danau Melintang surut dan ikan berkurang, nelayan di Desa Muara Enggelam, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, memanfaatkan danau sebagai sawah tanpa pestisida atau pupuk.
Oleh
SUCIPTO
·5 menit baca
Yuniar (54) turun dari gubuknya di tengah Danau Melintang, Kutai Kartanegara, Sabtu (23/11/2019). Ia menceburkan kakinya ke danau yang tengah surut. Kakinya terendam sekitar 30 sentimeter. Lumpur merendam kakinya lebih dalam. Perlahan, ia melangkah menuju sawahnya, tepat di belakang gubuk.
Keluarga Yuniar adalah keluarga nelayan, sama seperti 175 keluarga lain di desanya, Desa Muara Enggelam. Mereka tinggal di tengah Danau Melintang di hulu Sungai Mahakam. Pasang dan surut danau membuat warga membangun rumah panggung dengan tinggi tiang 8 meter. Beberapa warga memilih membangun rumah apung.
Danau seluas 11.000 hektar itu jika airnya pasang bisa mencapai 7 meter. Pada masa seperti itu, permukiman warga seperti rumah-rumah di atas lautan.
Tahun ini menjadi tahun istimewa bagi warga karena padi bisa ditanam hingga menguning.
Dalam kondisi seperti itu, ikan baung, gabus, jelawat, biawan, lais, belida, dan bentilap akan mudah didapat, karena sedang berkembang biak. Namun, saat danau surut, jumlah ikan menurun drastis. Bahkan, sebagian wilayah yang sebelumnya terendam air bisa menjadi daratan.
Pada masa air surut sekitar bulan September-awal Desember, ikan masih bisa didapat tetapi tak sebanyak ketika air pasang. Pada masa-masa ini, nelayan membuat keramba untuk membudidayakan ikan agar tangkapannya maksimal. Sebagian nelayan lain memanfaatkan danau surut untuk menanam padi, seperti Yuniar.
Meski demikian, menanam dan memanen padi tak selalu bisa dilihat setiap tahun di desa ini. Varietas padi yang ditanam adalah Situ Bagendit, salah satu varietas padi gogo yang mampu tumbuh di sawah.
Padi itu baru bisa ditanam jika air danau benar-benar surut dan menggenang sekitar 10 sentimeter dalam waktu lama. Kondisi begitu amat jarang dialami, sekitar 3 tahun sekali.
”Ada kalanya air surut sekali, kemudian kami tanami bibit padi. Namun, air sudah naik sedikit di hari berikutnya sehingga seluruh bibit terendam dan hanyut,” kata Yuniar.
Oleh sebab itu, memanen padi di tengah danau jadi pemandangan sangat langka. Tahun ini menjadi tahun istimewa bagi warga, karena padi bisa ditanam hingga menguning. Air danau naik seiring pertumbuhan padi.
Yuniar saat itu sedang memetik padi-padi yang mulai menguning dengan ani-ani, pisau kecil yang digunakan petani memetik padi. Sebenarnya, belum seluruh padinya menguning. Namun, beberapa ulat sudah menyerang hamparan padi di sekitar 1.800 meter persegi bagian danau yang dijadikan sawah itu.
Untuk menyelamatkan panen dan tambahan penghasilan, warga harus memetik padi yang sudah menguning. Itu lebih baik daripada hancur ”dipanen” hama.
Alami
Tanah lumpur dan air danau yang menggenang membuat padi yang ditanam bisa tumbuh alami tanpa harus semprotan pestisida atau tebaran pupuk. Para nelayan hanya perlu mengawasi padinya agar tak dimakan burung atau gangguan hama lain.
”Kami hanya tunggu saja, tidak perlu pakai obat-obatan. Kalau ada hama seperti ulat, kami buang manual. Ulat datang biasanya kalau sudah mau panen saja, sehingga kami bisa hindari dengan memanen yang sudah menguning,” kata Rasidi (60), suami Yuniar.
Dari 500 meter persegi danau yang ditanami padi, setidaknya bisa dihasilkan 1,6 ton beras.
Rasidi mengatakan, memanen lebih awal juga dilakukan karena air waduk sudah menunjukkan kenaikan nyaris menyentuh padi. Menanam padi di atas waduk memang bergantung kondisi air yang kerap kali sulit ditebak.
Jika air menunjukkan gelagat akan naik, para petani perlu bergegas memanen padi yang sudah bisa dipanen. Jika dibiarkan, besar risikonya.
Padi di atas danau itu mulai dipanen setelah tiga bulan. Usai dipetik, mereka bawa pulang gabah untuk dijemur sekitar dua hari. Setelah itu, gabah dibawa ke desa tetangga, Desa Muara Muntai Ilir, untuk digiling.
Untuk sampai di desa tetangga itu, perlu perjalanan sekitar 30 menit. Gabah dibawa menggunakan perahu ketinting, perahu kecil bermesin 15 tenaga kuda.
Warga lain yang menanam padi, Ibrahim (26), mengatakan, dari 500 meter persegi danau yang ditanami padi, setidaknya bisa menghasilkan 1,6 ton beras. Selain untuk kebutuhan keluarga selama setahun, beras itu biasanya dibagi-bagikan kepada keluarga sendiri atau dijual.
”Ketika musim surut seperti ini, setidaknya bisa menghemat uang beli beras dalam setahun ke depan,” katanya.
Padi terapung
Melihat nelayan yang antusias menanam padi, Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara sedang berupaya mengembangkan padi terapung di Desa Muara Enggelam. Itu dilakukan agar nelayan di sana bisa menanam padi sepanjang tahun ketika air pasang maupun surut.
Saat ini, padi terapung itu masih tahap uji coba. Padi diapungkan dengan bambu, kaleng, dan drum. ”Saat ini masih dalam percobaan. Jika sudah berhasil, nanti bisa digunakan oleh masyarakat,” kata Kepala Bidang Komunikasi Publik Dinas Komunikasi dan Informatika Kutai Kartanegara Ahmad Rianto.
Jika padi bisa ditanam sepanjang tahun, masyarakat pun bisa berhemat untuk keperluan sehari-hari. Sebab, berbagai kebutuhan pokok seperti beras, sayur, dan bumbu masak harus dibeli di Desa Muara Muntai Ilir, desa tetangga yang lebih dekat ke daratan.
Oleh karena jarak yang lumayan dan perlu dibawa menggunakan perahu, harga kebutuhan pokok naik cukup tinggi di sana. Harga beras di Muara Enggelam berkisar Rp 10.000-Rp 13.000 per kilogram.
Desa Muara Enggelam termasuk desa yang sulit dijangkau. Dari Tenggarong, pusat pemerintahan Kutai Kartanegara, pengunjung harus menempuh jalur darat ke Desa Kayu Batu, Kecamatan Muara Muntai. Dari sana, lanjut naik perahu kayu bermesin sekitar dua jam mengarungi Sungai Mahakam dan anak sungainya. Tak hanya itu, perlu juga menyeberangi Danau Melintang.
Sebagian warga bermigrasi ke sana sejak puluhan tahun lalu karena ikan sebagai sumber kehidupan nelayan berlimpah di sana. Air di danau itu memang benar-benar sumber kehidupan. Pasang atau surutnya air danau itu tetap menjadi rejeki bagi warga.
Danau Melintang juga pernah menjadi rumah bagi satwa langka, pesut, yang pernah ditangkap pada tahun 19874 dan dipelihara di Gelanggang Samudera, Jakarta.
Sudah sejak lama warga beradaptasi dengan pasang surut danau, termasuk model rumah yang mereka tinggali. Selain menanam padi di danau, warga juga membuat rumah panggung dan rumah apung kayu agar tetap bertahan dalam kondisi apa pun.
Di perkotaan, rumah-rumah tapak dibangun di sempadan sungai dan daerah aliran sungai. Bahkan, warga di tepi sungai mengambil alih sebagian badan sungai untuk mendirikan rumah. Akibatnya, limpahan air sungai yang sebenarnya peristiwa alamiah, muncul sebagai musibah. Tidak demikian dengan warga di Danau Melintang.