Dominasi Manchester City di Liga Inggris nampak berakhir seiring kekalahan 1-2 dari rival sekotanya, Manchester United. Gelar juara musim ini kini bisa dikatakan mustahil bagi “The Citizens”.
Oleh
Yulvianus Harjono
·4 menit baca
MANCHESTER, MINGGU – Di jagat fana ini, tiada hal yang abadi. Sejarah berkata, setiap era kejayaan bakal menemui ajalnya, cepat ataupun lambat. Realitas itu kini harus dihadapi dua kali juara Liga Inggris beruntun, Manchester City, seusai kolaps 1-2 dari Manchester United, Senin (8/12/2019) dini hari WIB.
City, tim yang dikenal trengginas dan mematahkan berbagai rekor di Liga Inggris dua musim terakhir, bak mesin usang saat menjamu tim sekotanya, MU, di Stadion Etihad. Tidak nampak kedigdayaan tim yang menyapu bersih tiga gelar domestik pada musim lalu itu. “The Citizens” nampak lamban, tua, dan konservatif meladeni barisan penyerang MU yang muda, lincah, dan luar biasa cepat.
Seperti diprediksi sebelumnya, trisula penyerang MU, yaitu Marcus Rashford, Daniel James, dan Anthony Martial, menggembosi pertahanan City dengan serangan-serangan balik cepat bak kilat. Di babak pertama laga itu, MU telah unggul 2-0 berkat gol penalti Rashford dan sepakan kaki kiri terarah Martial. Gilanya, kedua gol itu dicetak hanya dalam jeda waktu enam menit.
“Kami tahu kecepatan yang mereka miliki. Namun, terkadang, tidak mungkin bisa mengontrol (kecepatan lawan) itu,” ujar Manajer Manchester City Pep Guardiola yang tidak nampak kaget dengan kekalahan timnya itu di kandang sendiri.
Akibat kekalahan itu, City pun kian tertinggal jauh, yaitu 14 poin, dari tim pemuncak klasemen Liverpool. Di hari yang sama, “The Reds” memukul Bournemouth 3-0. Sepanjang sejarah Liga Inggris, tidak ada tim yang bisa menjadi juara setelah tertinggal poin sebanyak itu di pertengahan musim. “Jadi, jujur saja, harapan City meraih gelar juara (musim ini) telah berakhir,” ujar Michael Brown, mantan gelandang City, di BBC.
Guardiola sendiri enggan terbuka menyatakan menyerah dalam perburuan trofi juara Liga Inggris musim ini. Namun, secara tersirat, trofi itu hampir mustahil mereka raih musim ini. “Bakal sulit (mengejar Liverpool). Mereka dalam kondisi luar biasa, yaitu memenangi 15 dari 16 laga (di Liga Inggris musim ini). Bukan hal realistis berpikir tentang mengejar mereka saat ini,” ujarnya kemudian.
Mantan pelatih Barcelona itu kini menghadapi hal yang ditakutinya. Musim ini adalah start terburuknya sepanjang 11 tahun karir manajerialnya. City sejauh ini baru mengemas 32 poin dari 16 laga menyusul empat kekalahan dan dua kali imbang di liga. “Terkadang, hal itu terjadi. Tim lain tampil lebih baik dan Anda kalah. Adalah hal normal tidak selalu menjuarai liga,” ujar Guardiola diplomatis.
Musim ini, terlepas buruknya kinerja pertahanan City menyusul absen panjangnya bek tengah Aymeric Laporte, permainan mereka memang jauh menurun. Dua musim terakhir, mereka sangat konsisten meraih poin dari barisan raksasa seperti MU maupun tim-tim kecil. Di dua musim itu, City menjadi kampiun dengan mengemas masing-masing 100 dan 98 poin. Menginjak akhir paruh pertama musim ini, mereka baru mengemas sepertiganya.
Tanda-tanda usang
Menurut Mark Ogden, analis sepak bola Liga Inggris, itu semua menjadi gejala akhir dari siklus kejayaan City. Berbeda dengan liga-liga lainnya seperti Italia dan Perancis, siklus dominasi di Inggris memang jauh lebih pendek akibat sengitnya persaingan dan kualitas tim. “City kini menunjukkan tanda-tanda jenuh dan usang seusai dipacu habis-habisan dua musim terakhir,” tulis Ogden dalam kolomnya di ESPN.
Di sejumlah lini, City memang terlihat mulai keropos. Duo gelandang, Fernandinho (34) dan David Silva (33), telah menuai dan bakal meninggalkan City akhir musim ini. Di sektor bek sayap kiri, Benjamin Mendy, mulai terlihat kehilangan gairah dan tidak disiplin. Cilakanya, dua pelapisnya, Oleksandr Zinchenko dan Angelino, belum sepadan kualitasnya.
Di saat sama, naasnya pula, striker Sergio Aguero tengah cedera. Sayangnya, situasi itu gagal dimanfaatkan striker muda, Gabriel Jesus, yang masih nampak labil dalam urusan mencetak gol. Situasi kian dipersulit dengan krisis bek tengah. Mereka membayar mahal atas keputusan di awal musim ini untuk tidak mencari pengganti kapten dan bek senior, Vincent Kompany, yang pulang ke kampung halamannya di Belgia.
Di antara itu semua, hal yang paling mengkhawatirkan bagi fans City adalah bakal hengkangnya Guardiola. Penurunan performa ini sebetulnya bukan hal asing bagi Guardiola. Ia sempat mengalaminya di Barca. Setelah menggenjot habis-habisan timnya dan mengemas 14 trofi selama empat musim di klub itu, Guardiola tidak lagi mampu memotivasi timnya di musim 2011-2012.
Barca menutup musim itu dengan trofi penghibur, yaitu Piala Raja Spanyol, setelah gagal meraih gelar juara Liga Spanyol dan Liga Champions. Bagi pelatih perfeksionis macam Guardiola, situasi nonkompetitif timnya itu menyiksa batinnya. Seperti di City saat ini, ketika itu para pemainnya seperti Dani Alves mulai tidak disiplin. Ia lalu memutuskan mundur dari Barca dan rehat dari sepak bola selama setahun.
“Pep adalah tipikal pelatih yang menuntut lebih. Itu membuatnya timnya kehabisan tenaga. Ketika ia mulai menyadari para pemainnya tidak lagi bisa merespon baik ekspetasi tingginya, ia memilih pergi,” tutur Josep Maria Minguella, sahabat sekaligus mantan agennya saat masih menjadi pemain. (Reuters)