Di Purwakarta, Pala Pernah Berjaya
Jauh dari daerah asalnya di Maluku, pala (Myristica fragrans) pernah membawa sejahtera pada kehidupan sebagian warga Purwakarta, Jawa Barat.
Jauh dari daerah asalnya di Maluku, pala (Myristica fragrans) pernah membawa sejahtera pada kehidupan sebagian warga Purwakarta, Jawa Barat. Sisa kegemilangan masa lalu masih meninggalkan harum bagi mereka yang setia. Butuh kreativitas dan kolaborasi banyak pihak agar masa jaya pala datang kembali.
Di Desa Wanayasa, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Purwakarta, Mak Ijoh (70) merupakan legenda pembuatan pala. Siang itu, ia bercerita banyak hal di bawah pohon pala. ”Dulu, di halaman rumah tiap orang selalu ada pohon pala. Tidak ada warga yang tidak menanam. Banyak buahnya, pohonnya juga lebat, membuat udara terasa dingin,” tuturnya dengan logat Sunda kental.
Akan tetapi, kata Mak Ijoh, sebelum tahun 1990-an, hampir tak ada nilai tambah dari pala. Buah pala dibiarkan berserakan di bawah pohon. Warga hanya mengambil biji pala untuk dijual ke pengepul. Biji pala umumnya digunakan sebagai bumbu. Harga pala utuh belum diolah sangat murah, sekitar Rp 3.500 per kilogram
Seiring berjalannya waktu, daging buah pala dimanfaatkan menjadi manisan. Ijoh adalah salah satu perintis pada tahun 1993. Saat itu, banyak daging buah pala terbuang setelah diambil bijinya. Awalnya, Ijoh hanya iseng, mengumpulkan daging pala dan diolah jadi manisan. Ijoh, yang hanya tamatan SD, belajar otodidak untuk membuat manisan.
Perlakuan ini untuk menghilangkan rasa pahit dan memudahkan pengupasan. Selanjutnya, daging buah dikupas dan disiram air panas.
Masih tajam ingatan Ijoh tentang pembuatan manisan pala. Pertama, buah pala segar direndam dalam larutan garam selama dua hari. Perlakuan ini untuk menghilangkan rasa pahit dan memudahkan pengupasan. Selanjutnya, daging buah dikupas dan disiram air panas.
Tahap selanjutnya, daging buah pala direndam larutan gula selama tiga hari. Setelah ditiriskan, daging buah pala diiris tipis-tipis lantas dibentuk serupa kipas dan dibalur gula pasir. Pembaluran gula diulang sebanyak empat kali sambil dijemur. Dengan metode yang bertahan selama 26 tahun itu, Ijoh mampu memproduksi 80 kilogram manisan pala per bulan. Produknya dijual di rumah dan dititipkan di pusat oleh-oleh. Ijoh memasang harga Rp 50.000 per kilogram. Berkat pala, ia mampu membangun rumah bahkan naik haji.
Meski demikian, Ijoh tak pelit membagi ilmu. Dengan senang hati ia mengajari tetangga yang berminat belajar membuat manisan. Ia juga kerap diajak staf pemerintah daerah berkeliling untuk memberikan pelatihan tentang pembuatan manisan pala. Ketika daging pala mulai banyak diolah, harganya melonjak jadi Rp 7.000 per kg.
Yati Supriyati (58), tetangga Ijoh, juga hidup dari pala. Ada sekitar enam pohon pala berumur lebih dari 15 tahun di pekarangan rumah Yati. Yati memetik buah pala menggunakan sebilah bambu yang dipasang mata pisau di ujungnya. Buah pala pun berjatuhan ke tanah. Dengan sigap, Susilawati (40), anak Yati, mengambil buah pala dan memasukkan ke larutan garam. Tak menunggu lama, daging buah pala langsung dikupas dan dipisahkan dari biji. ”Rasa manisan buatan tiap rumah itu khas. Tidak ada pakemnya. Selera pembeli yang akan menentukan,” kata Yati.
Sekitar tahun 2000, Yati sudah membantu Maryam, mendiang ibunya, di kios toko oleh-oleh dekat Situ Wanayasa, obyek wisata di Purwakarta. Saat itu, tokonya sangat laris. Namun, harga sewa kios kian mahal. Akhirnya, produk manisannya hanya dititipkan ke toko milik tetangga. Berkat buah pala, Yati menyekolahkan keempat anaknya hingga tamat SMA.
Dibawa Belanda
Pala tidak tumbuh begitu saja di Wanayasa. Bambang Budi Utomo, arkeolog senior Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, mengatakan, semula tanaman pala ada di Banda dan di pulau-pulau sekitarnya. Sama seperti tanaman cengkeh yang dulunya hanya ada di Ternate dan pulau sekitarnya. Kedatangan bangsa-bangsa Eropa menyebabkan tanaman itu dibudidayakan di luar Banda, antara lain di Pulau Jawa.
Pemerhati sejarah Purwakarta, Ahmad Said Widodo, menambahkan, tanaman itu diduga dibawa Belanda dari Banda pada masa tanam paksa era tahun 1830-1870. Penyebaran pala ke daerah lain dilakukan karena kas Pemerintah Kolonial Hindia Belanda terkuras habis dan mengalami kerugian akibat Perang Jawa sepanjang 1825-1830.
Said mengatakan, penyebaran biasanya dilakukan di lahan-lahan perkebunan milik orang Belanda. Di Wanayasa, komoditas perkebunan yang tumbuh adalah teh. Catatan Kompas, pada periode itu, harga pala masih bisa diandalkan pemerintah kolonial untuk mengisi kasnya. Berbagai catatan perjalanan para petualang Eropa menyebutkan, nilai segenggam biji pala setara dengan segenggam emas.
Data Dinas Pangan dan Pertanian Kabupaten Purwakarta, pada 2018, terdapat 197,56 hektar perkebunan pala di wilayah itu.
Merunut sejarah panjang itu, tak heran pala sejak lama hidup bersama masyarakat Purwakarta. Data Dinas Pangan dan Pertanian Kabupaten Purwakarta, pada 2018, terdapat 197,56 hektar perkebunan pala di wilayah itu.
Selain Wanayasa, pala tersebar di Kiarapedes, Bojong, Pondoksalam, dan Daragdan. Lahan terbagi menjadi areal produktif 85,69 hektar, belum menghasilkan (107,92 hektar), dan lahan tanaman tua atau rusak (3,95 hektar). Lahan tersebut dimiliki 498 rumah tangga dengan total produksi 46,78 ton pala per tahun.
Merosot
Setelah sempat menjadi emas hijau, harga pala perlahan anjlok. Kini, harga biji pala hanya laku Rp 50.000 per kilogram. Sementara harga emas saat ini lebih dari Rp 700.000 per gram. Menyikapi hal itu, Kepala Bidang Usaha Kecil Menengah Dinas Perindustrian dan Perdagangan Purwakarta Ahmad Nizar mengatakan, pihaknya berupaya membangkitkan pesona pala bersama warga. Selain mendukung usaha manisan pala, pihaknya juga mendorong diversifikasi pangan dari pala.
”Supaya keberlangsungan produk pala terjaga, kami beberapa kali mengadakan acara gelar produk pangan agar warga terinspirasi berinovasi dan menambah nilai jual pala,” ucap Ahmad. Sejak tahun 2000, pihaknya mendorong usaha pengolahan minyak atsiri pala bersama Dinas Pertanian dan Pangan Purwakarta. Saat warga mengembangkan minyak atsiri dari cengkeh dan sereh, Pemkab Purwakarta memberi tangki penyulingan minyak.
Namun, saat ini tidak banyak warga melanjutkan pengolahan minyak atsiri pala. Sejumlah hal menjadi penyebab. Antara lain, bahan baku minim, kurang modal untuk membeli pala, serta harga jual yang tidak sebanding dengan ongkos produksi. Padahal, bisa dibilang harga minyak atsiri cenderung labil.
Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Purwakarta Agus R Suherlan mengatakan, usaha penyulingan minyak sulit dilakukan perseorangan. Saat ini ada satu pengusaha yang tertarik mengembangkan minyak atsiri di Purwakarta. Produksinya bahkan pernah diekspor. Saat panen raya, mereka mampu memproduksi hingga 2 ton dalam sepekan.
Tidak stabilnya jumlah panen biji pala di Purwakarta mengharuskan pengusaha untuk membeli bahan baku dari luar Purwakarta.
Bahan baku untuk minyak atsiri tidak hanya berasal dari biji, tapi juga daun, kulit batang, dan fuli. Harga minyak atsiri dari buah pala Rp 450.000-Rp 550.000 per kilogram. Tidak stabilnya jumlah panen biji pala di Purwakarta mengharuskan pengusaha untuk membeli bahan baku dari luar Purwakarta.
Pada 2020, pihaknya berencana meningkatkan produksi pala melalui sejumlah program, di antaranya intensifikasi tanaman pala dan rehabilitasi. ”Produksi pala di Purwakarta belum maksimal karena sebagian berumur tua, ada pula yang rusak, dan masih muda,” ucapnya.
Menjelang siang, Mak Ijoh belum berhenti bercerita, usia lanjut tak mengurangi semangatnya. Di usia yang kian senja, Ijoh berharap, anak cucunya tetap meneruskan usaha manisan pala. Ijoh ingin semakin banyak orang merasakan manfaat dari pala.