Badan Nasional Penanggulangan Bencana meluncurkan program keluarga tangguh bencana di Desa Pasie Jantang, Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Minggu (8/12/2019).
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
JANTHO, KOMPAS — Badan Nasional Penanggulangan Bencana meluncurkan program keluarga tangguh bencana di Desa Pasie Jantang, Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, Minggu (8/12/2019). Pengetahuan kebencanaan dan kemampuan mitigasi dalam keluarga menekan risiko bencana.
Peluncuran program Keluarga Tangguh Bencana (Katana) dilakukan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo. Kegiatan ini diikuti sebanyak 2.000 perserta dari 23 kabupaten/kota di Aceh dan dari beberapa provinsi lain. Para peserta dari kalangan TNI/Polri, relawan bencana, akademisi, pegawai pemerintah, mahasiswa, dan warga umum.
Setelah diluncurkan di Aceh, program ini akan dilaksanakan semua provinsi di Indonesia mulai 2020. ”Setelah ini akan dibahas di tingkat kementerian bersama pakar untuk menyusun tahapan pelaksanaan lebih detail,” ujar Doni.
Pasie Jantang dipilih sebagai lokasi peluncuran Katana karena pada saat gempa dan tsunami 26 Desember 2004, daerah itu luluh lantak dihantam gelombang. Saat itu, sebanyak 500 warga desa meninggal. Di Desa Pasi Jantang juga terdapat Gua Ek Leuntie, yang menyimpan jejak tsunami kuno sekitar 7.400 tahun lalu.
Program Katana mengangkat tema ”Kita Jaga, Alam Jaga Kita”. Selama tiga hari, para peserta diberikan materi tentang kebencanaan dan prosedur menyelamatkan diri saat terjadi bencana.
Doni menuturkan, melalui program ini, BNPB ingin semua keluarga di Indonesia memiliki pengetahuan terhadap potensi bencana di daerah masing-masing. Sebab, tingkat pengetahuan seseorang terhadap bencana sangat menentukan orang tersebut selamat dari bencana.
Doni mengatakan, berdasarkan riset yang dilakukan pakar bencana, tingkat keselamatan dari bencana faktor utama pada diri sendiri, baru disusul faktor keluarga dan masyarakat. ”Saya yakin, jika saat itu warga Aceh tahu tentang tsunami, jumlah korban tidak akan sebanyak itu,” kata Doni.
Gempa 9,3 magnitudo disusul tsunami 26 Desember 2004 memorak-porandakan sebagian besar pesisir Aceh dari Meulaboh, Aceh Barat, hingga Lhokseumawe. Gempa dan tsunami Aceh menelan korban lebih dari 160.000 jiwa.
Ketidaktahuan warga terhadap bencana tsunami membuat banyak jatuh korban.
Alih-alih menjauh dari pantai, sebagian warga justru mendekat ke laut untuk menyaksikan fenomena air laut surut. Dalam hitungan detik, gelombang dengan kecepatan 700 kilometer per jam menyapu semuanya.
”Tsunami Aceh adalah pelajaran untuk membangun mitigasi pada diri sendiri dan keluarga,” ujar Doni.
Doni menuturkan, melalui program Katana akan diciptakan kader tangguh bencana mulai tingkat nasional, provinsi sampai tingkat desa. Nantinya setiap rumah tangga wajib mengikuti pelatihan mitigasi bencana.
Untuk menyukseskan program besar ini, Doni berharap Presiden mengeluarkan intruksi Presiden tentang kewajiban pemerintah daerah melakukan rencana darurat penanggulangan bencana.
Doni mengatakan, warga Indonesia harus sadar bahwa mereka hidup di ring of fire atau cincin api di mana setiap jengkal tanah memiliki potensi bencana alam seperti gempa, tsunami, likuefaksi, letusan gunung api, serta bencana hidrometeorologi.
Kepala Bidang Kesiapsiagaan Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) Bobby Syahputra menuturkan, penguatan mitigasi bencana tingkat keluarga untuk mempersiapkan semua anggota keluarga memiliki pemahaman yang baik terhadap kebencanaan.
”Setiap keluarga memiliki standar mitigasi ketika terjadi bencana. Ini yang kita harapkan,” kata Bobby.
Setelah pembentukan Katana, kata Bobby, akan dilanjutkan dengan penguatan desa disebut dengan Desa Tangguh Bencana (Destana). Beberapa desa di Aceh telah ditetapkan sebagai Destana terutama desa yang pernah dilanda tsunami.
Salah satu desa yang menjadi Destana adalah Gampong (Desa) Jawa, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh. Desa ini memiliki standar mitigasi bencana bagi warganya. Warga sepakat memfungsikan lantai dua masjid dan sekolah sebagai gedung evakuasi sementara jika terjadi tsunami.
Namun, kata Bobby, masih banyak warga yang tinggal di kawasan zona bahaya belum memiliki pengetahuan yang cukup tentang kebencanaan. Pada umumnya mereka adalah warga pendatang yang tinggal di lokasi itu setelah terjadi tsunami. Misalnya di kawasan Gampong Alue Naga, Banda Aceh dan kawasan Baitussalam, Aceh Besar. Kawasan ini pernah rata, tetapi kini kembali padat.
Bupati Aceh Besar Mawardi Ali mengatakan, pembangunan rumah di kawasan bekas tsunami sudah telanjur merebak dan pemerintah tak bisa melarangnya. Hal yang harus dilakukan adalah menyiapkan kesiapsiagaan warga dan infrastruktur yang baik seperti jalur mitigasi dan gedung evakuasi.
”Tahun depan kami akan bangun bukit penyelamat di Lhoknga dan kami mengkaji pembangunan gedung evakuasi di kawasan Kajhu,” kata Mawardi.
Seorang warga Aceh Besar peserta program Katana, Arif Munandar (47), menuturkan, pelatihan yang didapatkan selama mengikuti program Katana membuat dia kian siap jika terjadi bencana. Arif tinggal di dekat pantai di Kecamatan Baitussalam. ”Mulai sekarang saya harus sudah menyiapkan rencana evakuasi keluraga jika terjadi bencana,” ujar Arif.
Dosen Kebencanaan dari Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Nazli Ismail, mengatakan, pendidikan kebencanaan harus dimulai dari keluarga, kemudian sekolah, dan lingkungan yang lebih luas.
Para peniliti kebencanaan di Unsyiah bersama BPBA, menurut Ismail, telah menyusun rancangan Qanun/Perda Pendidikan Kebencanaan. Kini draf qanun tersebut telah diserahkan kepada DPR Aceh untuk disahkan. Dalam qanun itu, diatur tentang pendidikan kebencanaan di sekolah, keluarga, dan rencana aksi mitigasi secara menyeluruh.