”Deja vu” adalah ungkapan (idiom) yang sukar diterjemahkan. Frasa dalam bahasa Perancis itu secara harfiah berarti ’sudah pernah melihat’. Bagaimana kalau padanan rekaciptaannya adalah ”kaperlat”?
Oleh
L WILARDJO
·3 menit baca
Di rubrik Surat kepada Redaksi pernah ada pembaca Kompas yang bertanya mengenai terjemahan atau padanan deja vu.
Frasa dalam bahasa Perancis ini secara harfiah (letterlijk, Bld) berarti ’sudah (pernah) melihat’ (deja = sudah; vu ialah bentuk sempurna/selesai dari verba voir yang artinya ’melihat’). Namun, deja vu adalah ungkapan (idiom) yang sukar diterjemahkan.
Di buku Logic karya Prof Wilfrid Hodges (Penguin Books, 1982) pernah saya baca contoh pernyataan yang tidak logis, begini: Kalau Bumi ini datar, dan ada orang yang berangkat dari suatu tempat dan terus… saja berjalan ke arah timur, lalu ia menyatakan bahwa ia telah sampai lagi di tempat ia memulai perjalanannya, pernyataannya itu tidak logis.
Saya tidak tahu apakah ketika menulis baris di puisinya itu Astaman Siregar diilhami Mochtar Apin.
Walaupun contoh ini hipotetis—sebab kenyataannya Bumi ini tidak datar (flat, Ing), tetapi bulat seperti bola—simpulannya bahwa pernyataan orang tersebut tidak logis adalah benar.
Orang dalam contoh hipotetis itu tidak tiba lagi di tempat ia beranjak memulai perjalanannya. Ia mengalami deja vu.
Deja vu ialah istilah psikologi. Artinya atau takrif (definisi)-nya ialah ’erotan (distorsi) ingatan, di mana oleh seseorang suatu situasi atau pengalaman yang sejatinya baru disangkanya sudah pernah dialaminya’.
Saya pernah membaca satu baris dalam puisi karya Astaman Siregar. Kalau tak salah ingat, baris itu begini: ketok ayam menghantar fajar….
Lupa-lupa ingat, akhirnya saya sadar bahwa yang saya baca itu belum pernah saya lihat. Yang pernah saya baca ketika saya masih di SMA ialah suatu baris dalam puisinya Mochtar Apin: gerimis mempercepat kelam.
Saya tidak tahu apakah ketika menulis baris di puisinya itu Astaman Siregar diilhami Mochtar Apin. Saya tidak berani menanyakannya meskipun saya tahu alamat surel (e-mail) dan surput (surat siput: snail mail) Astaman Siregar.
Zamrud khatulistiwa
Di Kompas edisi Selasa, 10 Januari 2023, halaman 15, kolom 6, dalam tulisan yang terkesan sebagai tribute kepada RI-1/5, Prof Dr (HC) Hajah Megawati Soekarnoputri, saya baca: ”Sejak belia, Megawati kerap mendengar Bung Karno mengucapkan Indonesia adalah untaian zamrud khatulistiwa”.
Di bawahnya, di kolom yang sama, disitir oleh Kompas kata-kata Ibu Megawati begini: ”Saya dulu waktu jadi wakil presiden dan presiden, saya suruh protokoler itu kalau ada tamu asing, jangan tanya apa yang Indonesia punya. Saya minta untuk tanya apa yang Indonesia tidak punya.”
Waktu masih duduk di bangku sekolah, dulu, kami diajari Pak Guru bahwa frasa untaian zamrud khatulistiwa itu diucapkan (atau ditulis) oleh Adinegoro. Retorika ”jangan tanya apa yang Indonesia punya….” mengingatkan retorika serupa yang dipopulerkan Presiden Amerika Serikat John F Kennedy: ”Ask not what your country can do for you….”
Walaupun ”kelansiaan” secara alami telah membuat saya menjadi pelupa, saya yakin bahwa kesan saya ketika membaca Kompas, 10 Januari 2023, itu bukan deja vu.
Walakin, kembali ke padanan untuk deja vu itu, bagaimana kalau kita tetapkan saja padanan rekaciptaannya kaperlat (kayaknya pernah lihat)?