Tahun lalu, di bulan Agustus, seorang dara kecil asal Swedia bernama Greta Thurnberg mengentak dunia dengan aksi kecil yang dia namakan Skolstrejk fÖr klimatet atau pemogokan untuk iklim.
Oleh
Al Andang L Binawan
·5 menit baca
Tahun lalu, di bulan Agustus, seorang dara kecil asal Swedia bernama Greta Thurnberg mengentak dunia dengan aksi kecil yang dia namakan Skolstrejk fÖr klimatet atau pemogokan untuk iklim. Upayanya sederhana, yaitu mogok sekolah untuk menuntut agar pemerintah negaranya, Swedia, serius menangani masalah pemanasan global yang berimbas ke perubahan iklim.
Aksi kecilnya bergaung di mana-mana, sehingga tahun ini ribuan siswa sekolah menengah di kota-kota besar di dunia, termasuk Jakarta, ikut \'bolos\' sekolah untuk melakukan protes atas permasalahan pemanasan global, yang tentunya akan sangat berdampak pada masa depan mereka. Aksi itu dilakukan pada hari Jumat. Karena itu, aksi itu lalu juga disebut sebagai aksi 3F, Friday for Future.
Yang juga menarik, aksi 3F tak hanya diikuti siswa sekolah menengah, melainkan banyak kelompok gerakan untuk keadilan, termasuk para pegiat HAM. Berbagai dukungan itu tampak memberi penanda bahwa kesadaran akan keterkaitan keadilan iklim dengan keadilan manusia menjadi sangat erat.
Berbagai dukungan itu tampak memberi penanda bahwa kesadaran akan keterkaitan keadilan iklim dengan keadilan manusia menjadi sangat erat.
Keadilan manusia
Deklarasi universal hak asasi manusia (DUHAM) yang diperingati hari ini bolehlah dikatakan puncak refleksi manusia tentang keadilan. Dikatakan sebagai puncak karena DUHAM memberi isi yang lebih jelas tentang keadilan. Dalam refleksi umum, keadilan secara abstrak hanya dikatakan sebagai memperlakukan manusia sebagai manusia, atau dalam bahasa Immanuel Kant diartikan sebagai memperlakukan manusia sebagai tujuan pada dirinya. Dengan DUHAM, isi keadilan itu lebih jelas, apalagi jika masuk dalam ranah hukum.
Selain itu, DUHAM pun menjadi titik picu lebih besar dalam gerak pembebasan manusia dari tirani \'asesori\' atau atribut-atributnya. Artinya, HAM menawarkan nilai-nilai yang lebih substansial tentang manusia. Dalam sejarah, manusia sering terjebak dalam asesorinya, entah itu garis keturunan, warna kulit, gender, ataupun agama. Kesadaran yang lebih bersifat substansial ini pun menggelinding lebih jauh untuk meluruhkan sekat-sekat kemanusiaan yang lebih bersifat asesoris belaka, termasuk mempertanyakan tentang pembedaan yang didasari orientasi seksual.
Sejajar dengan perannya sebagai titik-picu, kesadaran akan HAM juga lalu berkembang dinamis. Dalam wacana HAM, muncul istilah HAM generasi ketiga, bahkan keempat, yang tentunya terkait dengan kesadaran relasional antar-manusia, termasuk dengan alam. Sekarang, dengan kesadaran akan kesalingtergantungan manusia dalam konteks pemanasan global, muncul dimensi-dimensi baru dalam pemahaman tentang HAM.
Sekarang, dengan kesadaran akan kesalingtergantungan manusia dalam konteks pemanasan global, muncul dimensi-dimensi baru dalam pemahaman tentang HAM.
HAM konvensional
Sebelumnya, perlu diingat lebih dulu bagaimana HAM secara konvensional dipahami. Dalam sejarah, hanya dua dimensi yang dikedepankan. Di satu sisi, ditonjolkan dimensi manusia yang otonom. Ada jejak pengaruh Thomas Hobbes dengan homo homini lupus-nya (manusia adalah serigala bagi yang lain). Konsep-konsep liberal jadi penyangganya. Hak lalu lebih dipahami sebagai kebebasan (freedom). Hal ini termanifestasi dalam hak-hak sipil dan politik, juga karena lebih berlatar sejarah politik Eropa Barat.
Di lain pihak, kubu sosialis melihat bahwa manusia itu lebih bersifat sosial, bukan otonom. Berbeda dari pandangan Hobbes, di sini lebih dipahami sisi positif manusia. Yang ditonjolkan adalah homo homini socius, manusia adalah rekan bagi yang lain. Kebersamaan menjadi penting. Peran negara menjadi besar, bukan hanya menjadi penjaga malam seperti dipahami kubu liberal. Manifestasi dari pemahaman ini tampak dalam hak-hak sosial, ekonomi dan budaya.
Karena perbedaan ideologis, kedua dimensi hak itu menjadi tampak bertolak belakang, dan sulit dikompromikan. Munculnya dua kovenan atau perjanjian internasional yang lebih dikenal dengan ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) dan ICESCR (International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights) menampakkan persaingan paham itu.
Tentu, perseteruan dua kubu itu kian meluruh. Perkembangan dinamika politik global sangat berpengaruh. Selain itu, kesadaran baru terkait problem ekologis memunculkan dimensi baru. Meski harus diakui, kebutuhan manusia akan alam yang baik memang masih dikenali lebih sebagai hak sosial atau ekonomi belaka. Warna antroposentrisnya masih sangat kuat.
HAM Kontemporer
Pada masa ini, selain isu-isu yang lebih personal dalam HAM, yang dipengaruhi perkembangan psikologi dan biologi, seperti tentang orientasi seksual, isu keterkaitan HAM dengan keadilan iklim menjadi makin kentara. Problematik global ini memunculkan dimensi lebih luas dan dalam terhadap HAM, terutama dalam kaitan dengan yang mulai biasa disebut sebagai keadilan iklim. Sebagai catatan, bisalah dikatakan bahwa keadilan iklim adalah keadilan total.
Problem pemanasan global menggarisbawahi kesalingtergantungan antar-manusia dan manusia dengan alam. Karena itu, secara ringkas bisa dikatakan bahwa keadilan ini secara spasial bersifat menyeluruh, bukan keadilan yang terkotak-kotak antara pelaku dan penderita. Keadilan ini tidak mengenal siapa yang diuntungkan dan siapa yang dibuntungkan. Semua menjadi pelaku. Semua pula yang menjadi penderita.
Problem pemanasan global menggarisbawahi kesalingtergantungan antar-manusia dan manusia dengan alam.
Dalam relasi dengan alam, krisis bumi dengan perubahan iklim akibat pemanasan global membuat sekat pembedaan tajam antara rights to environment (hak-hak atas alam) dan environment\'s rights (hak-hak alam) menjadi kendur. Sekarang, orang tidak bisa mengedepankan yang satu dengan menafikan yang lain. Pun, keadilan secara temporal juga meluas, tak hanya terbatas untuk manusia yang ada, melainkan juga untuk hak-hak hidup generasi yang akan datang. Keadilan iklim membuat payung keadilan berkembang dalam ranah waktu.
Konsekuensi gerakan
Dalam payung pemahaman itu, tampak bahwa gerakan HAM pun tak bisa berdiri sendiri. Sikap yang didasari konsep HAM konvensional harus ditinggalkan. Keterkaitan, bahkan kesalingtergantungan, dengan gerakan lain jadi sebuah keharusan. Komunikasi, koordina -si, dan bahkan sinergi antar gerakan perlu ditingkatkan sebaik-baiknya.
Yang perlu berkomunikasi, berkoordinasi dan bersinergi tentunya adalah semua pemangku kepentingan HAM, yang berarti semua pihak. Hanya, yang menjadi lebih mendesak tentunya adalah para penggerak. Dalam hal ini, para pegiat HAM, baik individual maupun institusional.
Komunikasi itu penting agar saling tahu apa yang dilakukan. Koordinasi penting agar tak tumpang tindih dan bertabrakan. Sinergi sangat diperlukan supaya dengan kekhasan masing-masing semua pihak berkolaborasi agar HAM di satu sisi sungguh diperjuangkan, dan di sisi lain tak kehilangan cakrawala yang lebih luas dalam pemahaman kontemporer tadi.
Mengingat kesadaran ini relatif baru, pendasaran yang lebih sahih sungguh diperlukan. Refleksi para akademisi akan memberi kekuatan gerakan. Di lain pihak, mengingat agama jadi salah satu modal sosial yang besar di Indonesia, refleksi para agamawan dalam memberikan pendasaran tentang keterkaitan dan kesalingtergantungan HAM dengan problematika pemanasan global dan perubahan iklim juga akan punya pengaruh sangat penting.
Refleksi dari sisi agama-agama penting karena, pertama, berbagai kelompok gerakan, termasuk agama, bisa lebih bisa saling berkomunikasi, berkoordinasi dan bersinergi. Kedua, pendasaran keagamaan akan memungkinkan lebih mudahnya isu itu dipahami rakyat kebanyakan.
Tentu pula, ketiga, perhatian bersama akan bumi (dan juga Indonesia) yang satu, akan memberi bonus kebersamaan yang meluruhkan sekat-sekat identitas keagamaan yang menebal akhir-akhir ini.
Refleksi dari sisi agama-agama penting karena, pertama, berbagai kelompok gerakan, termasuk agama, bisa lebih bisa saling berkomunikasi, berkoordinasi dan bersinergi.
(Al Andang L Binawan Staf Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta)