Pemerintah mengembangkan tujuh komoditas strategis untuk mencapai targer ekspor tiga kali lipat selama 2020-2024. Tujuh komoditas strategis itu adalah kopi, kakao, kelapa, jambu mete, lada, pala, dan vanili.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·4 menit baca
MALANG, KOMPAS — Pemerintah mengembangkan tujuh komoditas strategis untuk mencapai target ekspor tiga kali lipat selama 2020-2024. Tujuh komoditas strategis itu adalah kopi, kakao, kelapa, jambu mete, lada, pala, dan vanili.
Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Kasdi Subagyono saat Peringatan Puncak Hari Perkebunan ke-62 di Politeknik Pembangunan Pertanian Malang, Selasa (10/12/2019), mengatakan mengatakan Menteri Pertanian menargetkan terjadi peningkatan tiga kali lipat ekspor selama 2020-2024. Tujuh komoditas, yakni kopi, kakao, kelapa, jambu mete, lada, pala, dan vanili berpotensi dikembangkan dan ditangani untuk mencapai target itu.
Sementara komoditas pertanian yang lain tetap ditangani, tetapi tidak menjadi prioritas utama untuk ditangani ke depan. ”Ke depan kita punya gerakan peningkatan produksi, nilai tambah, dan daya saing untuk tujuh komoditas itu,” katanya.
Untuk mencapai target, lanjut Kasdi, pengembangan tidak bisa hanya mengandalkan anggaran pendapatan belanja negara dan daerah. Ada instrumen perbankan untuk pembiayaan, salah satu pendekatannya melalui kredit usaha rakyat (KUR).
Kementerian Pertanian mendapat alokasikan Rp 50 triliun selama 2020 untuk KUR. Dari Rp 50 triliun tadi subsektor perkebunan mendapatkan alokasi Rp 20,37 triliun.
Subsektor perkebunan mendapatkan alokasi Rp 20,37 triliun.
Upaya lainnya, menurut Kasdi, pihaknya akan membangun logistik benih dengan cara membangun kebun sumber benih di sekitar kawasan di mana komoditas dikembangkan. Cara ini dinilai lebih efisien ketimbang mendatangkan benih dari tempat lain.
Pihaknya juga akan mengembangkan kloning untuk meningkatkan produktivitas. Ada juga peremajaan tanaman perkebunan yang sudah tua dan menurun produktivitasnya. Untuk kopi dan kakao, misalnya, masing-masing ada 350.000-400.000 hektar lahan yang menjadi target peremajaan.
Upaya lainnya adalah modernisasi perkebunan karena 70 persen perkebunan di Indonesia merupakan perkebunan rakyat. Jika tidak didukung modernisasi, produktivitas akan rendah. Peningkatan sumber daya manusia juga dilakukan untuk mendukung peningkatan produksi perkebunan.
Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur Karyadi mengatakan Jawa Timur berusaha meningkatkan ekspor kopi yang saat ini rata-rata baru mencapai 70.000-75.000 ton per tahun. Dari angka itu 80 persen adalah kopi robusta dan sisanya 20 persen merupakan arabika. Upaya yang dilakukan adalah perluasan lahan kopi, terutama arabika.
Karyadi mengatakan angka 70.000-75.000 ton itu merupakan ekspor kopi melalui Jawa Timur. Namun, sebagian bahan baku didatangkan dari daerah lain. Saat ini produksi kopi di Jawa Timur baru mencapai 55.000 ton per tahun dari luas lahan sekitar 100.000 hektar yang tersebar di sejumlah daerah.
”Karena itu kami akan berusaha meningkatkan produksi. Caranya dengan memperluas area tanam, terutama kopi arabika. Tahun ini, ada 700 hektar dan tahun depan direncanakan 1.200 hektar perluasan kopi arabika,” katanya.
Menurut Karyadi, salah daerah penghasil kopi di Jawa Timur adalah Malang. Sayangnya, dengan luas lahan sekitar 15.000 hektar, Malang lebih banyak menghasilkan kopi robusta yang dari sisi harga masih kalah dengan arabika. Saat ini rata-rata produksi kopi robusta di Malang mencapai 0,7-0,8 ton per hektar setiap tahun.
”Kami akan dorong petani agar terus meningkatkan produksi. Produktivitas harus naik. Di Sumbermanjing (Malang) ada yang menghasilkan di atas 3 ton per hektar, tetapi belum merata. Masalahnya ada kopi yang produktivitas turun akibat umur tanaman tua. Satu lagi, petani juga harus meningkatkan mutu dan menjaga kontinyuitas,” katanya.
Para petani kopi juga terus meningkatkan kualitas produknya. Petani kopi di Desa Amadanom, Kecamatan Dampit, Kabupaten Malang mendapat sertifikat organik internasional yang mereka tunggu sejak beberapa tahun lalu. Sertifikat diterima bersamaan dengan acara puncak Hari Perkebunan.
Dengan demikian, petani kopi di Amadanom memiliki dua sertifikat. Sebelumnya mereka telah menerima sertifikat organik dari Lembaga Sertifikasi Organik Seloliman (Lesos) pada 2017.
Master Trainer sekaligus petugas penyuluh pertanian kopi dampit, Jajang Somantri, mengatakan, ada sejumlah manfaat yang diperoleh dari sertifikat organik, di antaranya pamor kopi Dampit akan semakin meningkat, harga membaik, dan bisa mendukung ekspor.
”Harapannya ada nilai tambah, pasar yang jelas ke depan. Meski sampai sekarang belum ada yang berani membuat nota kesepahaman dengan kami. Sertifikat organik internasional menjadi bukti bahwa kopi kami punya kualitas bagus,” ujarnya.