Kematian babi di Sumatera Utara terus terjadi, sementara peternak belum juga tahu jenis penyakit yang menyerang ternak mereka. Pemerintah diharapkan segera turun tangan.
Oleh
Nikson Sinaga / Erika Kurnia
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS Kematian babi akibat penyakit yang diduga demam babi afrika (african swine fever/ASF) terus terjadi di 16 kabupaten di Sumatera Utara. Peternak belum mendapat informasi apa pun dari pemerintah tentang penyakit itu. Perdagangan ternak sehat dan sakit masih terus berlangsung dan dapat memperluas penyebaran penyakit tersebut ke beberapa daerah di Indonesia.
”Kami tidak tahu penyakit yang menyerang ternak babi. Selama 17 tahun saya beternak babi, baru kali ini ada kematian babi sebanyak ini. Sudah lebih dari 100 ekor ternak babi saya mati dalam satu bulan terakhir,” kata Robinton Tambunan (40) di sentra peternakan babi di Desa Helvetia, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara (Sumut), Senin (9/12/2019).
Sekitar 23.000 dari 1,2 juta babi di Sumut diperkirakan telah mati akibat penyakit yang diduga ASF ini. Robinton menuturkan, gejala awal penyakit adalah ternak tidak mau makan dan badannya demam. Setelah beberapa hari, ternak terkulai, tidak bisa berdiri. Badan dan mata babi memerah. Beberapa babi mengalami pendarahan dari mulut dan dubur. ”Biasanya, babi mati kurang dari tujuh hari sejak tidak mau makan,” ujarnya.
Dari pantauan, penyakit yang diduga ASF menyerang hampir semua kandang di sentra peternakan Sumut. Banyak ternak pun tampak dibawa keluar dari sentra. Beberapa pengepul malah sengaja datang untuk mencari babi sakit karena murah. ”Babi saya beratnya 80 kilogram saya jual Rp 100.000 karena sakit. Padahal, dengan harga Rp 30.000 per kilogram, harga babi itu seharusnya Rp 2,4 juta,” kata Tiurma boru Sihotang (50), peternak babi di Helvetia.
Berbagai cara
Para peternak mengaku tidak pernah mendengar istilah penyakit ASF. Mereka berupaya mengobati ternak dengan mencampurkan amoxicillin atau paracetamol ke pakan babi. Ada pula yang memberikan bubur instan bayi dan ramuan tradisional China. ”Informasi apa pun yang kami dengar, kami coba,” kata Tiurma.
Peternakan skala besar yang menerapkan biosecurity yang baik masih aman dari serangan ASF. Namun, penjualan mereka merosot karena konsumsi babi menurun drastis. ”Kami biasanya menjual 1.000 ekor babi per bulan. Saat ini yang terserap pasar hanya sekitar 200 ekor per bulan,” kata Manajer Farm PT Mabarindo Sumbul Multi Farm Bitua B Sianturi.
Sianturi mengatakan, kandang mereka di Kecamatan Sinembah Tanjung Muda Hilir, Deli Serdang, penuh karena banyak ternak tidak terjual. Mereka berharap pemerintah menanggulangi penyakit dan memberikan sosialisasi ke masyarakat tentang penyakit ASF.
Informasi apa pun yang kami dengar, kami coba.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumut Azhar Harahap mengatakan, masih memantau perkembangan penyakit babi yang merebak di Sumut. Selain karena ASF, kematian babi disebabkan penyakit hog cholera yang bisa dicegah dengan vaksinasi.
Azhar mengatakan, pengumuman wabah penyakit ASF belum dilakukan. Pengumuman wabah sepenuhnya kewenangan Menteri Pertanian.
Ketua Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia Muhammad Munawaroh mengatakan, Menteri Pertanian seharusnya mengumumkan wabah ASF, seperti diatur dalam UU No 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. ”Pengumuman sangat penting untuk memutus penyebaran virus,” katanya.
Di Jakarta, Direktur Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Fajar Sumping Tjatur Rasa mengatakan akan segera mendeklarasikan wabah ASF. Pihaknya telah berkoordinasi dengan berbagai pihak terkait untuk upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit yang menyebabkan kematian puluhan ribu babi di peternakan rakyat tersebut.