Selain digugat di Mahkamah Internasional, Myanmar menjadi sasaran kampanye boikot terkait tuduhan pemusnahan etnis Rohingya. Myanmar dengan tegas menolak tuduhan itu.
Oleh
KRIS MADA
·3 menit baca
AMSTERDAM, SENIN—Koalisi Internasional untuk Pembebasan Rohingya mengampanyekan boikot terhadap Myanmar. Seruan itu diumumkan sehari sebelum Myanmar menghadapi sidang gugatan di Mahkamah Internasional (ICJ) di Den Haag, Belanda.
Dalam pernyataan pada Senin (9/12/2019), koalisi itu menyebut, kampanye boikot dilancarkan di 10 negara. Mereka mengajak perusahaan, investor, profesional, dan organisasi kebudayaan untuk mengurangi hubungan dengan Myanmar. Kampanye itu bertujuan memberi tekanan nyata dalam sektor ekonomi, budaya, diplomatik, dan politik terhadap Pemerintah Myanmar.
Bukan kali ini saja ada seruan boikot terhadap Myanmar. Pada Agustus 2019, setelah penyelidikan berbulan-bulan, tim pencari fakta PBB mengumumkan bahwa 206 perusahaan terafiliasi atau bekerja sama dengan unit usaha militer Myanmar. Perusahaan-perusahaan itu terlibat pendanaan operasi militer terhadap Rohingya. Sebagian perusahaan itu menjadi kontraktor bagi militer Myanmar. Publik internasional disarankan menjatuhkan sanksi bagi perusahaan-perusahaan itu.
Seruan Koalisi Internasional untuk Pembebasan Rohingya itu disiarkan kala Penasihat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi tiba di Amsterdam, Belanda, pada Minggu malam. Ia akan memimpin tim pembela Myanmar dalam sidang di ICJ mulai Selasa ini.
Menolak tuduhan
Dalam pernyataan resminya, Suu Kyi menyebut, ia hadir di Den Haag untuk membela kepentingan Myanmar di ICJ. Dalam gugatan yang diajukan Gambia itu, masyarakat internasional diminta melindungi warga Rohingya yang menjadi korban pembersihan etnis.
Sejak lama, Suu Kyi dan banyak orang Myanmar menolak tuduhan pembersihan etnis terhadap warga Rohingya. Naypyidaw juga berkeras menolak penyelidikan oleh pihak luar yang dinyatakan tidak sesuai dengan hukum internasional.
Naypyidaw menolak mengakui kewenangan ICJ. Sebab, Myanmar tak meratifikasi konvensi internasional terkait ICJ ataupun Mahkamah Kriminal Internasional (ICC). Para penggugat Myanmar di ICJ dan ICC menjadikan Rohingya dalam pengungsian di Bangladesh sebagai dasar gugatan. Bangladesh mengakui ICC dan ICJ. Karena itu, gugatan bisa diajukan.
Isu itu diduga akan menjadi fokus pembelaan Suu Kyi dan tim yang dipimpinnya dalam sidang perdana di ICJ selama tiga hari mulai Selasa ini. Suu Kyi dan timnya juga akan kembali menyatakan operasi militer hanya menyasar para militan Rohingya.
Selain itu, diperkirakan akan dipaparkan pula bahwa Myanmar telah membentuk komite penyelidik internal untuk isu Rohingya. Meski komite ini dikritik banyak pihak dan diragukan kenetralan serta independensinya, Naypyidaw berkeras komite penyelidik internal itu sudah memadai.
Sidang panjang
Akan butuh waktu bertahun- tahun untuk sampai pada keputusan akhir oleh ICJ dan ICC. ”Upaya hukumnya akan lama dan menantang. Hati-hati mengelola harapan para korban,” kata Kingsley Abbott, pakar dari Komisi Pakar Hukum Internasional.
Sejak berdiri, ICJ baru sekali menjatuhkan vonis terkait pembersihan etnis di Yugoslavia, negara yang sudah bubar. Vonis dijatuhkan dalam kasus pembunuhan 8.000 warga Bosnia di Srebrenica pada 1995.
Meski ada peringatan dari Abbott, pengungsi Rohingya di Bangladesh berharap banyak pada sidang di ICJ. ”Dulu Aung San Suu Kyi simbol perdamaian dan kami berharap ada perubahan kala dia naik ke kekuasaan. Kami berdoa untuk dia. Sekarang dia jadi lambang pemusnahan etnis,” kata Nur Alam (65), yang kehilangan anaknya selama operasi militer Myanmar di Rakhine.
Pengungsi lain, Momtaz Begum (31), kehilangan suami dan tiga anaknya dalam operasi itu. Putrinya juga cedera. Begum sendiri mengalami luka bakar. Ia mengaku rumahnya dibakar tentara Myanmar. ”Mengapa mereka membunuh orang tidak bersalah, anak-anak kami? Kami menuntut keadilan,” ujarnya.
”Kami melihat penyiksaan, pembunuhan, pemerkosaan. Kami hanya bisa lari menyelamatkan diri kala rumah kami dibakar. Masyarakat internasional harus bertindak dan Myanmar harus bertanggung jawab,” kata Mohammed Zobayer (19), pengungsi Rohingya lainnya. (AP/AFP/REUTERS)