BPOM Ungkap Produk Ilegal, Lagi-lagi Tanpa Tersangka
BPOM kembali menyita obat, pangan, dan kosmetik ilegal. Kali ini produk tak sesuai aturan itu diperjualbelikan secara daring di Jakarta dengan nilai mencapai Rp 52 miliar. Namun, belum ada tersangka yang ditetapkan.
Oleh
J GALUH BIMANTARA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengawas Obat dan Makanan mengungkap empat gudang penyimpanan produk obat, kosmetik, dan pangan ilegal bernilai total lebih dari Rp 52 miliar di Jakarta Utara dan Jakarta Selatan, Senin (9/12/2019) malam. Produk-produk itu disiapkan untuk penjualan dalam jaringan atau daring.
”Selama ini sudah ditengarai tantangan obat dan makanan untuk BPOM, yaitu peredaran secara online (daring),” ujar Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito dalam keterangan pada Selasa di lokasi salah satu gudang di Kelurahan Papanggo, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Gudang ini digunakan PT BFC, perusahaan penyedia jasa pengiriman, untuk menyimpan barang-barang yang bakal dikirim.
Dari empat gudang yang digerebek, penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) BPOM menyita total lebih dari 100.000 buah produk yang terdiri dari 44 jenis. Sebanyak 58.355 buah atau 45,84 persen merupakan obat tradisional ilegal yang bernilai Rp 27,98 miliar dan terdiri atas 12 jenis. Adapun 43.071 buah merupakan kosmetik ilegal (dari 29 jenis senilai Rp 17,17 miliar) dan 14.533 buah merupakan pangan olahan ilegal (3 jenis senilai Rp 7,21 miliar).
Produk obat tradisional ilegal yang dijual antara lain bernama Detoxic, Resize Gel, dan Hero Active. Kosmetik ilegal antara lain Diva Mask, Inno Gialuron, Princess Hair, dan Vita Micrite 3D All Use. Adapun jenis pangan olahan ilegal seperti Slim Mix Collagen, Choco Mia, dan Black Latte.
Penny mengatakan, peredaran produk-produk ilegal itu merugikan pelaku usaha obat tradisional, kosmetik, dan pangan resmi yang taat aturan dan berbisnis secara sportif karena mengurangi potensi pendapatan mereka. Pemerintah juga rugi akibat meluapnya potensi pemasukan dari pajak.
”Pada sisi lain, kalau masyarakat mengonsumsi produk-produk ilegal, tidak ada jaminan ini kandungannya apa, jadi bisa berbahaya,” ujar Penny.
Pada sisi lain, kalau masyarakat mengonsumsi produk-produk ilegal, tidak ada jaminan ini kandungannya apa, jadi bisa berbahaya.
Ia menjelaskan, modus peredarannya, PT BFC diduga menerima pesanan produk obat, kosmetik, dan pangan ilegal dari tiga perusahaan perdagangan daring atau e-commerce, yaitu PT 2WT, PT GKI, dan PT DCI. Ketiga perusahaan itu diduga menawarkan produk-produk tersebut secara daring dan mengirimkannya kepada konsumen melalui berbagai jasa pengiriman.
Informasi sementara, perusahaan-perusahaan perdagangan daring itu beroperasi tujuh bulan terakhir, kemungkinan dengan berpindah-pindah lokasi. Area penyebaran produk di Jakarta.
Para tersangka dari kasus ini bisa dijerat dengan ketentuan Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan juncto Pasal 62 Ayat 1 juncto Pasal 8 Ayat 1 Huruf a UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen juncto Pasal 142 juncto Pasal 91 Ayat 1 UU No 18/2012 tentang Pangan. Ancaman hukumannya adalah penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 1,5 miliar.
Meski demikian, Penny masih enggan menyebutkan pihak mana yang diduga melanggar. Belum ada yang ditetapkan sebagai tersangka. ”Kami telah melakukan pemeriksaan setidaknya terhadap 10 saksi terkait temuan ini. Kami terus melakukan pendalaman untuk menemukan aktor intelektual di baliknya,” ujarnya.
Selain itu, BPOM masih bakal memeriksa kandungan produk-produk ilegal ini. Dari kemasannya, produk terkesan berasal dari luar negeri. Namun, BPOM untuk saat ini belum bisa memastikan produk-produk itu asli, tetapi didapatkan atau dijual secara ilegal atau produk palsu yang dibuat di dalam negeri, tetapi dikemas seolah-olah produk impor.
Penggerebekan oleh BPOM yang tanpa disertai adanya pihak yang dinyatakan sebagai tersangka juga terjadi sebelumnya, yaitu saat BPOM mendapati penjualan obat ilegal dengan kedok toko kosmetik di Dadap, Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang, Senin (2/12/2019). BPOM mengekspos ke media pada Selasa, 3 Desember. Saat itu, BPOM menyatakan memeriksa 20 saksi, termasuk fasilitas, tetapi belum ada yang dijadikan tersangka.
Dosen kriminologi Universitas Indonesia, A Josias Simon Runturambi, menyebutkan, hal itu bisa jadi karena penegak hukum masih menentukan siapa tersangkanya dalam proses penyidikan atau kemungkinan lainnya, penyelidikan memang belum selesai. Penyelidikan merupakan tahap untuk menentukan ada-tidaknya suatu tindak pidana, sedangkan penyidikan merupakan tahap selanjutnya, dengan fokus mengumpulkan barang bukti dan menentukan tersangka.
Proses hukum pada kasus kejahatan bidang obat dan makanan, menurut Josias, tidak bisa disamakan dengan kasus kriminal umum. Sebab, legal atau ilegalnya produk mesti diuji terlebih dahulu secara ilmiah sebelum menentukan ada-tidaknya tindak pidana.
Proses hukum pada kasus kejahatan bidang obat dan makanan tidak bisa disamakan dengan kasus kriminal umum. Sebab, legal atau ilegalnya produk mesti diuji terlebih dahulu secara ilmiah sebelum menentukan ada-tidaknya tindak pidana.
Noffendri Roestam, Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia, menduga BPOM terkendala lamanya waktu untuk identifikasi asal-usul dan kandungan produk guna menyatakan produk ilegal atau tidak. Waktunya bisa lebih dari sebulan. Jika tidak didasari hasil pemeriksaan yang tepat, bukti bisa dimentahkan oleh pengacara terdakwa di persidangan.