Indeks Kerukunan di Papua Barat Tertinggi secara Nasional
Meski ada sejumlah persoalan antar-umat beragama, indeks kerukunan beragama di Indonesia meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Adapun wilayah dengan indeks kerukunan tertinggi adalah Papua Barat.
Oleh
Aguido Adri/Dhanang David Aritonang
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indeks kerukunan umat beragama 2019 di Indonesia meningkat menjadi 73,83 dibandingkan tahun lalu sebesar 70,90. Papua Barat menjadi daerah dengan skor indeks tertinggi, mencapai 82,1 persen, karena sesuai tiga indikator utama penilaian. Adapun indikator yang dimaksud adalah tingginya tingkat toleransi, kesetaraan, dan kerjasama antar-umat beragama.
Keluarnya indeks ini diharapkan memicu daerah lain untuk terus meningkatkan kerukunan dan persatuan. Tahun 2019, indeks kerukunan umat beragama (KUB) secara nasional mencapai 73,83 dari rentang skor 1-100. Rinciannya, angka indikator toleransi sebesar 72,37; kesetaraan 73,72; dan kerja sama 75,40. Jika melihat berdasarkan kategori, angka 73,83 ini menunjukkan bahwa kondisi kerukunan umat beragama berada pada kategori tinggi.
Adapun angka KUB meningkat jika dibandingkan tahun lalu, yaitu 70,90. Namun, angka ini masih rendah jika dibandingkan perolehan angka indeks tahun 2015, yaitu 75,36. Meskipun tren indeks KUB menurun dari tahun 2015, rata-rata indeks KUB selalu berada di atas angka 70 atau pada kategori tinggi. ”Indeks KUB ini memperlihatkan bahwa kondisi kerukunan umat beragama di Indonesia baik,” kata Muhammad Adlin, peneliti Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Rabu (11/12/2019), di Jakarta.
Indeks KUB ini mengambil konsepsi dasar kerukunan dengan merujuk pada pengertian kerukunan sebagaimana dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006/8 Tahun 2006, yaitu suatu kondisi hubungan umat beragama yang toleran, setara dalam menjalankan agama, serta bekerja sama dalam membangun masyarakat, bangsa, dan negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar l945.
Berdasarkan berbagai rumusan dan kesimpulan tersebut, untuk memperoleh indeks KUB, survei mengukur tiga indikator utama, yaitu toleransi, kesetaraan, dan kerja sama antar-umat beragama. Kerukunan umat beragama terwujud melalui tingginya tingkat toleransi, kesetaraan, dan kerja sama antar-umat beragama.
Survei Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Balitbang dan Diklat Kementerian Agama ini melibatkan 13.600 responden yang tersebar di 34 provinsi. Adapun responden yang terlibat adalah masyarakat Indonesia berusia di atas 17 tahun atau sudah menikah. Pelaku survei menyebarkan pertanyaan dengan membacakan langsung pertanyaan kepada 13.600 responden yang mewakili keluarga di 136 kabupaten/kota di 34 provinsi tersebut.
Survei tahun 2019 ini menggunakan metode multistage clustered random sampling dengan margin of error lebih kurang 1,76 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen. Survei ini melibatkan 36 peneliti, 1.360 pembantu peneliti (enumerator), dan 20 persen dari total responden dipilih untuk kegiatan spot-check yang berasal dari Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan. Tujuannya adalah memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan survei.
”Paparan hasil survei ini bertujuan memberikan masukan kepada pemerintah baik di pusat maupun di daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan persoalan kerukunan umat beragama yang dapat menangkal intoleransi dan radikalisme,” ujar Adlin.
Dalam survei tersebut, Papua Barat menduduki peringkat pertama dengan skor indeks KUB sebesar 82,1, disusul Nusa Tenggara Timur sebesar 81,1 dan Bali 80,1. Sementara daerah yang memiliki indeks KUB di bawah rata-rata nasional adalah DKI Jakarta sebesar 71,3; Riau 69,3; Banten 68,9; Jawa Barat 68,5; Sumatera Barat 64,4; dan Aceh hanya 60,2.
Adlin mengatakan, pengaruh dinamika politik seusai pemilu dan upaya rekonsiliasi antarkelompok kubu 01 dan 02 memengaruhi pikiran masyarakat untuk bersikap toleran kepada orang lain. Penyebab lain adalah kebijakan peraturan UU ITE yang membantu masyarakat memahami bahwa ujaran kebencian dan intoleransi tidak bagus dalam kerukunan umat beragama.
Namun, berdasarkan hipotesis Adlin, faktor dinamika politik juga memengaruhi persepsi masyarakat di daerah yang memiliki indeks di bawah rata-rata. Toleransi, kesetaraan, dan kerja sama menjadi variabel yang diukur untuk memengaruhi indeks umat beragama.
”Jadi, daerah yang memiliki indeks di bawah rata-rata itu yang paling terkena dampak dari konstelasi politik di Indonesia, mulai dari Pilkada DKI 2017 dan Pilpres-Pileg 2019,” katanya.
”Kerukunan itu diciptakan, dibangun, dan harus dijaga. Kami (pemerintah) terus berupaya mengampanyekan narasi kerukunan dalam cara pandang, sikap, dan perilaku bahwa intoleransi harus semakin dipinggirkan, bahwa itu tidak baik,” ujar Adlin.
Ia melanjutkan, pemerintah akan memberikan penghargaan Harmoni Award kepada kepala daerah yang daerahnya memiliki indeks tertinggi. Insan media juga akan mendapat penghargaan atas pemberitaan yang memuat konten kerukunan. ”Semoga ini menjadi pemantik bagi masyarakat, kepada daerah, dan semua lembaga untuk terus meningkat persatuan dan kerukunan,” katanya.
Untuk meningkatkan indeks kerukunan umat beragama, Kementerian Agama perlu bersinergi dengan Kementerian Dalam Negeri agar kepala daerah bisa membuat kebijakan-kebijakan yang toleran. Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani berpendapat, masih ada kepala daerah yang diskriminatif dan menggunakan politik identitas sebagai alat untuk memperkuat kekuasaannya. ”Kepala daerah jangan sampai menggunakan isu agama untuk alat politik mereka dan harus bisa jadi pelayan yang netral bagi semua umat beragama,” kata Ismail.
Ia menambahkan, berdasarkan riset Setara Institute, masih ada kepala daerah yang mempersulit izin untuk pendirian tempat ibadah, yang membuat indeks kerukunan antar-umat beragama menjadi turun. Selain itu, munculnya persaingan antar-ormas agama juga berpotensi menimbulkan gesekan di masyarakat.
”Tidak bisa dimungkiri, ada semacam kontestasi antar-ormas untuk memperkuat otoritas keagamaan dan memperbanyak basis massa yang mereka ajak. Hal-hal seperti ini wajar saja terjadi, tetapi perlu dihindari upaya-upaya intoleransi untuk memperkuat basis massa tersebut,” ucapnya.
Selain itu, Ismail menilai, kemunculan paham-paham radikal yang menginginkan adanya semacam Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) pun perlu diantisipasi untuk mencegah kasus-kasus intoleransi di daerah. Perlu ada penguatan peran pemerintah agar kohesi sosial tidak terancam karena kemunculan paham tersebut.
Adlin melanjutkan, semua elemen masyarakat, salah satunya pemberi pengaruh (influencer) di media sosial dan kaum milenial, harus terlibat mengampanyekan kerukunan dengan mengisi konten berita melalui narasi yang positif, seperti membagi konsep damai dan mengajak hidup rukun, tidak nyinyir, dan tidak melontarkan ujaran kebencian kepada warga lain.
Sejalan dengan ini, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) mengajak generasi milenial mengarusutamakan Pancasila dengan caranya sendiri menggunakan kemajuan teknologi. BPIP mengajak generasi milenial melawan konten negatif media sosial.
”Kita harus memerangi konten negatif di media sosial dengan konten positif, informatif, menghibur, dan inspiratif. Youtuber dan influencer mempunyai nilai tukar dan nilai tambah karena mempunyai follower yang banyak. Ada komodifikasi nilai tukar di sana,” kata Staf Khusus Dewan Pengarah BPIP Antonius Benny Susetyo.