Jalan Masih Terbuka bagi Bekas Terpidana Korupsi di Pilkada
Putusan Mahkamah Konstitusi hanya menghambat bekas napi korupsi yang ingin maju di pilkada. Oleh karena itu, untuk menghadirkan pemimpin yang berintegritas, kuncinya ada pada partai politik, KPU, dan tentunya pemilih.
Putusan Mahkamah Konstitusi tak sepenuhnya menutup pintu bagi bekas narapidana korupsi yang ingin maju dalam pemilihan kepala daerah. Maka terbuka kemungkinan, mereka akan kembali hadir dalam pemilihan. Untuk itu, kunci lahirnya pemimpin daerah yang berintegritas ada di tangan partai politik, Komisi Pemilihan Umum, dan tentunya pemilih.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dibacakan, di Gedung MK, Jakarta, Rabu (11/12/2019), MK mensyaratkan bekas napi korupsi yang ingin maju dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) harus menunggu lima tahun setelah terpidana tuntas menjalani hukumannya.
Tak hanya itu, mereka yang boleh maju hanya orang-orang yang tak pernah mengulangi tindak pidananya. Syarat lainnya sama seperti yang berlaku selama ini, yaitu harus jujur dan terbuka menyatakan dirinya bekas napi kepada publik.
Syarat-syarat tersebut tak hanya berlaku untuk bekas napi korupsi, tetapi napi tindak pidana lain yang diancam hukuman lima tahun atau lebih.
Putusan merupakan jawaban atas uji materi Pasal 7 Ayat (2) huruf g Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Indonesia Corruption Watch (ICW).
Pasal itu berbunyi, ”tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah terbuka dan jujur mengemukakan ke publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”.
Baca juga: Mantan Koruptor Harus Tunggu 5 Tahun agar Bisa Ikut Pilkada
Dalam arti kata lain, putusan MK terbaru itu bisa dibilang memperberat syarat bekas napi korupsi yang ingin maju dalam pilkada.
Menurut penggugat, Perludem dan ICW, putusan seperti angin segar karena di norma sebelumnya, bekas napi korupsi bisa langsung maju dalam pilkada setelah mereka tuntas menjalani hukumannya.
Implikasi negatif dari norma ini seperti terlihat pada kasus korupsi Muhammad Tamzil. Saat menjabat Bupati Kudus 2003-2008, dia mengorupsi APBD Kudus Tahun 2004. Pada 2014, dia divonis bersalah, dan bebas pada 2015. Dia kemudian kembali maju pada Pilkada Kudus 2018, dan terpilih. Belum satu tahun menjabat, persisnya akhir Juli 2019, dia ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Contoh lain, Vonnie Anneke Panambunan. Pada 2008, Vonnie yang menjabat Bupati Minahasa Utara divonis bersalah dalam kasus korupsi pengadaan barang dan jasa yang mengakibatkan kerugian negara lebih dari empat miliar rupiah. Setelah bebas menjalani hukumannya, Vonnie maju dalam Pilkada Minahasa Utara 2015 dan terpilih.
Baca juga: Larangan Eks Koruptor di Undang-Undang Lebih Kokoh
Dengan adanya syarat jeda lima tahun, Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Donal Fariz yakin, elektabilitas bekas napi korupsi akan berkurang. Ini terutama bagi mereka yang sebelumnya menjabat kepala/wakil kepala daerah.
”Misalkan, mantan narapidana koruptor baru keluar dari penjara pada 2020, ia tidak bisa mengikuti Pilkada 2020 dan Pilkada 2024 karena harus menunggu selama lima tahun. Proyeksi kami, basis elektoral mantan napi korupsi itu akan menurun drastis,” ujarnya.
Selain itu, seperti dikutip dari berkas permohonan uji materi, masa tunggu dapat digunakan untuk membenahi pencalonan kepala daerah dan pilkada agar peristiwa pidana serupa tak terulang. Waktu tunggu juga secara tidak langsung turut mencegah, khususnya yang ingin maju di pilkada, melakukan korupsi.
Di sisi lain, sekalipun syarat diperberat, hak politik warga negara, khususnya hak politik untuk bisa dipilih di dalam pemerintahan, tetap terjamin.
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini mengatakan, berkaca pada putusan MK dalam rentang periode 2007-2016 terkait norma yang sama, MK selalu mempertimbangkan hal itu. ”Oleh karena itu, permohonan yang kami ajukan tidak meminta pelarangan 100 persen bagi bekas napi korupsi maju pilkada, tetapi ada syarat jeda waktu ,” kata Titi.
Baca juga: Susahnya Melarang Bekas Napi Korupsi Ikut Pilkada
Norma larangan
Diperberatnya syarat bagi bekas napi itu juga ”angin segar” setelah upaya Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melarang bekas napi korupsi maju dalam pilkada, kandas, beberapa waktu lalu.
KPU sempat menghadirkan norma larangan itu dalam Rancangan Peraturan KPU tentang Pencalonan dalam Pilkada. Tujuannya, agar para calon pemimpin yang dihadirkan ke publik rekam jejaknya bersih.
Namun, kemudian Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum dan HAM) menolak norma itu saat proses harmonisasi. Alasannya, norma yang sifatnya mencabut hak seseorang, tak bisa diatur di peraturan teknis, tetapi harus di undang-undang.
KPU coba berkukuh dengan pendiriannya tetapi kemudian KPU terpaksa luluh pada keinginan Kemenkum dan HAM. ”Pembahasan alot dan tak mungkin KPU berkukuh terus karena waktu yang tersedia terbatas. Tahapan Pilkada 2020 akan segera dimulai, dan PKPU Pencalonan dibutuhkan sebagai acuan teknis Pilkada 2020,” ujar komisioner KPU, Wahyu Setiawan.
Norma larangan pun dicabut, sebagai gantinya dihadirkan norma yang meminta partai politik mengutamakan calon yang tidak berstatus bekas napi korupsi.
Baca juga: Larangan Bekas Napi Korupsi Maju di Pilkada Dicabut
Tantangan
Sekalipun perubahan terbaru dari MK membawa ”angin segar”, bukan berarti persoalan tuntas begitu saja. Putusan MK hanya menunda majunya bekas napi korupsi dalam pilkada, tidak melarangnya.
Mereka yang pernah melakukan kejahatan luar biasa itu masih bisa hadir di pilkada dan terpilih, asalkan dia sudah melewati masa jeda lima tahun dan memenuhi syarat lain yang diputuskan MK. Ini termasuk di Pilkada 2020 yang akan serentak digelar di 270 daerah. Mereka yang sudah tuntas menjalani hukuman pada 2015 dan sebelumnya, sudah bisa maju di Pilkada 2020.
Pantaskah mereka kembali menjadi pemimpin rakyat di daerah?
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, menilai, eks koruptor yang masih ngotot mencalonkan diri di pilkada sudah jelas melanggar etika politik. Jadi, sekalipun tak ada aturan yang melarangnya, partai politik harus tetap mempertimbangkan etika politik tersebut.
Korupsi, katanya, merupakan perbuatan tercela dan menggerus moral politik. ”Partai harus mendidik rakyat dengan menyelenggarakan demokrasi yang substantif. Salah satu bentuk demokrasi substantif itu adalah mengedepankan moral politik,” katanya.
Baca juga: Bekas Napi Korupsi Ikut Pilkada Bentuk Kemunduran Demokrasi
Sejumlah elite partai politik, seperti di PDI-P dan Nasdem, memiliki pemikiran yang sama. Mereka pun berjanji partai tidak akan menghadirkan calon pemimpin yang rekam jejaknya bermasalah.
Namun, ada pula partai yang berpikiran lain, seperti Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN). Golkar seperti disampaikan Ahmad Doli Kurnia, bertumpu pada elektabilitas dalam menentukan calon yang akan diusung dalam pilkada. Maka, jika bekas napi korupsi tinggi elektabilitasnya, tetap terbuka peluangnya dicalonkan oleh Golkar.
Adapun PAN menurut Ketua DPP PAN Yandri Susanto, beranggapan, bekas napi korupsi sudah tuntas menjalani hukumannya, dan bisa jadi sudah memperbaiki diri, sehingga tak ada salahnya untuk bisa maju dalam pilkada.
”Bukan berarti karena sudah korupsi lalu dia akan korupsi lagi nanti ketika terpilih,” katanya.
Baca juga: Elektabilitas Kesampingkan Status Bekas Napi Korupsi
Langkah KPU
Dengan masih terbukanya kans sejumlah partai untuk memajukan bekas napi korupsi, kini kuncinya ada pada pemilih.
”Untuk itu, jika memang ada calon pemimpin daerah yang berstatus bekas napi korupsi, pemilih harus terpapar informasi yang cukup mengenai status calon itu. Jadi kalaupun tetap memilihnya, pemilih sadar akan konsekuensi yang mungkin muncul,” kata Titi.
Berangkat dari hal ini, KPU hendaknya menerjemahkan lebih luas syarat jujur dan terbuka bagi bekas napi yang ingin maju di pilkada.
Selama ini, syarat itu hanya diterjemahkan dalam bentuk, bekas napi harus mengumumkan statusnya di media massa. Padahal, dalam praktiknya, media massa yang dipilih adalah media massa yang sangat terbatas jangkauannya. Ke depan, menurut Titi, KPU harus menentukan media massa yang digunakan untuk sosialisasi calon berstatus bekas napi. Media massa yang dipilih tentu harus memiliki jangkauan yang luas.
”Selain itu, syarat jujur dan terbuka juga benar-benar dimaknai menyeluruh bahwa semua dokumen yang berkaitan sosialisasi profil atau riwayat hidup calon harus menyertakan informasi masalah hukum calon, seperti jenis hukumannya serta kapan calon itu bebas murni,” tambahnya.
Baca juga: Larangan Bekas Napi Korupsi Dicabut, Beragam Langkah Bisa Diambil KPU
Hal lain yang juga penting, informasi tersebut harus muncul di setiap tempat pemungutan suara (TPS) saat tiba hari pemungutan suara pilkada. Informasi mengenai status bekas napi korupsi tersebut, harus dipasang KPU di papan pengumuman yang berada di TPS.
Pascaputusan MK, mau tidak mau KPU harus mengubah Peraturan KPU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pencalonan dalam Pilkada yang awal Desember lalu telah diundangkan, dan menyesuaikan norma di dalamnya dengan putusan MK. Inilah momentum KPU untuk memperketat syarat bekas napi korupsi maju di pilkada sekaligus memastikan pemilih benar-benar terinformasikan jika ada calon berstatus bekas napi korupsi.