Rusaknya ribuan ton beras pemerintah mengirim sinyal soal lemahnya tata kelola perberasan nasional. Tanpa pembenahan hulu hingga hilir, masa depan stabilisasi harga di produsen ataupun konsumen terancam.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·3 menit baca
Kabar tentang rencana pemerintah melepas 20.000 ton cadangan beras menyita perhatian publik dua pekan terakhir. Bagaimana tidak, beras yang dibeli dengan anggaran publik itu mesti dibuang karena mutunya turun, terutama karena rusak dan telah melampaui masa penyimpanan lebih dari empat bulan, bahkan lebih dari satu tahun. Ironisnya, pemerintah perlu menyiapkan anggaran lagi untuk melepasnya.
Dengan rata-rata harga pembelian Rp 8.000 per kilogram, cadangan beras pemerintah yang rusak itu nilainya sekitar Rp 160 miliar. Cadangan lainnya kini menunggu waktu untuk rusak jika tidak segera ditangani dengan baik. Mayoritas di antaranya berasal dari pengadaan tahun 2018 melalui impor yang berjumlah lebih dari 2 juta ton.
Apa betul stok menumpuk dan rusak karena kebanyakan impor tahun lalu? Jika dirunut, situasi paceklik beras pada akhir tahun 2017 adalah pangkalnya. Ketika itu, Kementerian Pertanian yakin stok beras produksi dalam negeri cukup, bahkan lebih dari 50 juta ton, jauh melebihi kebutuhan konsumsi nasional yang diperkirakan 30-an juta ton per tahun.
Akan tetapi, situasi harga di pasar tidak sejalan dengan klaim surplus itu. Harga beras konsisten naik. Selama kurun September 2017 hingga awal Januari 2018, kenaikan harga beberapa jenis beras yang banyak dikonsumsi masyarakat mencapai 24,7 persen. Operasi pasar pun digelar, tetapi pasar tetap patuh pada hukum besi penawaran permintaan.
Pada saat yang sama, stok beras Perum Bulog kurang dari 1 juta ton di awal tahun. Stok sebesar itu dianggap tak cukup ”berwibawa” untuk meredam harga meski operasi pasar diintensifkan dan diperluas hingga ke 1.800 lokasi di seluruh Indonesia. Namun, harga beras bertahan tinggi.
Setelah polemik berkepanjangan di ruang publik, akibat pro kontra soal data produksi, pemerintah akhirnya memutuskan impor. Namun, keputusan itu telat. Sebab, beras impor, antara lain dari Thailand, Vietnam, dan Pakistan, baru tiba akan di Tanah Air ketika petani telah memulai panen musim rendeng 2017/2018 pada akhir Februari atau awal Maret 2018. Akibatnya, beras hasil impor tak terserap oleh pasar dengan optimal.
Selain itu, perubahan mekanisme bantuan pangan oleh pemerintah, yakni dari natura (beras) melalui program beras untuk keluarga prasejahtera (rastra) menjadi transfer langsung ke keluarga sasaran melalui bantuan pangan nontunai (BPNT), membuat saluran beras Bulog makin sempit.
Peralihan itu berdampak pada penurunan realisasi penyaluran beras Bulog, yakni dari 2,78 juta ton (2016), 2,54 juta ton (2017), hingga 1,2 juta ton (2018) seiring meluasnya cakupan program BPNT. Realisasi pengadaan beras dalam negeri pun terus turun, yakni dari 2,96 juta ton pada 2016, lalu 2,16 juta ton tahun 2017, dan 1,44 juta ton tahun 2018.
Selain faktor hilir berupa perubahan model penyaluran bantuan, seretnya pengadaan beras dalam negeri disebabkan oleh tingginya harga di pasaran. Apalagi, harga pembelian pemerintah (HPP) yang menjadi dasar bagi Bulog untuk menyerap gabah/beras petani belum pernah dikoreksi sejak tahun 2015. HPP tertinggal oleh harga pasar.
Sejumlah kalangan telah berulang mengingatkan potensi masalah akibat perubahan kebijakan itu. Salah satunya adalah penumpukan stok cadangan beras pemerintah yang dikelola oleh Bulog. Rapat koordinasi pada 4 Juli 2019 memang memutuskan untuk memberikan ”karpet merah” kepada Bulog sebagai pengelola pasokan bahan pangan dalam program BPNT. Harapannya, badan usaha milik negara itu memiliki kepastian saluran beras sehingga fungsinya sebagai stabilisator harga bisa berjalan lebih baik. Namun, keputusan itu belum teruji.
Kecenderungan turunnya realisasi pengadaan dan penyaluran beras oleh Bulog memunculkan kekhawatiran soal masa depan stabilisasi harga. Selain di tingkat konsumen, fungsi stabilisasi harga di tingkat petani dikhawatirkan makin lemah di masa depan.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan telah mengamanatkan pemerintah untuk menstabilkan pasokan dan harga pangan pokok di tingkat produsen untuk melindungi pendapatan dan daya beli petani. Bagaimana amanat itu akan berjalan baik jika pelaksananya makin loyo?