Perspektif dan paradigma sekolah dan orangtua sebagai pihak yang bisa memberikan informasi kesehatan reproduksi seksual dan benar kepada remaja nyaris tak berubah.
Oleh
M Zaid Wahyudi
·4 menit baca
Kuatnya penabuan dan kekhawatiran akan mendorong seks bebas pada remaja membuat pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas masih sulit dilakukan di Indonesia. Akibatnya, informasi tak benar lebih mudah mereka terima hingga menjebak mereka dalam berbagai perilaku berisiko dan persoalan hidup.
Kerumitan penyampaian informasi pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual tak hanya terjadi di sekolah, namun juga keluarga. Terbatasnya pengetahuan orangtua dan kegagapan mereka menyampaikan informasi tersebut pada anaknya membuat remaja bergantung pada teman dan internet untuk menjawab masalah yang mereka hadapi.
Keinginan mendapatkan akses informasi kesehatan reproduksi dan seksual yang menyeluruh itu menjadi salah satu keinginan anak muda Indonesia yang hadir dalam Pertemuan Tingkat Tinggi Nairobi untuk Memperingati 25 Tahun ICPD atau Nairobi Summit on ICPD25 di Nairobi, Kenya, Rabu (13/11/2019). Demikian pula ketersediaan layanan kesehatan yang berkualitas bagi remaja.
”Pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas bukan soal benar dan salah, tapi bekal bagi anak muda untuk bisa mengambil keputusan secara benar dan bertanggung jawab,” kata M Noval Auliady, Co-Director Hollaback!Jakarta.
Keterbatasan pengetahuan itu membuat remaja banyak perilaku seksual berisiko. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2017 menunjukkan, sebanyak 7,8 persen remaja laki-laki dan 1,5 persen remaja perempuan sudah melakukan seks pranikah. Namun, 75,4 persennya tidak menggunakan alat kontrasepsi dan lebih 60 persen remaja tak tahu tentang penyakit infeksi menular seksual.
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2017 menunjukkan, 7,8 persen remaja laki-laki dan 1,5 persen remaja perempuan sudah melakukan seks pranikah.
Remaja adalah masa transisi dari anak menuju dewasa. Meski tubuh mereka belum sebesar orang dewasa, mereka sudah memiliki dorongan seksual. Munculnya dorongan seksual itu adalah sesuatu yang alamiah.
Di masa ini pula, fisik, kognitif, dan emosional mereka berkembang pesat hingga menjadi matang saat mereka dewasa. Keingintahuan mereka besar, termasuk keinginan untuk mencoba sesuatu, termasuk yang berbahaya dan menentang kemapanan. Mereka sedang tumbuh untuk menjadi diri mereka sendiri.
Di sisi lain, melimpahnya informasi di era digital membuat pengetahuan remaja saat ini jauh lebih baik dibanding remaja beberapa dekade yang lalu, termasuk informasi tentang kesehatan reproduksi dan seksual. Mereka bisa mengakses informasi apa pun yang mereka inginkan. Namun, tidak semua informasi yang mereka peroleh itu benar.
Tidak berubah
Meski demikian, perspektif dan paradigma sekolah dan orangtua sebagai pihak yang bisa memberikan informasi kesehatan reproduksi seksual dan benar kepada remaja nyaris tak berubah. Pendekatan agama umumnya dikedepankan agar remaja mampu mengelola dorongan seksualnya hingga tidak jatuh dalam perilaku seksual berisiko, termasuk dengan mendorong menikah dini.
”Pendidikan yang baik dan kuatnya nilai agama penting, tetapi itu tidak bisa jadi jaminan yang membuat remaja bebas dari perilaku seksual berisiko dan kehamilan tak diinginkan,” tambah Youth Advisory Panel Badan Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) Indonesia Rachel Amanda Aurora.
Pendidikan yang baik dan kuatnya nilai agama penting, tetapi itu tidak bisa jadi jaminan yang membuat remaja bebas dari perilaku seksual berisiko dan kehamilan tak diinginkan.
Sekretaris Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama Alissa Wahid, angota Delegasi Indonesia untuk ICPD25 yang mewakili tokoh agama, mengatakan, banyak orangtua dan orang dewasa berpandangan bahwa remaja tidak boleh aktif secara seksual. Mereka tak mau tahu kondisi yang dialami remaja sebagai manusia yang sedang tumbuh dan bagaimana remaja berjuang untuk menghadapi perubahan dalam diri mereka.
Pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas juga masih dipandang dari aspek biologis semata. Perkembangan psikologi dan kognitif remaja sering kali luput dari pandangan orangtua.
Sikap orangtua dan orang dewasa itu membuat banyak anak remaja yang tak memahami perubahan fisiologi tubuhnya secara utuh. Mereka pun tak memiliki konsep diri yang baik hingga tak memiliki visi dan gambaran tentang masa depan hidup mereka kelak. Banyak pula anak muda juga tak terlatih mengambil keputusan, termasuk saat harus menentukan pilihan terkait tubuhnya, seperti ketika pacar mengajak berhubungan badan.
Sikap orangtua dan orang dewasa itu membuat banyak anak remaja yang tak memahami perubahan fisiologi tubuhnya secara utuh.
”Anak muda perlu dibekali dan dilatih dengan life skill (keterampilan hidup) dan memahami nilai sehingga mereka bisa memilih berperilaku dengan baik,” katanya.
Keterampilan itu pula yang akan membekali remaja saat menghadapi tekanan dari rekan sebayanya. Dengan konsep diri yang kuat, remaja akan mampu menghadapi tekanan rekan sebaya dan terhindar dari perilaku berisiko.
Di sisi lain, banyak orang dewasa berpandangan pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi dan seksual yang baik maupun penundaan pernikahan hingga usia yang matang akan mendorong mereka melakukan seks bebas atau berbuat zina. Orangtua harusnya memberikan kepercayaan kepada anak remajanya karena itu juga menjadi bekal kuat saat anak menghadapi tantangan dunia luar.
”Jika orangtua di masa lalu mampu menjaga diri mereka dari zina, anak remaja mereka pun pasti bisa,” tambah Alissa.
Karena itulah, orangtua dan orang dewasa di sekitar remaja punya tanggung jawab besar membekali anaknya dengan berbagai keterampilan hidup. Jika remaja di masa lalu yang kini menjadi orang dewasa mampu melalui masa perkembangan remajanya dengan baik, maka remaja masa kini pun mampu menghadapi tantangan zamannya.