Kondisi aliran Sungai Dadap, Kosambi, Kabupaten Tangerang, Banten, hingga muaranya di Teluk Jakarta, menjadi gambaran nyata lingkungan yang semakin parah karena sampah plastik dari aktivitas manusia.
Oleh
Aguido Adri
·5 menit baca
TANGERANG, KOMPAS — Kondisi aliran Sungai Dadap, Kosambi, Kabupaten Tangerang, Banten, hingga muaranya di Teluk Jakarta, menjadi gambaran nyata lingkungan yang semakin parah karena sampah plastik dari aktivitas manusia yang membuang sampah sembarangan. Tumpukan sampah plastik, seperti botol dan stirofoam, mendominasi aliran sungai.
Kondisi di muara Teluk Jakarta seperti dalam lirik lagu Slank, ”Lautku yang biru tak lagi biru, sungaiku yang jernih tak lagi jernih”. Sungai Dadap berubah menjadi warna kehitaman dan berembus aroma tak sedap. Ketiadaan tempat pembuangan sampah membuat warga sekitar menjadikan sungai sebagai tong sampah.
Seperti yang dituturkan Jamal (50), nelayan sekaligus warga Dadap. Kondisi Sungai Dadap semakin parah ketika sekitar tahun 2007 berdiri sebuah pasar. Tak jauh dari pasar, dua pria membuang tumpukan sampah yang terbungkus dua karung goni ke Sungai. Pemandangan seperti itu sering terjadi.
Jamal baru saja selesai membersihkan sampah plastik dan karung goni yang tersangkut di baling-baling perahunya. Kegiatan seperti ini kerap ia dan nelayan lainnya lakukan. Tak jarang karena tumpukan sampah di Kali Dadap, baling-baling perahu Jamal dan nelayan lain sering patah.
”Sampah di sini parah, sudah lama menumpuk begini. Kami nelayan sering terjebak karena sampah sering melilit baling-baling. Parahnya, malah sampai patah baling-baling. Jadi harus keluar biaya lagi, repot,” kata Jamal, Kamis (12/12/2019).
Pria yang sudah tinggal sekitar 30 tahun itu teringat ketika dulu betapa mudahnya mencari ikan. Namun, sekitar tahun 2008, kondisi Sungai Dadap mulai tercemar oleh aktivitas pembuangan sampah sembarangan dan semakin parah hingga sekarang. Hal itu menyulitkannya mencari ikan di daerah yang tercemar sampah.
”Sejak ada pasar sekitar tahun 2007, sungai semakin tercemar. Dulu di Kali Dadap, air masih biru, di sini gampang cari ikan, kepiting, dan udang. Sekarang pada mabok ikannya. Nah, kami harus melaut lebih jauh untuk cari ikan,” katanya.
Ahuang (50), warga Dadap, Kosambi, juga mengeluhkan tumpukan sampah di perairan Sungai Dadap yang berdampak pada air tanah. Sumur-Sumur warga banyak yang tercemar dan berbau.
”Banyak sumur yang enggak bisa terpakai akhirnya. Kami warga juga bingung, mau buang sampah ke mana. Kadang kami bakar sampah itu. Permasalahan sampah ini sudah lama, kami juga risih, tapi enggak tahu harus melapor ke mana,” tutur Ahuang.
Ahuang khawatir jika kondisi di sekitar Sungai Dadap tidak terurus, pencemaran akan semakin luas dan membuat efek negatif bagi warga, seperti terserang penyakit. Ia berharap di wilayah Dadap ada tempat pembuangan sampah sehingga tidak ada lagi yang membuang sampah sembarangan ke Sungai Dadap.
Langkah pemerintah
Menanggapi keluhan warga serta kondisi Sungai Dadap yang tercemar oleh sampah, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Tangerang Ahmad Taufik akan kembali mengunjungi Kelurahan Dadap untuk membuat tempat pembuangan sampah.
”Kami cek terlebih dahulu. Untuk membuat tempat pembuang sampah memang ada kendala tanah. Namun, insya Allah kami akan gempur sampah di sana,” kata Taufik.
Banyak sumur yang enggak bisa terpakai akhirnya. Kami warga juga bingung, mau buang sampah ke mana. Kadang kami bakar sampah itu. Permasalahan sampah ini sudah lama, kami juga risi, tapi enggak tahu harus melapor ke mana.
Sungai Dadap termasuk dari sembilan sungai yang mencemari perairan di Teluk Jakarta. Selain Sungai Dadap, ada Sungai Angke, Pluit, Ciliwung, Kali Item, Koja, Cilincing, Marunda, dan Sungai Bekasi.
Mengutip artikel di jurnal internasional Scientific Reports berjudul Major Sources and Monthly Variations in the Release of Land-derived marine debris from the Greater Jakarta Area, Indonesia yang ditulis peneliti Pusat Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Muhammad Reza Cordova dan Intan Suci Nurhati, sampah mencemari perairan Teluk Jakarta mencapai 59 persen (Kompas, 12/12/2019).
Dari total jumlah sampah plastik yang masuk melalui Sungai Dadap, 32 persen merupakan stirofoam, sedangkan di sungai-sungai Jakarta 11 persen dan di Sungai Bekasi sebesar 25 persen.
Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Andono Warih mengatakan, sampah warga Jakarta mencapai 7.500 ton yang masuk ke TPST Bantargebang per hari, sebanyak 14 persen atau lebih dari 1.000 ton merupakan sampah plastik yang didominasi oleh plastik sekali pakai. Jenis kantong belanja plastik saja setiap hari sebanyak 650.000-800.000 lembar yang masuk ke TPST Bantargebang.
Namun, permasalah lainnya adalah sungai di Jakarta masih menjadi tempat pembuangan sampah. Untuk melindungi tanah dan air, Andono mengajak, semua elemen masyarakat melakukan gerakan perubahan gaya hidup untuk menggurangi penggunaan plastik sekali pakai dan tidak membuang sampah ke sungai.
Saat ini, kata Andono, telah banyak tersedia alternatif produk di pasaran yang lebih ramah lingkungan dan dapat menjadi substitusi penggunaan plastik sekali pakai. Tas lipat dan keranjang belanja sebagai ganti kantong plastik, kotak makan sebagai ganti stirofoam, tumbler sebagai ganti membeli air kemasan plastik, dan sedotan bambu atau stainless steel sebagai ganti sedotan plastik, saat ini sudah marak dijual di mana-mana.
Selain itu, kata Andono, Pemerintahan DKI Jakarta juga sedang menyusun regulasi mengenai pengurangan sampah plastik. Peraturan yang sedang disusun bertujuan untuk mendorong perubahan perilaku masyarakat konsumen menjadi perilaku yang lebih ramah lingkungan.
”Oleh karena itu, pengaturan sanksi di dalamnya merupakan unsur komplementer dalam mempercepat terwujudnya perubahan perilaku konsumen menjadi lebih ramah lingkungan. Instrumen hukum kami tempatkan sebagai alat perubahan adab dan budaya masyarakat, social engineering,” kata Andono.
Tidak hanya itu saja, kata Andono, produsen dan pelaku usaha agar bertanggung jawab atas sampah yang dihasilkannya dengan cara berinovasi dalam merancang kemasan yang lebih mudah didaurulang dan membangun sistem pengiriman produk yang tidak mengandalkan pengunaan plastik sekali pakai.
Pemerintah memiliki target nasional 2025 terkait pengurangan sampah plastik sebanyak 70 persen di laut. Terhitung kurang dari enam tahun ke depan adalah waktu yang singkat, apalagi jika tidak ada sebuah gerakan nyata dari individu, perusahaan, dan pemerintah. Jika tidak terealisasi, sampah akan menyerang melalui mikroplastik dalam tubuh ikan yang dikonsumsi oleh manusia.