Kerugian Indonesia atas kebakaran hutan dan lahan pada Juni-Oktober 2019 diperkirakan sebesar 5,2 miliar dollar AS. Hal itu berpotensi menurunkan PDB Indonesia sebesar 0,09 persen pada 2019 dan 0,05 persen pada 2020.
Oleh
hendriyo widi
·3 menit baca
Suhu bumi dalam empat tahun terakhir ini mencapai titik terpanas. Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang “Perubahan Iklim dan Pemanasan Global” September lalu menyebutkan, suhu bumi meningkat 0,2 derajat celcius dari periode 2011-2015.
Jika dibandingkan dengan era pra-industri (1850-1900), suhu bumi saat ini telah meningkat 1,1 derajat celsius. Tahun 1850 merupakan awal pencatatan suhu bumi.
Sementara, Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menyebutkan, Juli 2019 adalah bulan terpanas yang pernah tercatat di bumi. Rata-rata suhu global pada bulan itu 16,5 derajat celsius atau 0,95 derajat celsius lebih tinggi dibandingkan rata-rata temperatur abad ke-20 yang tercatat 15,8 derajat celsius.
Pemanasan global menjadi pemicunya. Pemanasan global itu terjadi karena emisi karbon yang semakin meningkat. Dalam Perjanjian Paris 2015 yang dimotori PBB, negara-nagara anggota menyepakati upaya mengurangi emisi untuk menahan laju kenaikan suhu bumi sebesar 1,5 derajat celcius-2 derajat celsius.
Tak hanya PBB, Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) juga terus mendengungkan pentingnya setiap negara bersama-sama mengatasi pemanasan global. Bahkan Bank Dunia memberikan catatan khusus pada Indonesia atas kebakaran lahan dan hutan dalam Laporan Ekonomi Triwulan III-2019.
Bank Dunia menyebutkan, kebakaran hutan dan lahan tidak hanya berdampak pada manusia dan menyebabkan pemanasan global. Kebakaran lahan dan hutan juga berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan persepsi negatif tentang kelapa sawit Indonesia
Bank Dunia mencatat, kerugian Indonesia atas kebakaran hutan dan lahan pada Juni-Oktober 2019 di 8 provinsi diperkirakan sebesar 5,2 miliar dollar AS (Rp 73,02 triliun) atau 0,5 dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Kebakaran hutan dan lahan itu berpotensi menurunkan PDB Indonesia sebesar 0,09 persen pada 2019 dan 0,05 persen pada 2020.
Kebakaran hutan dan lahan itu berpotensi menurunkan PDB Indonesia sebesar 0,09 persen pada 2019 dan 0,05 persen pada 2020.
Sementara berdasarkan catatan Pemerintah Indonesia, pada 2015, kebakaran itu telah menghancurkan 2,7 juta hektar (lebih dari 800.000 hektar merupakan lahan gambut). Kehancuran lingkungan ini mengakibatkan kerugian lebih dari 16 miliar dollar AS (Rp 225 triliun).
Pada Januari-pertengahan September 2019, lahan dan hutan yang terbakar seluas 328.724 hektar. Kerugian lingkungan diperkirakan Rp 130 triliun. Itu semua baru kerugian lingkungan, belum lagi menyangkut kesehatan dan penundaan atau pembatalan sejumlah penerbangan.
Pada Januari-15 November 2019, Copernicus Atmosphere Monitoring Service (CAMS) Uni Eropa memperkirakan, kebakaran hutan dan lahan di Indonesia telah melepas sebanyak 709 juta ton karbondioksida ke udara. Jumlah itu 22 persen lebih tinggi dibanding emisi karbondioksida dari kebakaran hutan Amazon yang sebanyak 579 juta ton karbondioksida.
Dalam jurnal Finansial dan Pembangunan Edisi Desember 2019 berjudul ”The Economics of Climate”, IMF membahas tentang dampak ekonomi dan finansial atas pilihan kebijakan terhadap perubahan iklim. Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva mengatakan, siap tidak siap, dunia memasuki abad adaptasi.
”Kita harus cerdas. Adaptasi itu bukan berarti untuk mengalahkan, tetapi lebih pada upaya bertahan melawan apa yang sedang terjadi,” ujarnya.
Gerogieva menekankan pentingnya dunia bergerak dari ”brown economies” ke ”green economies”. Pajak emisi karbon dinilai menjadi alat yang kuat dan efisien untuk memerangi emisi karbon. Namun, penetapan dan penerapan pajak itu harus hati-hati dan ramah terhadap pertumbuhan ekonomi.
Analisis IMF terbaru menunjukkan, pajak karbon diperkirakan akan naik dengan cepat menjadi 75 dollar AS per ton pada 2030. Untuk itu, IMF meminta agar negara-negara penghasil emisi besar perlu memperkenalkan dan menerapkan pajak karbon.
Pajak ini menjadi jawaban atas kegagalan pasar karena pelaku pasar tidak membayar biaya sosial dari emisi rumah kaca yang mereka sebabkan.
Pajak emisi karbon ini dapat memberikan keuntungan sosial dan ekonomi, serta mengurangi emisi gas rumah kaca. Pajak ini menjadi jawaban atas kegagalan pasar karena pelaku pasar tidak membayar biaya sosial dari emisi rumah kaca yang mereka sebabkan.
Indonesia dapat belajar dari Australia dalam penerapan pajak emisi gas buang. Pajak itu akan dikenakan pada polusi yang dihasilkan korporasi. Sekitar 350 perusahaan produsen polusi utama harus membayar sebesar 23 dollar Australia untuk setiap ton karbon yang mereka hasilkan pada 2020.