Ketertinggalan Indonesia di cabang-cabang Olimpiade dari sesama negara di Asia Tenggara tampak nyata pada SEA Games 2019 yang baru saja berakhir.
Kontingen ”Merah Putih” bertengger di peringkat keempat klasemen perolehan medali, dengan meraih 72 emas, 84 perak, dan 111 perunggu. Dari sisi peringkat dan jumlah medali, prestasi Indonesia lebih baik ketimbang SEA Games Malaysia 2017, ketika itu di posisi kelima. Dua tahun lalu, Indonesia hanya merebut 38 emas, 63 perak, 90 perunggu.
Keberhasilan memperbaiki peringkat dan memperbanyak raihan medali emas dari perhelatan 2017 layak diapresiasi. Apalagi, emas kali ini yang sebanyak 72 keping juga melampaui target 45 keping emas, yang lalu direvisi menjadi 60 keping.
Pencapaian kali ini juga diraih dengan komposisi kontingen yang sekitar 65 persen atlet muda, dengan pertimbangan regenerasi. Terkait regenerasi ini, Kementerian Pemuda dan Olahraga juga menetapkan SEA Games 2019 sebagai sasaran antara, menuju perhelatan multicabang berskala lebih besar, Asian Games dan Olimpiade.
Namun, fakta-fakta itu belum bisa membuat kita berpuas diri. Ada dua hal yang membuat Indonesia harus bekerja keras dalam pembinaan berkelanjutan atlet-atlet andalannya.
Pertama, ketertinggalan kita yang sungguh nyata di cabang-cabang Olimpiade. Di atletik, dari total 49 emas, tim Merah Putih hanya meraih lima emas, empat perak, dua perunggu. Dengan lima medali emas, Indonesia ada di urutan kelima klasemen medali cabang atletik. Perolehan kita tertinggal jauh dari Vietnam di puncak dengan 16 emas, 12 perak, 10 perunggu, disusul Thailand di peringkat kedua (12 emas, 11 perak, 12 perunggu).
Di cabang Olimpiade lain, akuatik disiplin renang, yang menyediakan 38 emas, Indonesia hanya meraih satu emas melalui I Gede Siman Sudartawa. Singapura terkuat di renang dengan 23 emas, 10 perak, dan 4 perunggu.
Mengapa kita tertinggal? Salah satunya karena keterlambatan kita dalam kaderisasi atlet di cabang Olimpiade. Sementara negara tetangga seperti Thailand, Vietnam, dan Singapura fokus membina atlet cabang dasar seperti atletik, senam, dan akuatik disiplin renang sejak sekitar tahun 2000.
Keterlambatan kita dalam kaderisasi di cabang Olimpiade itu berefek masalah kedua, yakni tumpuan kita pada atlet-atlet senior di nomor-nomor tertentu. Tiga emas atletik, misalnya, lahir dari Agus Prayogo yang sudah 34 tahun dan Maria Londa serta Hendro Yap yang sama-sama berusia 29 tahun. Emas semata wayang di renang juga dari Siman, yang diandalkan sejak SEA Games 2011.
Konsentrasi di cabang-cabang Olimpiade tak bisa ditunda lagi. Fokus pembinaan ini harus disertai penerapan ilmu pengetahuan keolahragaan (sport science), yang sudah jamak di banyak negara. Tak boleh terlupa, sejahterakan atlet sehingga olahragawan kita akan berlaga demi negara dengan persembahan terbaik.