Konflik Masa Lalu, Pelajaran Hari Ini
Peristiwa kekerasan pada masa konflik memang harus diketahui generasi penerus agar mereka tahu betapa konflik menyengsarakan. Dengan demikian, mereka sadar untuk merawat perdamaian.
Tiga dekade Aceh dilanda konflik, membuat provinsi di ujung barat Nusantara itu terpuruk. Saat damai disepakati pada 2005, secercah harapan untuk bangkit hadir di ”Tanah Rencong” itu. Konflik memberikan pembelajaran bahwa pembangunan hanya bisa dicapai dalam perdamaian.
Putri Sakinah (21), mahasiswa Universitas Islam Negeri Ar Raniry Banda Aceh, mengamati sebuah lukisan jembatan tua di dinding kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh. Di samping lukisan terdapat tiga karung goni digantung di plafon ruang. Pada karung itu dituliskan 3 Feb 99.
Belum mendapatkan jawaban tentang lukisan dan karung goni, Putri berpindah ke ruang sebelah. Di sana terdapat sebuah instalasi sepatu lars ukuran besar, yang di dalamnya dipenuhi pecahan beling. Di sudut ruangan, teronggok sebuah kursi kayu yang dilengkapi kabel listrik. Di depan kursi kayu, di atas meja kecil terdapat tang, pisau, dan parang.
Kemudian Putri bersama tiga temannya naik ke ruang atas. Belasan foto dalam bingkai ukuran A4 memenuhi lantai. Wajah dalam foto itu umumnya lelaki muda. Di antara foto-foto terdapat kliping koran yang menceritakan peristiwa pilu seperti tentang penembakan, pembantaian, dan penculikan.
Semoga pelakunya diadili dan konflik tidak terulang di Aceh.
Putri penasaran dengan apa yang disaksikan dalam pameran pelanggaran hak asasi manusia yang digelar oleh Kontras Aceh. Pameran berlangsung pada 9-10 Desember 2019. Benda-benda yang dipamerkan merupakan replikasi benda yang dipakai untuk menyiksa korban pada masa konflik Aceh rentang 1998 hingga 2003. ”Apa cerita di balik karung goni ini,” tanya Putri.
Fuadi Mardhatillah, anggota panitia pameran, menjelaskan kepada pengunjung tentang benda-benda itu. Jembatan dalam lukisan itu adalah Jembatan Arakundo di Kecamatan Idi Cut, Kabupaten Aceh Timur. Di sana pernah terjadi penyiksaan dan pembunuhan warga sipil oleh kelompok bersenjata.
”Setelah disiksa, korban dimasukkan dalam goni, pada goni diikat batu besar lalu ditenggelamkan ke sungai,” kata Fuadi.
Putri ngeri mendengar cerita yang dikenal dengan Tragedi Arakundo. Saat peristiwa itu terjadi, 3 Februari 1999, usia Putri baru setahun. Dia berasal dari Kabupaten Bener Meriah dan belum pernah ke Aceh Timur. Baru hari ini dia tahu tentang Tragedi Arakundo. Baginya, peristiwa pembunuhan di Jembatan Arakundo merupakan pelanggaran HAM. ”Semoga pelakunya diadili dan konflik tidak terulang di Aceh,” kata Putri.
Ruang ingatan
Pameran tentang pelanggaran HAM mengangkat tema ”Khauri Nujoh”. Pada masyarakat Aceh, ”Khauri Nujoh” atau kenduri tujuh hari digelar saat ada anggota keluarga meninggal. Kenduri diisi dengan pembacaan doa-doa. Intinya, Khauri Nujoh digelar untuk mengenang dan mendoakan mereka yang telah kembali ke hadapan Tuhan.
Khauri Nujoh itu diisi dengan rangkaian kegiatan seperti pameran foto konflik, diskusi isu pelanggaran HAM, pemutaran film, pameran seni rupa, pembacaan hikayat, dan bazar buku. Kegiatan ini digelar untuk memperingati Hari HAM Dunia pada 10 Desember.
Koordinator Kontras Aceh Hendra Saputra menuturkan, walaupun Aceh sudah damai, peristiwa masa konflik tidak boleh dilupakan. Pameran itu digelar untuk mengisi ruang ingatan generasi muda tentang sejarah tanah lahirnya.
Di tanah ”Serambi Mekkah”, antara tahun 1990 dan 2004, Pemerintah Republik Indonesia pernah menerapkan Darurat Operasi Militer (DOM), Darurat Militer (DM), dan Darurat Sipil (DS). Kontak senjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan TNI/Polri kerap terjadi. Korban bukan hanya dari GAM dan TNI/Polri, melainkan juga warga sipil.
Berdasarkan data Badan Reintegrasi Aceh (BRA), jumlah korban konflik di Aceh 165.340 orang. Para korban yang dicatat adalah warga sipil, tahanan politik, dan narapidana politik. ”Seberapa pun pahit masa lalu, tidak boleh dilupakan. Sebab, masa sekarang, dan masa depan memiliki benang merah dengan masa lalu,” kata Hendra.
Hendra menuturkan, pada masa konflik banyak kasus pelanggaran kekerasan terjadi di Aceh, di antaranya kasus penembakan Teungku Bantaqiah di Beutong Ateuh (Kabupaten Nagan Raya), kasus Timang Gajah (Bener Meriah), Jambo Kepok (Aceh Selatan), Rumoh Gedong (Pidie), Simpang KKA (Aceh Utara), dan Arakundo (Aceh Timur).
Seberapa pun pahit masa lalu, tidak boleh dilupakan.
”Namun, hingga kini kasus pelanggaran HAM berat di Aceh belum diungkap. Pelakunya belum diadili dan hak korban masih belum dipenuhi,” ujarnya.
Ia pun mengatakan, pemerintah harus mengungkap apa motif dan siapa pelaku kekerasan pada masa konflik Aceh. Selain itu, pemerintah harus memastikan hak korban terpenuhi. Apalagi, hingga kini masih banyak korban yang belum pulih trauma karena konflik.
Bukan hanya itu, masih ada 204 korban yang hilang pada masa konflik yang sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya. Para korban hilang adalah aktivis properdamaian dan warga sipil. ”Tunjukkan di mana kubur mereka yang hilang saat konflik,” ucap Hendra.
Hendra mengatakan, Aceh memiliki ruang menyelesaikan kasus kekerasan masa lalu, melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), meski pada tingkat nasional, UU KKR telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Lembaga KKR Aceh dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang KKR Aceh. KKR Aceh memiliki tugas mengungkap kebenaran kekerasan masa lalu, reparasi, memfasilitasi rekonsiliasi antara pelaku dan korban.
Menurut Hendra kasus kekerasan masa lalu harus diselesaikan agar ada keadilan bagi korban. ”Jangan biarkan korban mencari keadilan sendiri,” kata Hendra.
Ketua KKR Aceh Afridal Darmi mengatakan, konflik panjang terjadi di Aceh tidak boleh dilupakan, terutama oleh generasi milenial yang tumbuh pada masa perdamaian. Cerita dan peristiwa konflik perlu diisi dalam ruang ingatan generasi muda agar mereka paham mengapa damai itu perlu dijaga.
”Konflik membuat Aceh sangat tertinggal jauh dari daerah lain. Karena itu, konflik harus menjadi pelajaran berharga bagi semua warga Aceh,” ujar Afridal.
Perjanjian damai pada 15 Agustus 2005 telah membawa harapan baru bagi Aceh. Secara perlahan, Aceh mulai bangkit, baik dari sisi pembangunan infrastruktur maupun sumber daya manusia.
Konflik harus menjadi pelajaran berharga bagi semua warga Aceh.
Afridal menuturkan, tanpa perdamaian, mustahil pembangunan bisa dilakukan. Oleh sebab itu, ia mengajak para pihak untuk merawat perdamaian.
Namun, kata Afridal, perdamaian menjadi kurang bermakna ketika hak korban dan pengungkapan kasus kekerasan belum tuntas. KKR Aceh telah melakukan wawancara dengan 3.000 korban pelanggaran HAM. Pengakuan korban menjadi dokumen penting untuk mengungkap pelaku kekerasan masa lalu. Menghadirkan keadilan bagi korban, kata Afridal, merupakan bagian dari merawat perdamaian.
Peristiwa kekerasan pada masa konflik memang harus diketahui generasi penerus agar mereka tahu betapa konflik menyengsarakan. Dengan demikian, mereka sadar untuk merawat perdamaian.