Pemicu Penyakit Ganas Terperangkap di Teluk Jakarta
Pengaruh arus bolak-balik pasang surut membuat sampah, termasuk sampah plastik, terus terjebak di Teluk Jakarta. Hal ini berpotensi meningkatkan dampak buruk sampah laut pada manusia.
Oleh
J Galuh Bimantara/Aguido Adri
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Riset yang mengonfirmasi bahwa sebagian besar jumlah sampah di Teluk Jakarta berjenis plastik makin menunjukkan betapa tidak sehatnya perairan di utara Ibu Kota, yang ujungnya mengancam kesehatan manusia. Apalagi, dari pemodelan-pemodelan yang ada, sampah plastik bakal terus terperangkap dan terkumpul di Teluk Jakarta.
Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Muhammad Reza Cordova dan Intan Suci Nurhati, menulis, setiap hari rata-rata 97.098 buah sampah masuk ke Teluk Jakarta dari sembilan sungai, dengan bobot rata-rata 23 ton per hari. Dari jumlah tersebut, sekitar 59 persen merupakan sampah plastik (Scientific Reports, 10/12/2019).
Sungai-sungai itu adalah 1 sungai di Kabupaten Tangerang (Sungai Dadap), 7 sungai di DKI (Sungai Angke, Pluit, Ciliwung, Kali Item, Koja, Cilincing, dan Marunda), serta Sungai Bekasi di Kabupaten Bekasi.
Hasil riset sebelumnya yang ditulis Haifa H Jasmin dan kawan-kawan (Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis IPB, April 2019) menginformasikan, kecepatan arus permukaan laut di Teluk Jakarta rendah, rata-rata 0-4 meter per detik. Anggota tim riset itu, Widodo S Pranowo, mengatakan, kondisi itu terjadi karena arus yang dominan di Teluk Jakarta adalah arus yang dibangkitkan oleh pasang dan surut.
”Karena arusnya hanya bolak-balik saja, maka material sampah akan tersangkut di pantai utara Jakarta, terjebak,” ucap Widodo yang juga peneliti pada Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kamis (12/12/2019).
Melalui riset yang telah dipublikasikan, ia bersama tim peneliti juga menyimulasikan kondisi arus laut setelah adanya pantai-pantai reklamasi yang terkait dengan program Pembangunan Kawasan Pesisir Terpadu Ibu Kota Nasional (NCICD).
Hasilnya, mereka memperkirakan terjadi pendangkalan di sekitar pantai reklamasi sehingga kecepatan arus laut menurun di sana. ”Itu membuat sampah juga tersangkut di kanal-kanal antarpulau reklamasi serta di antara pulau reklamasi dengan daratan pantai utara,” ujarnya.
Bertumpuknya sampah di Teluk Jakarta memperbesar risiko lingkungan karena sampah plastik yang jumlahnya dominan bakal terurai menjadi plastik mikro.
Reza mengatakan, setidaknya ada tiga cara sampah plastik tercerai-berai menjadi plastik mikro, yaitu dengan adanya sinar ultraviolet matahari yang bakal memecah polimer plastik, dengan adanya gelombang atau arus di laut yang mengakibatkan sampah plastik teraduk-aduk, serta adanya bakteri pengurai plastik.
”Plastik mikro secara tidak langsung bisa menjadi pembawa polutan,” ujar Reza. Polutan itu bisa berupa polutan organik hingga logam berat. Ia menjelaskan, plastik dan polutan organik layaknya magnet karena mudah menempel satu sama lain. Namun, keduanya juga mudah terlepas.
Adapun logam berat ”membonceng” dengan cara menempel pada bahan organik yang melekat ke plastik mikro atau menempel pada lapisan film bakteri yang hinggap di plastik mikro.
Masalahnya, rupa dan aroma plastik mikro mirip makanan bagi ikan sehingga hewan ini rentan mengonsumsinya. Polutan organik ataupun logam berat yang tadinya menempel pada plastik mikro bisa turut terserap oleh tubuh ikan.
Menurut Guru Besar Bidang Ekobiologi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University Etty Riani, kondisi itu meningkatkan risiko bagi biota laut di Teluk Jakarta, yang ujungnya bisa membahayakan manusia karena ada ikan dan biota lain yang dikonsumsi. Apalagi, dari hasil risetnya, kandungan logam berat di Teluk Jakarta saat ini sudah sangat tinggi. Paparan logam berat bisa memicu antara lain kanker, cacat bawaan, dan autisme.
Akumulasi logam berat Hg (merkuri), Cd (kadmium), Pb (timbal), Cr (krom), dan Sn (timah putih) dalam sedimen serta dalam biota, terutama kerang hijau, meningkat di Teluk Jakarta. Kandungan timbal dalam sedimen, misalnya, naik dari 63,73 mg/kg pada 2014 menjadi 78,78 mg/kg pada 2015 (Kompas, 25/2/2019).
Nelayan dirugikan
Di Sungai Dadap, Kosambi, Tangerang, Banten, tumpukan sampah di sungai itu sudah berdampak pada aktivitas nelayan. Jamal (52), warga Dadap, yang ditemui siang kemarin, baru selesai memindahkan sampah plastik dan karung goni yang tersangkut di baling-balingnya.
”Sampah di sini parah. Kami sering terjebak karena sampah melilit baling-baling, bahkan sampai patah,” kata Jamal.
Air Sungai Dadap itu hitam dengan dominasi tumpukan sampah plastik dan styrofoam. Orang membuang sampah ke kali, bahkan dalam karung-karung goni plastik besar, sudah jadi pemandangan sehari-hari.
”Sampah dampaknya ke air tanah juga. Sumur kami jadi tercemar dan berbau. Banyak sumur enggak bisa dipakai. Kami, warga, bingung mau buang ke mana, tempat sampah tidak ada. Kadang kami bakar itu sampah,” tutur Ahuang (50), warga Dadap.