Proyek Rumah Bersubsidi Langgar Tata Ruang Cirebon
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional menolak izin pembangunan rumah bersubsidi di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, karena melanggar tata ruang.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS – Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional menolak izin pembangunan rumah bersubsidi di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, karena melanggar tata ruang. Lokasi perumahan tersebut berada di lahan pertanian pangan berkelanjutan yang tidak boleh beralih fungsi.
“23 bidang tanah yang diajukan sepuluh pengembang tumpang tindih dengan LP2B (lahan pertanian pangan berkelanjutan). Rata-rata di atas 90 persen, bahkan ada yang 100 persen,” kata Wisnubroto Sarosa, Direktur Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kementerian ATR/BPN, saat dihubungi dari Cirebon, Kamis (12/12/2019).
23 bidang tanah yang diajukan sepuluh pengembang tumpang tindih dengan lahan pertanian pangan berkelanjutan
Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Cirebon 2018-2038, LP2B seluas 40.000 hektar di 40 kecamatan tidak boleh beralih fungsi. Aturan ini merevisi Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2011 tentang RTRW 2011-2031.
Oleh karena itu, pihaknya menolak permohonan pengembang yang disebut ingin membangun rumah bersubsidi. Areal yang ditolak seluas 481.044 meter persegi. Perhitungan itu berdasarkan pencocokan titik koordinat lokasi yang diajukan pengembang dengan peta RTRW baru.
Sebelumnya, pengembang di Cirebon mengeluhkan belum diterbitkannya sertifikat hak guna bangunan (SHGB) induk oleh BPN Kabupaten Cirebon. Padahal, mereka telah mengantongi sejumlah persyaratan, seperti fatwa dan izin lokasi dari Pemkab Cirebon. Akibatnya, pembangunan sekitar 12.000 rumah bersubsidi terancam tidak terealisasi.
“Mereka (pengembang) tidak bisa membangun lagi. Kami tidak ingin menghambat investasi, tetapi hanya menegakkan aturan tata ruang. Kalau LP2B dilanggar, ketahanan pangan terancam,” lanjutnya. Dengan lahan 45.000 hektar saat ini, Cirebon menjadi sentra pangan Jabar bahkan nasional. Produksi berasnya sekitar 350.000 ton per tahun.
Itu sebabnya, Wisnubroto mengaku heran ketika Pemkab Cirebon memberikan fatwa dan izin lokasi kepada pengembang. Padahal, lokasinya tidak sesuai Perda RTRW pemerintah setempat.
Ia menilai, pengukuran BPN Kabupaten Cirebon sudah tepat karena sesuai titik koordinat berbasis digital. “Sementara pengukuran yang digunakan Pemkab Cirebon berdasarkan skala, manual,” katanya.
Dari segi prosedur, ia menilai, penerbitan fatwa oleh Pemkab Cirebon tidak sesuai PP No 24/2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik. Dalam aturan itu, tidak ada fatwa dan perizinan dilakukan terpadu melalui sistem pelayanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (Online Single Submission).
Bupati Cirebon Imron Rosyadi mengakui, pihaknya memiliki prosedur pembangunan perumahan, seperti izin dari dinas pertanian dan dinas pekerjaan umum dan penataan ruang setempat. Menurut dia, fatwa dan izin lokasi yang diberikan kepada pengembang sudah sesuai RTRW.
“Saya tidak tahu, kenapa penafsiran BPN Kabupaten Cirebon beda. Padahal, dasarnya sama, RTRW,” kata Imron. Pihaknya mengusulkan pembuatan tim gabungan antara Pemkab Cirebon dan Kementerian ATR/BPN untuk duduk mencari solusi.
“Kami inginnya akhir Desember sudah ada solusi. Kalau belum, nanti kami memberitahu masyarakat kalau investasi mandek. Ini bukan kemauan kami,” ungkapnya.
Ketua Real Estate Indonesia Wilayah III Cirebon Gunadi mengatakan, pihaknya telah memenuhi perizinan sesuai prosedur. “Kami akan menunggu sebulan hingga ditemukan solusi atas masalah tersebut,” ucapnya.
Dia mengingatkan, pembangunan sekitar 12.000 rumah bersubsidi tersebut untuk memenuhi kebutuhan permukiman warga Cirebon yang berpenghasilan rendah hingga 2021. ”Tidak hanya pengembang yang rugi Rp 3 miliar-Rp 5 miliar jika pembangunan gagal, tapi juga masyarakat,” ujar Gunadi.
Pengembangan perumahan di Wilayah III Cirebon cukup pesat. Setiap tahun, 7.000-8.000 rumah terealisasi di Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan. ”Sekitar 40 persen dibangun di Kabupaten Cirebon. Bahkan, setiap Juli-Agustus kuota rumah bersubsidi sudah habis,” katanya.
Anggota DPRD Kabupaten Cirebon, Yoga Setiawan, menilai, masalah yang dihadapi pengembang tidak bisa dipisahkan dari kacaunya tata ruang Cirebon. Pengembangan kasus korupsi mantan Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra, misalnya, juga terkait dengan tata ruang. Dugaan korupsi Sunjaya terkait perizinan PLTU 2 senilai Rp 6,04 miliar dan perizinan properti Rp 4 miliar.