LONDON, JUMAT— Pemilu pada Kamis silam membuat Perdana Menteri Inggris Boris Johnson semakin leluasa untuk mengeluarkan negaranya dari Uni Eropa. Kini, masalah beralih ke perundingan dagang Inggris-Uni Eropa yang membutuhkan waktu panjang.
Hasil penghitungan suara pada Jumat (13/12/2019), Konservatif yang dipimpin Johnson memenangi 365 dari 650 kursi di DPR Inggris. Jumlah itu lebih banyak 38 kursi dari kebutuhan minimal untuk menjadi mayoritas di DPR. Dengan demikian, Johnson tetap menjadi PM dan lebih leluasa karena mudah mendapatkan persetujuan parlemen, terutama untuk memproses keluarnya Inggris dari Uni Eropa (UE) atau Brexit.
”Kita menyelesaikan Brexit pada 31 Januari 2020. Tak ada ’jika’, tidak ada ’tetapi’ ataupun ’mungkin’. Kita memecah kebuntuan,” ujar Johnson dalam pidato kemenangan.
Ia mengatakan, Brexit tidak bisa ditunda, ditolak, atau disangkal sebagai keputusan warga Inggris. Hasil pemilu juga dinyatakan memberi kesempatan kepada pemerintah untuk menghormati kehendak warga yang telah disampaikan lewat referendum Brexit.
Ketua Parlemen UE Charles Michel meminta DPR Inggris segera mengesahkan undang- undang Brexit. Setelah itu, keduanya merundingkan kesepakatan dagang UE-Inggris pasca-Brexit. ”Kami mengharapkan pemungutan suara untuk kesepakatan perpisahan secepatnya,” ujarnya.
Brexit tidak kunjung terwujud sejak referendum 2016. Penyebabnya, Pemerintah Inggris, yang dikuasai Konservatif, tidak mendapat persetujuan parlemen atas proposal Brexit. Persetujuan sulit didapat gara-gara Konservatif hanya punya 318 kursi di DPR hasil pemilu tahun 2017. Konservatif pun harus mencari dukungan partai lain untuk mengesahkan UU Brexit. Dukungan itu tak kunjung diraih.
Secara khusus, Johnson berterima kasih kepada para pemilih dari daerah yang kerap dimenangi Partai Buruh. Konservatif dalam pemilu tahun 2019 berhasil menang di sejumlah daerah pemilihan yang kerap dikuasai Buruh.
”Anda mungkin berniat akan kembali (memilih) Buruh, dan jika itu terjadi, saya merasa terhormat Anda pernah memercayai saya. Saya akan menjadikan kepercayaan itu sebagai tugas yang dilaksanakan siang malam untuk membuktikan pilihan Anda benar dan mengupayakan dukungan pada masa depan,” ujarnya, seperti dikutip BBC.
Pakar politik Strathclyde University, John Curtice, menyebut kemenangan Konservatif di dapil Buruh adalah salah satu kunci keberhasilan mereka pada pemilu tahun 2019. Dalam pemilu ini, Buruh kehilangan 59 kursi ketimbang hasil pemilu 2017. Selain Buruh, kehilangan kursi dialami Partai Liberal Demokrat dan Persatuan Demokratik (DUP).
Bahkan, Ketua Liberal Demokrat Jo Swinson kalah di dapilnya di Skotlandia. Kursinya dimenangi calon dari Partai Nasional Skotlandia (SNP). Ketua SNP Nicola Sturgeon secara terbuka merayakan kemenangan itu.
Meski Johnson akan mampu memastikan Brexit, perpisahan London-Brussels tidak akan mudah. ”Johnson harus memutuskan akan tetap merapat kepada UE atau menjauh,” kata analis lembaga kajian Eurasia Group, Mujtaba Rahman.
Kemenangan di dapil Buruh membawa tantangan bagi Brexit yang didorong Johnson. ”Dapil yang dimenangi partai Johnson memiliki banyak pabrik, industri, dan pertanian yang akan terpukul oleh Brexit tanpa kesepakatan. Hal ini membuat posisi Johnson semakin sulit,” kata pakar kebijakan publik pada London School of Economics, Tony Travers.
Dalam berbagai kesempatan, Johnson menyatakan mempunyai rencana melindungi rantai pasok. Artinya, hubungan ekonomi London-Brussels tetap erat. ”Tanpa tarif (bea masuk impor), tanpa kuota (ekspor- impor),” ujarnya.
Ia mengatakan, London mengejar versi kerja sama UE-Kanada. Dalam versi itu, Inggris terbebas dari banyak aturan UE sembari tetap bisa berdagang dengan blok itu. Walakin, biaya dan hambatan dagangnya lebih besar. UE-Kanada membutuhkan 8,5 tahun untuk merundingkan kesepakatan itu.
Februari 2020
Perundingan dagang Brussels-London akan dimulai setelah Brexit resmi terwujud. Jika Brexit terjadi pada 31 Januari 2020, perundingan akan dimulai pada Februari 2020. Pada 1 Juli 2020, London harus menyampaikan permohonan perpanjangan waktu apabila perundingan diperkirakan tidak rampung pada 31 Desember 2020.
Jika tak ada permintaan apa pun, Inggris akan keluar dari UE tanpa kesepakatan apa pun. Inggris akan diperlakukan sebagai negara asing sepenuhnya oleh UE. Hubungan UE-Inggris akan dilandaskan pada aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). ”Tidak mudah meraih kesepakatan karena keinginannya banyak sekali,” kata ekonom pada Pusat Kebijakan Eropa, Fabian Zuleeg.
Pemangkasan tarif bisa dicapai dalam perundingan yang berlangsung cepat, tetapi London tidak dapat merundingkan isu lain. Dalam kondisi ini, London harus menerima opsi apa pun yang ditawarkan oleh Brussels. (AP/AFP/REUTERS)