Dunia Orang Sabu
Interaksi antarbudaya menjadi dasar pembentukan budaya Sabu di Nusa Tenggara Timur. Ini berlokasi di antara Pulau Sumba dan Pulau Timor, yaitu di Pulau Sabu dan Pulau Raijua.
Budaya Sabu ini mencakup beberapa sub-budaya, yaitu Hawu Mehara, Sabu Liae, Sabu Barat (Seba), Dimu, dan Raijua. Interaksi orang Sabu meluas bersama kedatangan orang Majapahit, Portugis, Belanda, dan Jepang. Terakhir, interaksi terjadi ketika wilayah Sabu menjadi bagian negara Republik Indonesia.
Interaksi paling intensif terjadi pada masa Belanda. Di Sabu, Belanda mengambil kuda dan budak pilihan. Kuda dipasok untuk pasukan Belanda di Jawa, sedangkan budak Sabu yang cekatan dipasok ke Sumatera atau Jawa. Keberadaan Belanda di Sabu sangat lama. Diawali penaklukan militer pada 1676 (hlm 166) hingga 1942 pada saat kedatangan tentara Jepang.
Interaksi budaya Sabu
Interaksi dalam budaya Sabu, menurut Duggan dan Hägerdal, sudah semenjak dulu terjadi terkait asal-usul orang Sabu. Berdasarkan kisah kejadian orang Sabu, nenek moyang orang Sabu berasal dari orang luar. Dalam mitologi, yang datang pertama kali adalah sosok Kika Ga. Suatu hari, anak Dewa Liru Bela, Luji Liru, memancing dari langit. Di bawah ada Kika Ga dan saudara perempuannya, Male Ga. Luji Liru menarik Kika Ga ke langit dan meninggalkan saudara perempuannya.
Di langit, Kika Ga dinikahkan, lalu turun dari langit dan tinggal di Gunung Merebu. Berkat bantuan Luji Liru dihubungkan antara Gunung Merebu dan Gunung Kebuhu. Di situlah tercipta Pulau Sabu. Sementara itu, Male Ga yang ditinggalkan di bawah masuk ke dalam laut dan menjadi paus gaib yang membantu para pelaut yang tersesat.
Kisah Kika Ga ini dalam tradisi Austronesia mengandung arti ”orang luar” yang dengan segala upayanya sendiri di daerah lain lalu menikahi perempuan asli dan kemudian duduk sebagai penguasa (hlm 24). Pada waktu kedatangan Kika Ga, Pulau Sabu belum ada. Sebelumnya, kawasan itu diluluhlantakkan oleh banjir (tsunami) hingga tidak ada yang tersisa. Kika Ga yang kemudian mendirikan Sabu dibantu oleh saudara angkatnya, Luji Liru.
Makna lain adalah diangkat dan dikawinkannya Kika Ga sekaligus menegaskan adanya garis keturunan lali-laki. Sementara Male Ga yang perempuan tidak diingat dalam kisah lisan dan mantra-mantra ritual di Sabu.
Interaksi sebagai dasar pembentukan entitas budaya Sabu ini menunjukkan tidak ada keaslian dan pada saat yang sama tidak ada yang esensialis pada budaya bersangkutan. Proses ini bisa untuk melihat pembentukan entitas budaya lain di Nusantara, yaitu budaya Jawa, Bugis, Aceh, Papua, dan lain-lain. Pada titik ini, kebinekaan menjadi sesuatu yang relevan untuk merajut kenusantaraan.
Sumber lisan dan tulisan
Budaya Sabu dalam karya antropolog Geneviève Duggan dan ahli arsip kolonial Hans Hägerdal ini merupakan dua paduan yang menarik. Duggan yang antropolog itu mengungkap sejarah milik orang Sabu dari tradisi lisan. Duggan membuat interpretasi atas kisah, nama klan, ritual, benda-benda, artefak arkeologi, dan tempat pemujaan.
Duggan berangkat dari tradisi lisan dan dari sana ia mencari kaitan dengan pelbagai peristiwa, benda, artefak arkeologi, nama lokasi, tempat pemujaan, ritual adu ayam, hingga pantai. Duggan menggunakan gagasan Jan Vansina bahwa tradisi lisan sebagai sejarah (oral tradition as history). Dalam masyarakat berlatar budaya nontulisan, mereka tidak menuliskan apa yang bermakna pada sejarahnya dengan bentuk tulis, tetapi menggubahnya dalam bentuk lisan.
Orang Sabu ”mengawetkan” berbagai kejadian penting melalui kisah lisan dan mantra dalam ritual. Sebagaimana ciri dari lisan, mereka mengingat peristiwa-peristiwa besar dan penting dalam kisah lisan. Sementara peristiwa kecil akan tergulung. Kisah lisan ini tidak sekadar mitos atau legenda, tetapi memiliki arti sejarah. Duggan merekonstruksi kisah lisan dalam pelbagai upacara, kisah klan dalam pelbagai upacara, asal-usul sosok setengah dewa yang disakralkan orang Sabu, dan kisah-kisah lain.
Duggan juga menggunakan klan pihak perempuan dan pihak laki-laki dalam keluarga untuk melihat sejarah di Sabu. Hal ini sejalan dengan pernyataan Vansina bahwa dalam konteks masyarakat lisan, ingatan akan generasi atau keturunan moyangnya berarti juga ingatan akan peristiwa yang telah terjadi (hlm 4).
Pada sisi lain, ada Hans Hägerdal, seorang ahli arsip Belanda. James Fox menyebutnya ahli arsip Belanda di Dutch East India Company yang penguasaannya mengenai Indonesia timur tidak tertandingi. Hägerdal menguasai secara detail kontak awal orang Sabu dengan Belanda (hlm xv).
Paduan data lisan dan tulis ini berguna sekali untuk mengetahui sejarah orang Sabu. Pada satu sisi, Duggan menyoroti sejarah orang Sabu dari tradisi lisan. Pada saat yang bersamaan, Hägerdal menggunakan data arsip VOC Belanda. Perlu dicatat, dalam penulisan sejarah, tulisan adalah satu-satunya sumber yang diakui. Tanpa sumber tertulis, berarti tiada sejarah. Pandangan tersebut mengakar dalam studi sejarah.
Tulisan dinilai sebagai bukti otentik sumber sejarah, sementara sumber yang lain dianggap tidak layak dijadikan sumber sejarah. Padahal, tidak setiap masyarakat di dunia ini hidup di tengah-tengah tradisi tulis, antara lain orang Sabu.
Sumber tertulis komunitas Sabu berasal dari arsip Portugis dan Belanda. Arsip tersebut berkaitan dengan kepentingan kolonial dan misionaris. Sebagai kepentingan kolonial, sumber tertulis berkaitan dengan persoalan dagang, penggantian kepala wilayah kolonial, instruksi Batavia atas Sabu atau Kupang, pergantian raja di Sabu, serta keperluan budak dan kuda dari Sabu.
Sumber kolonial ini tidak mewakili pandangan orang-orang Sabu. Sumber tulisan itu bias kepentingan sehingga sebagai sumber data perlu dikritisi agar tidak sepenuhnya dijadikan acuan untuk menggambarkan masa lalu orang Sabu. Penulis buku ini kritis atas sudut pandang sumber tertulis mengenai orang Sabu. Kedua penulis buku ini menilai, selalu ada bias kolonialis ataupun misionaris terhadap orang Sabu yang mereka narasikan dalam laporan-laporan mereka.
Lazimnya kaum penjajah, menggambarkan orang jajahan sebagai masyarakat terbelakang, tidak beradab, buta huruf. Demikian juga kebanyakan misionaris sehingga mereka merasa perlu untuk mengentaskan dari ”kubangan hitam” peradaban.
Dalam konteks itulah, data lisan dari orang Sabu ini menjadi berharga lantaran data tertulis tidak sepenuhnya bisa mewakili ”suara lisan” dalam penulisan sejarah. Buku ini menggunakan data lisan untuk menarasikan komunitas Sabu justru ketika melihat sejarah dari luar (tulis) tidak sepenuhnya benar secara sejarah ketika bicara tentang orang Sabu. Dalam konteks kepentingan kolonial, suara dan keberadaan orang Sabu terbungkam.
Imam Muhtarom, Dosen Universitas Singaperbangsa, Karawang, dan Kurator Borobudur Writers & Cultural Festival
Judul Buku : Savu: History and Oral Tradition on an Island of Indonesia
Penulis : Geneviève Duggan dan Hans Hägerdal
Penerbit : NUS Press Singapore
Cetakan : 2018
Tebal : xviii + 586 hlm
ISBN : 978-981-4722-75-9