Banjir bandang di Solok Selatan dan Dharmasraya, Sumbar, surut. Hal serupa juga terjadi di Sigi, Sulteng. Meski demikian, perlu kesadaran bersama untuk mencegah agar bencana tak berulang.
Oleh
·4 menit baca
Banjir bandang di Solok Selatan dan Dharmasraya, Sumbar, surut. Hal serupa juga terjadi di Sigi, Sulteng. Meski demikian, perlu kesadaran bersama untuk mencegah agar bencana tak berulang.
PADANG, KOMPAS —Warga di Solok Selatan dan Dharmasraya, Sumatera Barat, dibantu petugas mulai membersihkan rumah yang terdampak banjir. Namun, sebagian warga di Solok Selatan yang rumahnya hanyut atau tertimbun material longsor masih berada di pengungsian.
Kepala Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Solok Selatan Irdahendri, Sabtu (14/12/2019), mengatakan, secara keseluruhan banjir sudah surut. Walakin, ada sebagian warga terdampak di Solok Selatan masih bertahan di pengungsian. Rumah mereka hanyut terbawa banjir bandang, tertimbun longsor, atau belum tuntas dibersihkan.
Banjir bandang serta longsor kembali melanda Solok Selatan, Jumat (13/12) pagi. Bencana melanda empat kecamatan, yaitu Koto Parik Gadang Diateh, Sungai Pagu, Pauh Duo, dan Sangir Batanghari. Bencana tersebut sudah berulang kali terjadi sejak 20 November 2019.
Catatan BPBD Solok Selatan menyebutkan, bencana pada Jumat menyebabkan satu orang meninggal serta 15 rumah dan bangunan rusak berat. Enam rumah di antaranya hanyut terseret banjir.
Kepala Pelaksana BPBD Dharmasraya Edison menyatakan, banjir yang dipicu luapan Sungai Batanghari yang melanda tujuh kecamatan di kabupaten itu juga surut.
”Daerah ke arah hulu mulai surut sejak kemarin. Daerah ke arah hilir surut (Sabtu) pada siang hari. Warga bersama petugas mulai membersihkan sisa material bawaan banjir,” kata Edison.
Banjir melanda sejak Jumat pagi hingga malam. Kejadian itu menyebabkan setidaknya satu warga Dharmasraya meninggal dan 320 keluarga mengungsi. Ketinggian air akibat banjir di dalam rumah sekitar 30 sentimeter hingga 3 meter lebih. Warga tersebar di empat kecamatan, yaitu IX Koto, Pulau Punjung, Sitiung, dan Timpeh. Banjir juga melanda Kecamatan Padang Laweh, Koto Salak, dan Koto Besar, tetapi warga tidak sampai dievakuasi.
Banjir merendam ratusan hektar lahan pertanian dan perkebunan. Edison belum bisa menyebutkan taksiran kerugian. ”Petugas masih mendata jumlah kerugian,” katanya.
Akibat pembalakan ilegal
Banjir bandang berulang di Desa Bolapapu, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Penyebabnya adalah perubahan vegetasi di hulu akibat penebangan kayu ilegal.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo menyatakan hal itu saat meninjau lokasi banjir bandang di Desa Bolapapu, Sabtu. Ia mengapresiasi langkah dari berbagai pihak yang cepat menangani kebutuhan para pengungsi. Namun, akar masalah bencana perlu dicari.
”Terjadi perubahan vegetasi di hulu akibat penebangan pohon-pohon sehingga tak ada lagi akar pohon yang menyerap dan menyimpan air. Air langsung turun ke sungai dan tanah mudah longsor,” kata Doni kepada penyintas bencana, tokoh masyarakat, dan tokoh agama di Desa Bolapapu. Turut hadir Gubernur Sulteng Longki Djanggola, Bupati Sigi Irwan Lapatta, dan Komandan Resor 132/Tadulako Kolonel Agus Sasmita.
Menurut Doni, hal itu terjadi di berbagai daerah bencana. Karena itu, perlu ada kesadaran kolektif, baik pemerintah setempat, tokoh masyarakat, maupun warga. Kesadaran itu bermuara pada kepedulian untuk menjaga ekosistem sehingga bencana bisa dicegah.
Banjir bandang disertai lumpur, batu, dan kayu melanda Dusun III Pangana, Desa Bolapapu, Kamis (12/12) malam. Terjangan material dari Sungai Magila menewaskan 2 orang, merusak 57 rumah, 7 rumah di antaranya jebol dan roboh dindingnya.
Rumah-rumah yang diterjang banjir terletak di pinggir sungai hingga 150 meter dari tepi sungai. Lumpur merendam rumah dengan ketebalan 50 sentimeter sampai 1 meter.
Sungai Magila berhulu di hutan kawasan konservasi Taman Nasional Lore Lindu. Dusun III langsung berbatasan dengan kawasan itu. Penelusuran Kompas, di sepanjang kanan kiri sungai ada kebun kakao hingga 1,5 kilometer dari permukiman. Tak ada pohon besar di pinggir sungai. Kikisan air dan material banjir membentuk tebing di kiri dan kanan sungai. Di badan sungai, selain batu-batu besar, juga terlihat kayu bekas terseret banjir.
Banjir bandang sudah pernah melanda dusun itu, 3 Desember 2011. Enam korban meninggal dan puluhan rumah rusak.
Untuk pemulihan vegetasi di hulu, sekitar Sungai Magila, BNPB menyiapkan dana Rp 2 miliar untuk membeli bibit. Nantinya pemerintah bersama masyarakat menanam bibit pohon itu untuk memperkuat struktur tanah.
Doni menegaskan, pihaknya diperintahkan Presiden Joko Widodo untuk mencegah terjadinya bencana. Ia mengingatkan agar para pihak memperhatikan tanda-tanda alam dan informasi yang disediakan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika.
Imanuel Kaeheni (49), warga Dusun III, mengakui ada penebangan kayu di hulu, terutama sebelum banjir 2011. Sampai kini, pembalakan masih terjadi meski tak semarak dulu.