Banyak Perokok Pemula, Penyakit Paru Obstruktif Kronik di Indonesia Diprediksi Kian Meningkat
Jumlah penderita penyakit paru obstruktif kronik diprediksi kian meningkat dengan semakin banyaknya jumlah perokok pemula di Indonesia. Kondisi ini dapat membebani pertumbuhan bangsa di masa depan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah penderita penyakit paru obstruktif kronik diprediksi kian meningkat dengan semakin banyaknya jumlah perokok pemula di Indonesia. Kondisi ini dapat membebani pertumbuhan bangsa di masa depan.
Kepala Divisi Asma PPOK (penyakit paru obstruktif kronik) Departemen Paru Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Budhi Antariksa, menuturkan, tren penderita paru obstruktif kronik semakin meningkat dari tahun ke tahun. Dari data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), prevalensi PPOK pada 2013 sebesar 3,7 persen dan meningkat menjadi sekitar 5 persen pada 2018.
”Tidak hanya jumlah penderitanya saja yang meningkat, angka kematiannya pun diprediksi meningkat. Di dunia, kematian akibat PPOK saat ini berada di peringkat keempat dan diprediksi akan menjadi nomor tiga pada 2020,” ujarnya saat dijumpai pada acara peringatan Hari PPOK Sedunia, Minggu (15/12/2019), di Jakarta.
Meningkatnya jumlah penderita PPOK, menurut Budhi, sangat berkaitan dengan meningkatnya jumlah konsumsi rokok pada masyarakat. Kondisi ini semakin mengkhawatirkan karena usia perokok pemula juga bertambah. Data Riskesdas 2018 menunjukkan jumlah perokok pemula 9,1 persen, sementara pada 2013 tercatat 7,2 persen.
Kondisi kesehatan masyarakat yang buruk seharusnya bisa menyadarkan pemerintah untuk segera melakukan intervensi yang tepat. Pembatasan konsumsi rokok di masyarakat harus diperketat.
Asap rokok menjadi penyebab utama seseorang mengalami PPOK. Hampir 60 persen penderita PPOK adalah perokok. Selain itu, faktor lainnya adalah paparan polusi udara yang disebabkan asap kendaraan bermotor serta gas buang dari industri dan rumah tangga.
Budhi mengatakan, PPOK ditandai dengan adanya gangguan pada pernapasan secara terus-menerus, seperti batuk berdahak dan sesak napas. Biasanya penyakit ini baru muncul pada usia 40 tahun ke atas setelah seseorang terpajan faktor risiko dalam waktu lama. Namun, kesadaran deteksi dini terhadap penyakit ini masih kurang.
”Sering kali gejala PPOK tidak disadari oleh masyarakat. Kondisi sesak napas dan batuk berdahak dianggap sebagai hal yang normal seiring bertambahnya usia. Bahkan, tidak sedikit yang menganggap kondisi itu merupakan konsekuensi yang wajar akibat merokok,” tuturnya.
Direktur Umum RSUP Persahabatan Rochman Arif menuturkan, kebiasaan merokok pada masyarakat harus ditekan. Rokok menjadi penyebab utama berbagai penyakit mematikan. Akibatnya, beban negara dalam pembiayaan kesehatan masyarakat pun semakin besar.
Dalam jurnal The Lancet, Juni 2018, hasil studi beban penyakit di Indonesia 1990-2016 menunjukkan, terdapat beberapa penyakit terkait rokok yang menempati 10 besar penyebab kematian di Indonesia, yakni stroke, penyakit jantung, dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Ketiga penyakit ini merupakan penyakit dengan beban biaya terbesar dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
”Kondisi kesehatan masyarakat yang buruk seharusnya bisa menyadarkan pemerintah untuk segera melakukan intervensi yang tepat. Pembatasan konsumsi rokok di masyarakat harus diperketat. Jangan ada lagi penjualan rokok secara eceran,” ucapnya.