Petani Purwakarta melawan stigma tentang susahnya profesi menjadi petani. Mereka mengenalkan dunia tani yang menarik agar anak muda mau terjun lagi di profesi itu. ”Petani tak selalu susah,” kata mereka.
Oleh
MELATI MEWANGI
·3 menit baca
Profesi petani krisis regenerasi. Kurangnya pengenalan terhadap sektor pertanian dan stigma negatif bertani diduga menjadi salah satu penyebab minimnya penerus profesi petani. Dari Purwakarta, petani melawan stigma itu lewat Hadjat Tani.
Pada Sabtu (14/12/2019) lalu, para petani di Purwakarta menggelar perayaan syukur ”Hadjat Tani” atas regenerasi petani yang masih terjalin. Biasanya, para petani mengadakan Hajat Bumi untuk mensyukuri hasil panen. Kali ini, mereka justru bersyukur akan hal lain yang dinilai lebih penting, yakni masih adanya kaum muda yang berminat untuk menyelami dunia pertanian.
Mendungnya langit di Dapur Hidup Nusantara, Kecamatan Wanayasa, Jawa Barat, saat itu, tak menghalangi cerahnya semangat para petani dari kalangan muda untuk mengucap syukur. Mereka melawan stigma negatif pekerjaan bertani dengan menggeluti dunia pertanian dan memaknainya sebagai profesi.
Dalam acara tersebut, sejumlah produk hasil pertanian dipamerkan. Salah satunya stan milik Ananda Dwi Septian (24), dengan produk sayuran organik yang dikemas apik. Ia sudah dua tahun menjadi petani hortikultura di Kecamatan Kiarapedes. Di lahan seluas 6 hektar milik orangtuanya, ia bersama 20 petani muda lainnya menanam berbagai macam jenis sayuran, antara lain cabai, tomat, timun, kangkung, dan kacang panjang.
Sebelum menjadi petani, ia adalah buruh pabrik otomotif. Minimnya penghasilan yang didapat membuat dirinya keluar dari pekerjaan itu. Dari hasil bertani, ia mampu mengumpulkan pundi uang minimal Rp 7 juta sebulan. ”Bekerja dengan perasaan bahagia membawa nikmat tersendiri. Saya bangga menjadi petani muda dan mandiri,” ucapnya sambil tersenyum.
Bekerja dengan perasaan bahagia membawa nikmat tersendiri. Saya bangga menjadi petani muda dan mandiri.
Ananda adalah contoh dari generasi muda yang mau terjun jadi petani. Hal itu langka terjadi. Minimnya regenerasi petani dari kalangan anak muda menimbulkan keresahan terhadap jumlah produksi pangan di masa depan.
Berdasarkan hasil survei pertanian antarsensus tahun 2018 oleh BPS, mayoritas petani utama berada pada usia 45-54 tahun, yakni sebanyak 7,8 juta orang atau 44 persen. Selanjutnya diikuti usia 35-44 tahun (6,6 juta petani), usia 25-34 tahun ( 2,9 juta petani), dan usia di bawah 25 tahun (273 ribu petani).
Menurut Ketua Himpunan Pemuda Tani Purwakarta Haris Budiman, surutnya minat kaum muda untuk terjun ke dunia pertanian disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain stigma profesi petani yang dianggap sebelah mata karena penghasilan sedikit, harus di lapangan berkotor ria dan panas-panas, serta gengsi pergaulan.
”Minimnya regenerasi petani menjadi salah satu penyebab tidak majunya sektor pertanian di Indonesia. Masih banyak kaum muda yang beranggapan petani itu hanya soal mencangkul. Padahal, teknologi pertanian sudah semakin maju dengan mekanisasi dan alat modern,” kata Haris.
Minimnya regenerasi petani menjadi salah satu penyebab tidak majunya sektor pertanian di Indonesia. Masih banyak kaum muda yang beranggapan petani itu hanya soal mencangkul. Padahal, teknologi pertanian sudah semakin maju dengan mekanisasi dan alat modern.
Ia mengaku kesulitan mengajak anak muda untuk terjun bertani. Sebagian dari mereka memilih menjadi buruh pabrik atau bekerja kantoran. Padahal, profesi petani sangat strategis dan menjanjikan dari segi penghasilan. Petani muda mendapatkan keuntungan dari hasil panen hortikultura di Purwakarta sekitar Rp 6 juta-Rp 7 juta setiap bulannya.
Terlebih saat ini, menurut dia, akses permodalan terbuka lebar. Adapun tawaran bantuan alat mesin pertanian modern dari pemerintah maupun swasta juga menjamur. Bantuan itu dapat menekan ongkos biaya produksi sebab proses pengolahan lahan, pemanenan, dan pascapanen lebih cepat. Semangat dan tenaga anak muda yang jauh lebih besar bisa memajukan sektor pertanian modern dengan mengedepankan teknologi. Beragam inovasi tersebut diharapkan mendapatkan profit yang menjanjikan juga.
Koordinator penyuluh pertanian Dinas Pangan dan Pertanian Purwakarta Kusmana menambahkan, banyak petani berusia tua yang sudah seharusnya istirahat, tetapi masih bertani karena tidak ada anaknya yang mau menggantikan.
Hal ini dapat memicu petani untuk menjual tanahnya sehingga alih fungsi lahan pertanian menjadi permukiman dapat meningkat. Untuk itu, pihaknya berupaya mencari bibit muda yang serius menjadi petani untuk diberi pelatihan.
Usaha yang ditunjukkan para petani Purwakarta setidaknya menyiratkan bahwa profesi petani jika digeluti dengan kesungguhan akan menghasilkan sesuatu yang lebih besar. Dari petani, negara pun juga bisa berdikari.