“Nitilaku” kembali digelar Universitas Gadjah Mada untuk memeriahkan perayaan Dies Natalis Ke-70, di Yogyakarta, Minggu (15/12/2019). Tema tahun ini adalah ”semangat persatuan di tengah keberagaman”.
Oleh
nino citra anugrahanto
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — ”Nitilaku” kembali digelar Universitas Gadjah Mada untuk memeriahkan perayaan Dies Natalis Ke-70, di Yogyakarta, Minggu (15/12/2019). Tema tahun ini adalah ”semangat persatuan di tengah keberagaman”.
”Nitilaku” merupakan kegiatan napak tilas yang digelar untuk mengingat berdirinya Universitas Gadjah Mada (UGM). Ribuan anggota Keluarga Alumni Mahasiswa UGM (Kagama) berjalan kaki mulai dari Keraton Yogyakarta hingga berakhir di Balairung UGM.
Di awal berdirinya, UGM dipinjami Pagelaran dan Siti Hinggil, di dalam area Keraton, sebagai lokasi kuliah. Ilmu pengetahuan yang sebelumnya hanya bisa diperoleh elite di lingkup kerajaan mulai disalurkan pula kepada masyarakat. Sempat terjadi guncangan budaya karena ada sebagian abdi dalem yang tak setuju dua tempat itu dijadikan lokasi belajar-mengajar.
Akan tetapi, Sultan Hamengku Buwono IX berprinsip, pendidikan jauh lebih penting. Jalan keluar yang ditempuhnya lantas memindahkan lokasi kampus dengan menghibahkan tanahnya di Bulaksumur, Kabupaten Sleman, DIY. Sesuai arti Bulaksumur, yaitu ’tempat mengambil air’, keberadaan perguruan tinggi diharapkan bisa menghidupi banyak orang kelak.
Ketua Pengurus Pusat Kagama Ganjar Pranowo mengungkapkan, lulusan UGM jangan sampai jadi kacang lupa kulitnya. Ungkapan itu hendaknya digunakan sebagai pegangan agar senantiasa mengabdi sepenuh hati bagi bangsa ini. Perguruan tinggi tersebut didirikan dengan penuh perjuangan. Para lulusannya pun diharapkan ikut memberikan kontribusi terhadap pembangunan nasional.
Tahun ini, kegiatan Nitilaku mengusung tema ”Menggugah Warisan-Bersama Kebangsaan dan Berbudaya”. Sesuai tema, kostum yang dikenakan peserta pawai Nitilaku pun beragam. Mulai dari kostum pejuang, pakaian adat Nusantara, hingga kostum wayang.
Dalam kesempatan itu, Ganjar ikut mengenakan kostum wayang Arjuna. Ada juga Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD yang memakai pakaian adat Madura.
Pakaian adat Madura juga dipakai Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, serta Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki. Ketiganya mengenakan pakaian adat Madura. Sedangkan Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengenakan baju putih biasa dengan udeng khas Bali.
Jajaran pemimpin UGM juga mengenakan pakaian-pakaian yang tak kalah menarik. Ketua Dewan Guru Besar UGM Koentjoro dan Ketua Senat Akademik UGM Hardyanto mengenakan pakaian adat Sumatera Utara. Rektor UGM Panut Mulyono mengenakan lurik khas jawa. Kemudian, Wakil Rektor UGM Bidang Kerja Sama dan Alumni Paripurna Sugarda mengenakan pakaian adat Bali.
”Tahun ini temanya adalah kebudayaan. Budaya selalu erat dengan cinta, keindahan, dan persatuan. Ketiga hal itu yang selalu mewarnai kiprah UGM. Kita harus selalu bersatu dengan berbagai mozaik keberagaman kita. Dengan demikian, kita bisa terus berkontribusi kepada bangsa dan negara,” kata Panut.
Tahun ini temanya adalah kebudayaan. Budaya selalu erat dengan cinta, keindahan, dan persatuan. Ketiga hal itu yang selalu mewarnai kiprah UGM. Kita harus selalu bersatu dengan berbagai mozaik keberagaman kita. Dengan demikian, kita bisa terus berkontribusi kepada bangsa dan negara. (Panut Mulyono)
Sementara itu, Pratikno mengungkapkan, UGM menjadi bagian dalam proses mengisi kemerdekaan. Pendiri negara ini ingin membangun Indonesia lewat jalur pendidikan dari Yogyakarta. Sebab, mahasiswa-mahasiswa UGM itu juga banyak yang berasal dari daerah.
”Kala itu, siapa saja yang datang ke Yogyakarta harus menjadi Indonesia. Mereka datang ke Yogyakarta bukan untuk menjadi Jawa, tetapi Indonesia. Spirit itu penting untuk selalu kita kembangkan,” kata Pratikno.