Es kopi kini digandrungi warga Ibu Kota dan sekitarnya. Merek nama yang unik, selera yang pas, dan harga terjangkau menjadi daya tarik minuman dingin ini. Apakah fenomena ini akan bertahan lama?
Oleh
Krishna P Panolih
·5 menit baca
Es kopi kini menjadi tren bagi warga Ibu Kota dan sekitarnya. Merek nama yang unik, selera yang pas, dan harganya yang terjangkau menjadi daya tarik minuman dingin ini. Apakah fenomena ini akan bertahan lama?
Es kopi (iced coffee) rupanya sudah lama hadir. Berawal dari tahun 1840-an saat sejumlah tentara Perancis merayakan kemenangan karena berhasil menginvasi Aljazair. Dalam kondisi cuaca panas, kopi itu ditambahkan air dan diminum dalam keadaan dingin. Saat mereka kembali ke negaranya, kopi itu diperkenalkan di sejumlah kafe di Paris.
Minuman ini pun lalu menyebar ke sejumlah negara dengan aneka modifikasi. Di antaranya versi limun rasa kopi (Portugal), bercampur rum (Austria), dengan irisan jeruk (Katalonia), bercampur susu kental manis (Vietnam), dan tambahan es krim yang menjadi tren di Jerman.
Di Indonesia, minuman es kopi ini mulai diperkenalkan seiring dengan masuknya kedai kopi modern, seperti Starbucks. Es kopi diperkenalkan dengan nama frappucino (kopi kocok dengan krim dan aneka sirup) serta affogato (kopi plus es krim).
Belakangan muncul varian baru minuman kopi yang mirip kopi tiam. Hanya saja, bedanya, kopi tak lagi dibuat dengan cara seduh-saring, tapi menggunakan alat pembuat kopi modern dan susunya menggunakan susu segar, full cream, juga dengan tambahan gula aren, sirup vanila, hazelnut, atau bubble.
Kehadiran es kopi ”kekinian” ini membuat minuman kopi ini semakin populer di masyarakat. Juga warga Jabodetabek yang ikut menggemari kopi susu dingin ini. Tercatat dalam jajak pendapat Kompas, November lalu, 66 persen responden mengaku sebagai penyuka kopi ini. Es kopi digemari oleh semua kalangan, dari muda hingga tua, semua profesi dan kelas ekonomi. Meski demikian, fenomena minum es kopi ini lebih banyak (50 persen) diminati oleh generasi milenial (17-39 tahun) dan kelas atas (40 persen).
Bagaimana fenomena es kopi ini di negara lain? Sebuah riset dari Mintel, perusahaan riset pasar internasional (2018), menunjukkan, sekitar 60 persen kaum muda berusia 18-24 tahun di Inggris menganggap kopi ini menjadi pilihan minuman manis yang menyenangkan. Seperempat warga Amerika yang berusia 45 tahun juga ketagihan minuman yang sering disebut ready to drink ini.
Nama unik
Di Jabodetabek, sejumlah merek es kopi kekinian berkompetisi dengan aneka nama unik dan rasa. Beberapa di antaranya Kopi Kenangan, Kopi Soe, Kopi Tuku, Janji Jiwa, Kopi Kulo, Kokali, Sagaleh, Kopi Noni, Harapan Djaya, Kalima, dan Nusa Kopi.
Nama-nama unik ini diakui 45 persen responden membuat es kopi kian populer. Sebagai bisnis yang sedang berkembang, ada faktor pendukung lainnya, seperti kemasan yang praktis, kata-kata atau visualisasi yang ngetren, tas kecil yang trendi dan pas dengan ukuran gelas, serta mudah dibeli, baik cash (tunai) maupun melalui aplikasi (transaksi daring).
Selain nama, rasa atau selera juga diakui 20,5 persen responden sebagai faktor yang membuat kopi ini digemari. Padahal, bicara selera, banyak yang menganggap bahwa selera kopi Indonesia adalah kopi panas manis.
”Kultur ngopi masyarakat kita, ya, ngopi dengan gula. Lihat saja, nyaris semua kedai kopi tradisional, kan, semuanya kopi manis dengan gula atau susu. Orang Indonesia enggak terbiasa minum kopi tanpa gula,” ungkap Suwardiman, pemilik kafe Sama Dengan.
Harga murah juga dinilai 12 persen sebagai salah satu faktor yang berpengaruh. Segelas es kopi dijual Rp 15.000 hingga Rp 20.000. Dibandingkan dengan kopi dari kedai kopi modern yang rata-rata berharga Rp 35.000 ke atas, harga es kopi relatif cukup terjangkau.
Latah
Bukan hal baru lagi ketika suatu produk laku di pasar kemudian diikuti oleh produsen lain, dengan harga dan (jenis) barang yang sama, atau bahkan lebih murah. Kondisi ”latah” tersebut bisa dibilang sedang terjadi dalam pasar es kopi.
Akankah minuman ini bertahan atau meredup? Pendapat publik pun terbelah melihat fenomena es kopi tersebut. Sebanyak 43,7 persen optimistis bisnis kopi kekinian tersebut akan berlangsung lama. Namun, 43,5 persen pesimistis, bisnis ini akan meredup.
Optimisme terkait dengan konsumsi kopi masyarakat Indonesia cenderung meningkat. Data International Coffee Organization menyebutkan, pada 2011 konsumsi kopi mencapai 3.333 bungkus (60 kilogram) dan diperkirakan tahun 2017 menjadi 4.600 bungkus.
Bisnis es kopi ini juga menggiurkan. Peritel Kopi Kenangan, misalnya, bisnisnya melesat dengan 80 gerai di delapan kota di Indonesia. Dari 175.000 cangkir pada Oktober 2018, sekarang melejit menjadi hampir 1 juta cangkir setiap bulan.
Sebaliknya, hampir seperempat responden yang pesimistis lebih melihatnya karena tradisi minum kopi telah menjadi gaya hidup yang setiap saat akan meredup. Bisa jadi tradisi minum kopi tetap ada, tetapi kembali ke selera asal, kopi hitam dengan gula ataupun susu kental manis yang disajikan panas.
Selain itu, 23,8 persen responden menyebutkan, bisnis es kopi juga banyak pesaingnya dari sesama jenis atau minuman lain (bukan kopi). Laman Thelowdown.momentum.asia menyebutkan, bisnis kedai kopi ini sudah hadir sejak 2013 dan sampai sekarang diperkirakan ada sekitar 4.000 merek lokal yang mayoritas berada di Jakarta.
Bisnis minuman lain yang sedang marak adalah susu, teh, cokelat, dan jus buah. Sebut saja teh versi Thailand, bubble tea, cheese tea, dan smoothies. Harganya pun relatif tak terlalu jauh berbeda dengan es kopi.
Kita lihat saja bagaimana fenomena es kopi ini ke depan. Bergantung pada selera pasar, akankah tetap menggemari minum es kopi susu manis atau beralih pada teh, cokelat, atau jus buah? (LITBANG KOMPAS)