Pemilihan kepala daerah berjalan melewati banyak fase. Tujuan meningkatkan kualitas demokrasi dan kesejahteraan kerap diganggu pragmatisme politik.
Oleh
·2 menit baca
Pemilihan kepala daerah berjalan melewati banyak fase. Tujuan meningkatkan kualitas demokrasi dan kesejahteraan kerap diganggu pragmatisme politik.
Mulai era Reformasi, tahun 1999, bangsa ini sepakat memperkuat kewenangan daerah dan memangkas hegemoni pemerintah pusat. Demi menguatkan kedaulatan rakyat dan mengikis oligarki elite, sejak tahun 2005 kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, seperti halnya presiden. Di era Orde Baru, gubernur, wali kota, dan bupati dipilih oleh DPRD.
Tujuan pemilihan langsung, pertama, untuk meningkatkan kedaulatan dan partisipasi politik rakyat. Kedua, mendorong kemunculan pemimpin yang berakar. Ketiga, meningkatkan efektivitas pemerintahan daerah. Keempat, dan mungkin paling penting, adalah meningkatkan kesejahteraan daerah.
Tahun 2015 pilkada memasuki fase penting berikutnya. Untuk mengurangi gejolak politik dari pilkada yang berlangsung sangat banyak dan hampir setiap pekan, tetapi tidak mengurangi partisipasi politik rakyat, bangsa ini sepakat menyelaraskan pelaksanaan pilkada digelar secara serentak.
Harapannya, pilkada serentak itu pun dapat menguatkan sistem pemerintahan presidensial.
Pengelompokan pilkada dilakukan mulai tahun 2015, 2017, dan 2018. Proses transisi akan dimatangkan tahun 2020, dan sesuai pasal 201 ayat (9) UU No 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, akan digelar pilkada serentak secara nasional tahun 2024. Harapannya, pilkada serentak itu pun dapat menguatkan sistem pemerintahan presidensial.
Kita berharap perjalanan panjang pilkada itu pada akhirnya akan mengantarkan bangsa ini pada tujuan. Sayangnya, mencermati perjalanan itu selalu ada upaya secara sistematis atau sporadis untuk membalikkan atau membelokkan arah. Tahun 2014 pernah ada upaya untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD. Upaya itu mendapat tentangan keras dari kelompok masyarakat madani sehingga rencana itu pun diurungkan.
Proses pencalonan kepala daerah yang elitis masih terus terjadi, bahkan cenderung kian menjadi di pilkada 2020. Penjaringan calon belum proaktif mencari sosok potensial demi terpilihnya pemimpin terbaik, tetapi lebih mengutamakan kepentingan kelompok atau golongan. Ketimbang mencari tokoh potensial di akar rumput, lebih senang menerima drop-dropan dari petinggi.
Proses penetapan calon pun ada kecenderungan makin didominasi elite partai di pusat ketimbang mendidik pengurus partai di daerah untuk semakin meningkatkan kualitas berdemokrasi.
Idealisme partai menjadikan pilkada sebagai alat pengaderan kepemimpinan semakin dilupakan.
Pragmatisme partai politik menjadikan pilkada sekadar untuk memenangi pertarungan pun menjadi sangat kuat. Strategi ”borong gerbong” demi calon tunggal merupakan salah satu bentuknya. Idealisme partai menjadikan pilkada sebagai alat pengaderan kepemimpinan semakin dilupakan.
Perlu ada upaya sungguh-sungguh untuk menjaga pelaksanaan pilkada tetap berjalan di relnya. Tanpa itu, bangsa ini akan menghabiskan waktu tanpa tujuan tidak menentu. Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, lembaga negara, perguruan tinggi, masyarakat madani, dan terlebih parpol yang sudah terlelap semoga segera terjaga. Jika kita semua alpa, kita akan kehilangan asa.