Jalan Berliku Disabilitas Mendapat Pekerjaan Layak
Penyandang disabilitas masih menghadapi sejumlah tantangan dan kendala saat melamar kerja. Keterbatasan fisik mereka sering membuat mereka kesulitan mendapatkan hak bekerja meski memiliki kemampuan untuk pekerjaan itu.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Bulan Oktober 2019 merupakan bulan yang tak terlupakan bagi Mahreta Maha (38), disabilitas netra asal Jakarta. Hari itu Mahreta sangat bahagia karena akhirnya dia mendapat kabar lewat telepon bahwa dirinya diterima untuk bekerja di sebuah perusahaan badan usaha milik negara. Terbayang dirinya akan menjadi pegawai di BUMN tersebut.
”Senang banget. Siapa, sih, yang enggak mau bekerja di BUMN, sebelas dua belas dengan pegawai negeri sipil. Apalagi kami yang disabilitas. Mungkin secara pendapatan lebih rendah, tetapi, kan, ada jaminan sampai tua,” ujar Mahreta, Minggu (15/12/2019), di Jakarta.
Mahreta adalah salah satu dari sekian penyandang disabilitas yang melamar di BUMN saat Forum Human Capital Indonesia (FHCI) menyelenggarakan tes pelamar kerja BUMN untuk penyandang disabilitas pada Maret-April 2019. Meski telah melalui tes, nasib Mahreta sempat terkatung-katung selama beberapa bulan. Bahkan, pada Agustus, dia dihubungi lewat telepon dan ditanya jenis disabilitas netranya apakah ”buta 1 atau buta 2” yang dijawab Mahreta bahwa kedua matanya buta.
”Kemudian yang yang menelepon bilang kepada saya, ’maaf, ya, Mbak, kalau buta dua-duanya tidak bisa terima. Kalau buta satu saja bisa diterima’,” ungkap Mahreta yang setelah menerima telepon tersebut menghubungi pihak FHCI.
Belakangan, pada Oktober, Mahreta mendapat pemberitahuan diterima di perusahaan BUMN tersebut. Setelah itu pada akhir November 2019 dia diminta untuk mengikuti pelatihan.
”Saya mulai bekerja 2 Desember 2019. Ternyata saya bekerja sebagai pekerja kontrak waktu tertentu di bagian call center. Padahal, saya melamar untuk pegawai tetap di perusahaan BUMN,” ujar lulusan Fakultas Hukum Atmajaya Jakarta tahun 2000 ini.
Seminggu setelah bekerja Mahreta mengetahui jika dia bukan diterima sebagai pegawai tetap di perusahaan BUMN, tetapi hanya pegawai kontrak. Pekan lalu, dia menerima surat kontrak yang harus ditandatangani, tetapi dia belum tanda tangan karena merasa dibohongi.
”Saya merasa ini pembohongan. Jangan sampai isunya di luar sudah dapat menerima penyandang disabilitas, padahal sebenarnya masih ada diskriminasi yang dialami penyandang disabilitas,” katanya.
Jangan sampai isunya di luar sudah dapat menerima penyandang disabilitas, padahal sebenarnya masih ada diskriminasi yang dialami penyandang disabilitas. (Mahetra)
Hingga kini Mahreta belum menandatangani surat kontrak tersebut karena merasa dibohongi. Dia berharap Presiden Joko Widodo mengetahui apa yang dialami para penyandang disabilitas.
”Kami sangat bersyukur karena Pak Jokowi sudah memberi banyak kesempatan kepada (penyandang) disabilitas, seperti staf khusus dari (penyandang) disabilitas. Akan tetapi, mungkin Bapak perlu memperhatikan lagi pelaksanaan undang-undang di tingkat bawah yang masih banyak kekurangan sana sini,” kata Mahreta.
Sistem perekrutan bermasalah
Berbeda dengan Mahreta yang diterima sebagai karyawan di BUMN, kesulitan penyandang disabilitas mendaftar sebagai pegawai negeri sipil (PNS) juga dialami Renny Indah Budi Setyaningrum (32), warga Piyungan, Bantul, Yogyakarta.
Sekitar 23 tahun yang lalu, saat masih duduk di kelas VI sekolah dasar, Renny mengalami kecelakaan di jalan raya Klaten-Yogyakarta. Insiden tersebut membuat kaki kanannya harus diamputasi sehingga harus menggunakan kaki palsu. Namun, Renny tak pernah menyerah, dia bersekolah hingga perguruan tinggi. Cita-citanya menjadi guru.
Tahun 2009, Renny menyelesaikan pendidikan sarjananya di Program Studi Matematika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta. Lima tahun terakhir, Renny bekerja di lembaga swadaya masyarakat Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (Sapda) Yogyakarta. Awal November 2019, dia mendapat informasi bahwa Pemerintah Kabupaten Bantul membuka seleksi penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) dan ada formasi untuk guru matematika di SMPN 2 Imogiri.
Namun, baru di proses awal pendaftaran saja, sejumlah hambatan sudah menghadang jalan Renny. Selain sulit mengurus surat keterangan dokter yang menerangkan jenis/tingkat disabilitasnya, dalam proses mengisi dokumen lewat daring saja dia sudah terhambat. Hal itu terjadi, setelah dia mengisi kolom apakah disabilitas tunanetra atau nonnetra. Ketika dia mengisi kolom nontunanetra proses selanjutnya terhenti. Di layar komputer muncul kalimat ”maaf hanya menerima pelamar nondisabilitas”.
Ketika mengisi kolom nontunanetra proses selanjutnya terhenti. Di layar komputer muncul kalimat ”maaf hanya menerima pelamar non disabilitas”.
”Sakit banget rasanya membaca kalimat itu. Sudah capek-capek mengurus persyaratan, tetapi pas baru mau upload (mengunggah) data saja, belum apa-apa saya sudah ditolak,” ujar Renny pada acara Mendengar Suara Perempuan Penyandang Disabilitas di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kamis (12/12/2019).
Mahreta dan Renny hanyalah dua dari penyandang disabilitas yang mengalami pengalaman pahit saat mencoba mengadu nasib untuk menjadi PNS dan pegawai di BUMN. Beberapa waktu yang lalu, dokter gigi Romi Syofpa Ismael kelulusannya sebagai PNS sempat dianulir hanya karena ada yang melaporkan bahwa Romi penyandang disabilitas. Padahal, Romi telah mengabdi di sebuah puskesmas di Solok Selatan sejak 2015.
Soal peluang penyandang disabilitas dalam meraih pekerjaan di bidang pemerintahan/BUMN, Angkie Yudistia, Staf Khusus Presiden, saat hadir dalam diskusi tema disabilitas di Kedutaan Besar Australia di Jakarta, Selasa (10/12/2019), menegaskan, sejak menjadi staf presiden, dia sudah mendengar banyak aspirasi penyandang disabilitas dari berbagai pihak.
”Pemerintah membuka lapangan kerja menjadi PNS. Kemenpan RB sudah menandatangani memo bahwa semua birokrasi harus membuka lapangan kerja bagi teman-teman penyandang disabilitas, begitu juga Kemenaker. Kita minta setiap perusahaan wajib menerima disabilitas 1 persen dan di PNS 2 persen,” katanya.
Langkah konkret dari pemerintah untuk mewujudkan amanat UU Penyandang Disabilitas kini ditunggu. Setidaknya seperti yang disampaikan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara pada peringatan Hari Disabilitas Internasional, 3 Desember 2019, bahwa Hari Disabilitas Internasional merupakan bentuk peneguhan komitmen bangsa Indonesia dalam pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.