Pengabaian terhadap sejarah bencana harus dibayar mahal oleh warga Aceh. Sebanyak 160.000 nyawa melayang saat gempa dan tsunami 2004. Padahal, jauh sebelumnya, tsunami berulang kali terjadi di pesisir Aceh.
Oleh
·4 menit baca
Pengabaian terhadap sejarah bencana harus dibayar mahal oleh warga Aceh. Sebanyak 160.000 nyawa melayang saat gempa dan tsunami 2004. Padahal, jauh sebelumnya, tsunami berulang kali terjadi di pesisir Aceh. Goa Ek Luntie di Desa Meunasah Lhok, Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar, merekam jejak tsunami.
Saat berada di Goa Ek Luntie, Selasa (10/12/2019) pagi, puluhan kelelawar terbang sejengkal di atas kepala. Kelelawar itu sepertinya terganggu dengan kehadiran manusia. Bau menyengat kotoran kelelawar menusuk hidung. Suara kepak sayap kelelawar dan pecahan ombak yang menghantam tebing nyaring terdengar.
Goa ini berada selemparan batu dari tepi pantai serta tak jauh dari jalan nasional Banda Aceh-Meulaboh. Tinggi mulut goa sekitar 15 meter dengan lebar 5 meter. Namun, ruang di dalamnya lebih luas.
Goa Ek Luntie berjarak 50 kilometer dari Banda Aceh arah ke Aceh Barat. Menggunakan kendaraan roda empat, tempat ini dapat ditempuh dalam waktu 1,5 jam. Dalam bahasa setempat, ek luntie berarti kotoran kelelawar. Lantai goa, batu-batu, dan dinding goa memang dipenuhi kotoran kelelawar. ”Dulu kami ambil ek luntie untuk pupuk, kompos,” kata Kepala Desa Meunasah Lhok, Sakdun.
Sebelum tsunami, permukiman warga desa berada di sepanjang garis pantai. Saat tsunami 26 Desember 2004, desa itu hilang ditelan lautan. Garis pantai pun bergeser hampir 1 kilometer ke arah daratan. Dari 150 orang jumlah penduduk desa, yang selamat hanya 13 orang. ”Waktu itu kami tidak tahu tentang tsunami,” kata Sakdun.
Tsunami purba
Pada 2011, para peneliti dari Earth Observatory of Singapore (EOS), Nanyang Technological University (Singapura), Rutgers University dan University of Southern Mississippi (Amerika Serikat), serta Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) di Aceh meneliti jejak tsunami di goa itu. Ditemukan pasir sisa tsunami yang terjadi rentang waktu 7.400 hingga 2.900 tahun lalu.
Ternyata sebelum tsunami 2004, kawasan itu sudah dilanda tsunami berulang kali. Anggota peneliti dari Unsyiah, Nazli Ismail, mengatakan, mereka menemukan 11 lapisan pasir bekas tsunami zaman prasejarah. Saat diuji menggunakan radiokarbon, lapisan pasir tertua diketahui berumur 7.400 tahun.
Ditemui di ruang kerjanya di Unsyiah, Nazli memperlihatkan potongan lapisan pasir dari Goa Ek Luntie yang telah diawetkan. Terdapat perbedaan yang kentara antara lapisan-lapisan pasir. Ada yang berwarna coklat pekat dan coklat muda. Setiap lapisan pasir dipisahkan lapisan tipis hitam bekas kotoran kelelawar.
Lapisan yang telah diawetkan itu menjadi media belajar bagi mahasiswa dan siapa saja yang berkunjung ke Pascasarjana Kebencanaan Unsyiah. Sampel lapisan itu menurut rencana akan dipajang di Museum Tsunami Aceh. ”Ketebalan lapisan menandakan kedahsyatan tsunami,” kata Nazli.
Tiga lapisan paling atas adalah pasir bekas tsunami 2004. Hal itu sesuai dengan pengakuan warga bahwa terjadi tiga kali gelombang besar saat tsunami 2004. Ketebalan pasir hampir sama dengan sisa pasir saat 5.400 tahun lalu. Artinya, pernah terjadi tsunami dahsyat sebelum 2004.
Rentang waktu satu peristiwa dengan peristiwa lain antara 450 tahun dan paling lama 2.000 tahun. Namun, kata Nazli, ada catatan lain yang menunjukkan pengulangan tsunami 50 tahun sampai 100 tahun. Seharusnya tsunami 2004 bukan hal baru bagi warga Aceh sebab ada kearifan lokal tentang smong, ie beuna, gloro, dan alon buluek yang menceritakan gelombang besar.
Penelitian lain dilakukan Nazli di bekas tapak Kerajaan Lamuri, kerajaan tertua di Aceh di pantai sebelah utara Aceh Besar. Nazli menemukan lapisan pecahan keramik, gerabah, dan benda kuno yang diduga dipakai warga kerajaan. ”Saya menduga Kerajaan Lamuri hancur karena tsunami,” katanya.
Nazli menuturkan, temuan itu membuktikan bahwa tsunami adalah bencana yang akan terus berulang, tetapi kapan terjadi tidak bisa diprediksi. ”Penemuan ini harus menjadi landasan penting meningkatkan mitigasi bencana,” ujarnya.
”Geopark”
Pemerintah Provinsi Aceh dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan akan menyelamatkan Goa Ek Luntie dengan menetapkannya menjadi geopark. Tanah milik warga di depan mulut goa telah dibebaskan. Nazli berharap Goa Ek Luntie bisa dibuka untuk umum dan menjadi tempat belajar tentang sejarah tsunami. Akan tetapi, pemerintah harus melakukan penjagaan dengan ketat agar tidak ada properti goa yang rusak.
Kepala BNPB Doni Monardo berterima kasih kepada para peneliti yang mengungkap sejarah tsunami kuno di Aceh. Bukti ilmiah ini diharapkan menjadi media pembelajaran bagi semua pihak di Aceh untuk membangun mitigasi lebih baik.
Doni mengatakan, ketidaktahuan warga Aceh tentang tsunami 2004 membuat jatuh banyak korban. ”Padahal, tsunami telah terjadi berulang-ulang, tetapi kita lupa. Keberadaan goa ini harus menjadi pelajaran dalam membangun ketangguhan mitigasi,” kata Doni saat meluncurkan program Keluarga Tangguh Bencana (Katana) di Pantai Pasie Jantang, Aceh Besar.
Program Katana salah satunya ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan warga tentang mitigasi bencana. Semua keluarga di Indonesia diharapkan bisa mendapatkan pendidikan dan pelatihan mitigasi mengingat hal itu sangat menentukan keselamatan dari bencana. Sejarah kebencanaan termasuk salah satu yang harus diwariskan secara lintas generasi agar terbangun budaya sadar bencana.
Warga Lhoong mendukung upaya pemerintah menyelamatkan Goa Ek Luntie. Sakdun berharap goa itu menjadi obyek wisata sejarah tsunami kuno. Ia membayangkan akan banyak wisatawan dan peneliti asing ke kampungnya. Selain mendorong pertumbuhan ekonomi warga, cerita tsunami juga akan selalu mengisi ruang ingatan anak cucu mereka. (ZULKARNAINI)