Pengolahan sagu diharapkan menjadi penggerak ekonomi Papua yang berbasis pada warga. Dengan potensi yang besar, tidak mustahil sagu Papua juga bisa diekspor.
JAYAPURA, KOMPAS —Program pengembangan kluster kampung berbasis komoditas sagu oleh Pemerintah Provinsi Papua di Distrik Tambat, Kabupaten Merauke, selama 12 bulan terakhir mulai membuahkan hasil. Dalam seminggu, petani bisa menghasilkan produk olahan sagu hingga 3 ton.
Program kluster kampung sagu di Tambat dirintis oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Papua serta Dinas Ketahanan Pangan Papua sejak awal tahun 2019. Dalam program ini, petani diberi bantuan pembuatan rumah produksi beserta mesin pengolah sagu yang diciptakan I Made Budi. Dosen Universitas Cenderawasih itu sekaligus menjadi mentor cara menggunakan mesin pengolah sagu.
Para petani sagu dari kelompok Dwitrap di Tambat yang mengikuti program ini dilatih untuk mengolah sagu, mulai dari proses memarut, pengeringan, hingga pembuatan menjadi tepung pati yang bernilai ekonomi. Sebelumnya, sagu hanya menjadi bahan dasar untuk membuat papeda, makanan khas warga setempat.
Sebanyak 25 petani mengikuti program ini. Mereka tak hanya mengolah hutan sagu miliknya, tetapi juga menerima pasokan sagu dari lima kelompok tani lain di Tambat. Total luasan hutan sagu siap panen di Tambat mencapai 250 hektar. Adapun jumlah warga Tambat sebanyak 596 orang.
Ketua kelompok petani Dwitrap di Tambat, Yakobus Yatmop, mengatakan, petani mulai merasakan manfaat program berupa peningkatan kualitas panen dan variasi dalam produksi olahan sagu. ”Kami memproduksi tepung pati sagu mulai bulan Agustus. Kami bisa menghasilkan sebanyak 3 ton sagu per minggu. Produk ini mulai dijual di Merauke,” katanya saat dihubungi dari Jayapura, Minggu (15/12/2019).
Melalui program ini, waktu produksi sagu bisa lebih cepat. Saat menggunakan cara tradisional, dibutuhkan waktu 3-4 hari untuk mengolah satu batang pohon sagu. Sementara pengolahan menggunakan mesin hanya butuh waktu beberapa jam.
”Saat ini, hasil produksi tepung pati dalam kemasan tengah diuji coba Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Kabupaten Merauke. Setelah tahapan ini, kami akan menjual produk tepung pati khas Tambat lebih luas ke luar Merauke,” kata Yakobus.
Potensi besar
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Papua Laduani Ladamay mengungkapkan, luas areal sagu di Papua mencapai 6,2 juta hektar, terbesar di dunia. Sejumlah 4,7 juta hektar merupakan hutan sagu. Meski potensinya besar, luas lahan yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari masih sedikit. Selain itu, Papua juga belum memiliki pabrik pengolahan tepung sagu.
Data Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Papua, luas lahan sagu yang digunakan secara aktif di 20 kabupaten hingga akhir tahun 2017 hanya 35.351 hektar. Pemanfaatan itu jauh dibandingkan daerah Meranti di Riau yang luasan hutan sagu kurang dari 100.000 hektar, tetapi sudah dapat mengekspor tepung pati sagu ke kawasan Asia Timur, seperti Jepang dan China.
”Keuntungan dari 1 hektar sagu bisa menghasilkan uang sebesar Rp 400 juta. Produk olahannya dapat menjadi bahan kosmetik, gula, dan obat-obatan. Bisa dibayangkan dampak ekonomi yang diterima warga Papua jika fokus dalam mengembangkan usaha perkebunan sagu,” tutur Laduani.
Keberadaan program kluster di Tambat, menurut dia, sekaligus untuk menunjukkan kepada pemerintah pusat dan masyarakat Papua, betapa bermanfaatnya hasil usaha sagu. Pemprov Papua pun berencana memperluas cakupan program kluster kampung sagu di daerah lain mulai tahun depan, yakni di Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Mimika.
”Kami berharap pemerintah pusat melalui Kementerian Pertanian mendukung pengembangan program ini. Tujuannya, agar pertumbuhan ekonomi Papua tak hanya dari sektor pertambangan, tetapi juga komoditas unggulan sektor perkebunan,” katanya. Kepala Dinas Ketahanan Pangan Papua Robert Eddy Purwoko mengatakan, pihaknya akan terlibat dalam pelatihan cara mengolah sagu hingga menjadi produk yang layak dipasarkan, seperti tepung pati dan aneka kue.
Ia berharap program kluster sagu di Kampung Tambat akan menjadi model untuk diterapkan di kampung lain di Papua. Dengan demikian, kampung lain juga bisa mengolah sagu yang berkualitas dan ekonomis. ”Saat ini, kelompok Dwitrap telah menjual produk tepung pati sagu seharga Rp 20.000 per kilogram. Setelah mendapat izin resmi dari BPOM, produk ini akan diekspor ke Jepang melalui pelabuhan di Timika,” kata Robert. (FLO)