Mencari Persamaan di Tengah Perbedaan
Menghadapi perubahan cepat dan tantangan tidak ringan, media-media di ASEAN dan Jepang perlu bekerja sama menggarap berbagai isu bersama, seperti pekerja migran, geopolitik, bencana alam, dan perdagangan.
Ketika Ketua Jakarta Japan Club Kanji Tojo berkunjung ke harian Kompas pekan lalu, dia mengatakan, ada banyak persamaan antara masyarakat Jepang dan Indonesia. Hal paling menonjol adalah karakter geografi dua negara yang sama-sama berbentuk kepulauan. Hal ini memberi keuntungan, antara lain, tidak mudah diduduki orang luar.
Apa yang diungkapkan Tojo, yang juga Direktur Utama Sumitomo Indonesia, merangkai alasan mengapa Jepang ingin tetap berinvestasi di Indonesia. Selain melihat Indonesia sebagai pasar yang besar, juga karena masyarakat kedua negara memiliki banyak kesamaan sebagai sesama rumpun Asia.
Beberapa kesamaan itu, antara lain, penghargaan kepada mereka yang lebih tua dan guru, serta masih memercayai agama. Mencari persamaan daripada perbedaan tampak akan menjadi dasar kolaborasi antarnegara ke depan.
Baca juga: ASEAN-Jepang Mitra Setara
Di tengah dunia yang berubah cepat karena dipicu globalisasi, teknologi digital, serta ketidakpuasan pada globalisasi dan sistem liberal, kolaborasi semakin penting karena disadari bahwa setiap negara memiliki kelebihan dan kekurangan. Dengan bekerja sama, kelebihan dan kekurangan itu dapat saling diisi dengan memberi manfaat setimbang di antara pihak-pihak yang bekerja sama.
Semangat itu pula yang muncul dalam pertemuan 10 wartawan senior media-media dari enam negara ASEAN, yaitu Filipina, Indonesia, Kamboja, Malaysia, Myanmar, dan Thailand, serta wartawan senior empat media Jepang, awal Desember lalu, di Tokyo. Sasakawa Peace Foundation sebagai pemrakarsa kegiatan ini ingin mengajak media di Asia melihat kepentingan Asia—dalam hal ini ASEAN dan Jepang—dari kacamata ASEAN dan Jepang.
Baca juga: ASEAN Penting bagi Jepang
Dalam banyak pemberitaan mengenai situasi internasional selama ini, tidak sedikit media di Asia mengandalkan kantor berita asing, terutama dari Barat, sebagai sumber berita. Situasi tak ideal ini berkonsekuensi, pemberitaan suatu fakta peristiwa akan menggunakan sudut pandang kantor berita bersangkutan.
Salah satu sebab media menggunakan sumber kantor berita karena datangnya gelombang industri 4.0. Teknologi digital mendisrupsi media konvensional, menyebabkan orang beralih dari mencari informasi melalui koran cetak ke media dalam jaringan (daring).
Disrupsi ini memengaruhi hampir semua media konvensional di banyak negara. Media- media cetak berskala besar di Jepang pun terpengaruh situasinya meski masih cukup banyak pembaca koran dan media cetak. Dampak lanjutnya, yaitu pengurangan koresponden media bersangkutan di luar negeri. Pemberitaan peristiwa internasional dilakukan dengan mengirim wartawan untuk peristiwa penting dan atau menggunakan sumber sekunder dari kantor berita.
Kebebasan pers
Dalam pertemuan tiga hari itu diakui adanya kebutuhan untuk membuat pemberitaan mengenai negara-negara ASEAN dan Jepang dengan menggunakan sudut pandang dari media di setiap negara. Meski demikian, diskusi juga menemukan tak mudah melakukan hal itu karena berbagai hal, mulai dari yang bersifat teknis, seperti perbedaan bahasa, hingga hal lebih mendasar, seperti persaingan oleh media sosial, independensi pers, hingga filosofi yang mendasari sudut pandang media bersangkutan.
Di Filipina, misalnya, kemenangan Rodrigo Duterte sebagai presiden sebenarnya adalah kemenangan media sosial atas media konvensional. Menurut salah satu pendiri media daring, Rappler, yang sangat kritis pada pemerintah, Chay Hofilena, masyarakat Filipina, terutama usia 18-35 tahun, sangat memercayai media sosial.
Baca juga: CEO Rappler Tuduh Pemerintahan Duterte Bersikap Diktator
Pengguna internet di negara itu mencapai 76 juta orang pada Januari 2019 dari sekitar 110 juta orang penduduk—75 juta orang di antaranya pengguna aktif dan menghabiskan rata-rata waktu 4 jam 12 menit setiap hari untuk media sosial. Adapun waktu yang digunakan pemakai internet untuk media sosial di Indonesia rata-rata 3 jam 26 menit; Jepang 36 menit.
Di Kamboja, independensi pers berada dalam masalah serius. Direktur Media Pusat Media Independen Kamboja Nop Vy menyebut, media massa Kamboja (sekitar 200 stasiun radio dan 20 stasiun televisi) berada di bawah kontrol pemerintah sejak pemilu lokal pada 2017. Menjelang pemilu nasional tahun 2018, media independen dipaksa tutup dan pemerintah menggunakan media sebagai alat kampanye.
Di negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, media berhadapan dengan situasi masyarakat yang terbelah dan menjadi kurang toleran terhadap perbedaan, termasuk kritik pada pemerintah. Dalam situasi kemerdekaan pers dan independensi media menghadapi tantangan dari pemerintah, kerja sama antara media ASEAN dan Jepang jadi semakin penting.
Ketika Duterte memperkarakan salah satu pendiri Rappler, Maria Resa, ke pengadilan dengan tuduhan, antara lain, pelanggaran pajak, pemberitaan media luar Filipina, termasuk media di ASEAN, membuat pemerintah bersikap lebih hati-hati dalam memperkarakan Resa.
Mencari persamaan
Di tengah berbagai tantangan yang dihadapi media ASEAN, mencari persamaan menjadi dasar berkolaborasi. Diskusi coba menemukan berbagai isu yang dapat digarap bersama serta menemukan cara peliputan yang dapat dilakukan.
Beberapa isu yang memiliki irisan di antara negara-negara ASEAN dan Jepang adalah isu pekerja migran dan perdagangan manusia, bencana alam dan perubahan iklim, kondisi geopolitik kawasan maritim Indo-Pasifik, serta perjanjian perdagangan bebas antara ASEAN, China, Jepang, Korea Selatan, Australia, Selandia Baru, dan India (RCEP).
Isu pekerja migran telah menjadi isu bersama bagi hampir semua negara ASEAN. Bagi Jepang, penduduk yang menua juga membuat negara itu harus membuka diri terhadap pekerja dari luar. Biasanya isu pekerja migran berjalan beriringan dengan perdagangan manusia dan perbudakan, seperti pernah dialami sejumlah pekerja Indonesia yang dipaksa bekerja di kapal-kapal ikan dari beberapa negara ASEAN dan Asia lainnya.
Bencana alam jadi isu bersama negara-negara yang berada di jalur gempa dan gunung berapi di kawasan Asia Pasifik. Indonesia, Filipina, dan Jepang menghadapi kerawanan sama. Kerja sama pemberitaan dapat menjadi sarana pemelajaran untuk menghindari jatuhnya korban jiwa dan materi.
Konsep Indo-Pasifik yang digaungkan Indonesia untuk kebersamaan ASEAN dalam konteks maritim dianggap menjadi isu bersama, terutama dalam menghadapi sengketa perbatasan laut yang dihadapi sejumlah negara anggota ASEAN dengan China. Bagi Jepang, kawasan maritim yang bebas di selatan negara itu menjadi penting bagi lalu lintas perdagangan ke dunia internasional.
Belum masuknya India di dalam perjanjian perdagangan RCEP dengan alasan industri manufaktur negara itu belum siap menghadapi serbuan produk dari negara Asia lain, terutama China, adalah isu penting bagi Jepang. Jepang memerlukan keanggotaan India untuk mengimbangi China.
Meski dalam praktik tak mudah membangun landasan bersama pemberitaan dari kacamata Asia, diskusi media ASEAN dan Jepang telah membuka pemahaman tentang situasi dan tantangan yang dihadapi media di setiap negara. Pertemuan tiga hari itu menjadi awal komunikasi dan membuka peluang kerja sama pemberitaan lebih luas yang sebenarnya telah dilakukan beberapa media dengan mitranya di negara tetangga.