Keinginan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto akan adanya peningkatan anggaran pertahanan sangat wajar. Anggaran pertahanan hanya sekitar 0,9 persen produk domestik bruto (PDB) atau jauh di bawah standar normatif 2 persen PDB yang biasanya menjadi rujukan negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Pada debat capres sesi pertahanan pada Pilpres 2019, Prabowo juga mengungkap kesenjangan anggaran pertahanan RI dengan Singapura yang berkisar 3 persen PDB. Masalahnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sekitar 5 persen.
Konsumsi agregat masih menjadi pendorong utama dibandingkan dengan investasi riil. Sementara itu, situasi perekonomian dunia tahun 2020 tidak lebih menggembirakan daripada tahun ini. Turki, Argentina, dan Hong Kong sudah merasakan dampak situasi ekonomi global ini.
Tahun depan diperkirakan akan terjadi resesi ekonomi yang menimpa beberapa negara Eropa dan AS sebagai akibat perang dagang AS-China. Dampaknya kepada Indonesia antara lain melambatnya laju ekspor, risiko depresiasi rupiah, serta risiko melebarnya defisit perdagangan, anggaran, dan neraca transaksi berjalan.
Selain itu, belanja wajib tak mengecil. Mulai dari 20 persen dari total anggaran untuk pendidikan, 5 persen anggaran untuk kesehatan, dana alokasi umum dan dana bagi hasil, dana desa, serta dana otonomi khusus Aceh, Papua, Papua Barat, dan DIY. Belanja pegawai dan belanja barang (antara lain untuk organisasi kementerian/lembaga) juga meningkat, termasuk pada Kementerian Pertahanan dan TNI sesudah penambahan jumlah jabatan dan satuan baru.
Situasi tersebut menunjukkan tidak mudah menaikkan anggaran pertahanan, termasuk pada APBN Perubahan 2020, jika nanti diajukan pemerintah. Selain itu, Presiden Jokowi juga dapat berinisiatif menambah anggaran belanja modal pertahanan berupa pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) seperti dilakukan pemerintahan SBY.
Presiden SBY saat itu menerbitkan Keppres No 35 Tahun 2011 untuk menambah pengadaan alutsista paling banyak Rp 57 triliun pada 2010-2014. Upaya itu sukses mengadakan alutsista strategis semacam jet tempur F-16 atau helikopter serang Apache meskipun pengirimannya telat karena kasus korupsi bendahara.
Becermin dari kasus itu, korupsi, kolusi, dan semacamnya merupakan kendala pembangunan postur pertahanan. Anggaran yang terbatas menjadi semakin tidak efektif, baik karena dikorup sebagian maupun karena diputar terlebih dahulu dalam bentuk investasi finansial. Modus seperti ini tidak hanya terjadi di sektor pertahanan, tetapi risikonya menjadi lebih besar karena pertahanan mengurus hidup matinya negara secara langsung.
Prioritas
Pencegahan korupsi atau praktik yang mendekati korupsi harus menjadi prioritas Menhan Prabowo sebagai salah satu strategi optimalisasi anggaran pertahanan yang terbatas. Pengadaan alutsista kerap disorot karena tingginya biaya agen dan makelar. Majalah Jane’s Defence Weekly edisi 12 Oktober 2016 pernah menyebut kenaikan biaya hingga 40 persen akibat masalah ini. Sekalipun praktik makelar tidak selalu berarti korupsi, besaran komisi hingga 40 persen, atau bahkan lebih, dapat diindikasikan adanya penyimpangan atau sekurangnya tujuan kegiatan/pengadaan tidak tercapai.
Masalahnya, sulit menyusun standardisasi pengadaan alutsista dan alat-alat pertahanan dan keamanan yang lebih kecil daripada pengadaan barang-barang sipil. Unsur kerahasiaan menjadi alasannya, tetapi itu menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi kerahasiaan merupakan unsur penting pertahanan. Namun, di sisi lain, kerahasiaan juga dapat dimanfaatkan untuk berbuat sesuatu di luar kepentingan terbaik negara.
Kesulitan lain, banyak alutsista dibeli atau dibuat dengan pesanan tertentu (customized), terutama pada komponen persenjataan, pengindraan, dan persinyalan/pengacak sinyal, sistem manajemen pertempuran serta sistem kontrol dan komando (C4ISR). Harga sebuah helikopter serang yang dibeli suatu negara dapat jauh berbeda dengan negara lain karena perbedaan kelengkapan komponen dan kualitas teknologinya.
Yang juga perlu dicermati adalah pelibatan industri lokal saat membeli alutsista dari luar. Pelibatan industri nasional dengan skema ofset dalam impor alutsista adalah perintah UU No 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan Pasal 43. Skema ofset berarti pelibatan industri nasional dalam sebagian pekerjaan produksi sebagai kompensasi impor alutsista. Hal itu dapat menaikkan biaya pengadaan, termasuk untuk laba industri nasional.
Untuk itu, visi Prabowo soal pembangunan pertahanan sebagai investasi harus diterapkan secara detail. Ini perlu untuk mengukur nilai tambah bagi industri nasional untuk setiap pelibatannya dalam ofset. Selanjutnya, sesudah beberapa tahun, industri nasional harus terbukti mampu memproduksi alutsista setara, mengintegrasikan berbagai komponennya atau minimal memproduksi salah satu komponennya. Jika tidak, kegiatan kompensasi itu dapat diindikasikan minimal inefisiensi.
Optimalisasi anggaran pertahanan juga dapat dilakukan dengan penerapan Pasal 75 UU No 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara. Sumber pendanaan pengelolaan itu berasal dari APBN, APBD, dan/atau sumber pendanaan lain yang sah dan tak mengikat yang diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Dengan manajemen pertahanan yang baik, sebagian anggaran bela negara yang selama ini dibiayai anggaran Kementerian Pertahanan, sebagaimana anggaran penataan komponen pendukung, pembentukan dan pengelolaan komponen cadangan, dapat dibantu oleh APBD, BUMN, dan BUMD. Hal ini membuka ruang peningkatan pendanaan untuk pengadaan, pemeliharaan, dan perawatan alutsista, latihan, serta unsur postur pertahanan lainnya.
Fahmi Alfansi P Pane Alumnus Universitas Pertahanan Indonesia