Konflik satwa dan manusia akan terus terjadi sepanjang kerusakan habitat satwa akibat aktivitas manusia belum ditangani secara komprehensif.
Oleh
Zulkarnaini / Vina Oktavia / Rhama Purna Jati
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS - Kerusakan habitat yang disebabkan alih fungsi lahan, penebangan liar, dan pertambangan di dalam kawasan hutan memicu konflik satwa di sejumlah wilayah di Sumatera. Namun, sejauh ini penanganan konflik satwa belum menyentuh akar persoalan terkait kerusakan habitat satwa.
Konflik gajah dan warga di Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh, misalnya, dipicu kerusakan hutan lindung akibat tambang dan penebangan kayu di hutan lindung. Adanya aktivitas manusia secara masif dalam kawasan membuat satwa terusik.
Di Aceh Timur, alih fungsi kawasan hutan menjadi hak guna usaha (HGU) perkebunan sawit juga memutuskan jalur jelajah gajah. Dampak terburuk, beberapa kali gajah ditemukan mati dalam area perkebunan. Sementara di Aceh Selatan dan Subulussalam, beberapa kali orangutan ditemukan terkurung di kebun sawit.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh Muhammad Nur menilai, penanganan konflik satwa selama ini hanya sebatas merespons keadaan, bukan menyentuh masalah yang mendasar. ”Lintas sektor tidak serius melindungi kekayaan flora dan fauna yang tersisa di Aceh,” kata Nur, Senin (16/12/2019), di Banda Aceh.
Menurut Nur, pemangku kepentingan harus saling mendukung menyelamatkan satwa lindung. ”Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) harus berani tegas mempertahankan kawasan penting bagi satwa lindung,” ujar Nur.
Pada awal Desember, 23 ekor gajah liar menguasai jalan nasional Bireuen-Takengon. Keberadaan hewan berbadan besar itu di jalan raya membuat warga dan pengendara ketakutan untuk melintas. Saat itu, tim penanggulangan yang dibentuk oleh Pemkab Bener Meriah bersama tim dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh mengusir gajah dengan petasan. Keesokan harinya, gajah kembali menguasai perkebunan warga.
”Kalau penanganan seperti ini sampai kapan pun konflik gajah di Bener Meriah tidak akan selesai,” kata Asisten II Pemkab Bener Meriah Abdul Muis, kemarin. Muis mengatakan, pemicu konflik gajah di Bener Meriah karena alih fungsi lahan dari hutan menjadi perkebunan sawit di daerah aliran sungai Peusangan, Bireuen, kabupaten tetangga. Kawasan itu merupakan koridor gajah.
Di Kecamatan Juli dan Peusangan, luas lahan potensial untuk perkebunan sawit 9.672 hektar. Sebagian besar kini telah ditanami sawit. Pada kawasan DAS Peusangan, sawit mulai bermunculan pada 2006. Pada 2013, konflik gajah pun mulai terjadi. ”Selama ini kami membantu penggiringan, memakai dana darurat. Namun, kami tidak punya anggaran khusus untuk penanganan konflik satwa,” kata Muis.
Konflik gajah paling sering terjadi di Aceh. BKSDA Aceh mencatat pada 2016 terjadi 46 kasus, pada 2017 meningkat menjadi 103 kasus, dan pada 2018 sebanyak 47 kasus. Sepanjang tahun 2015 hingga 2018 sebanyak 33 ekor gajah sumatera di Aceh mati. Sebagian besar dibunuh dengan cara diracun, ditembak, dijerat, dan disetrum. Gadingnya diambil, sedangkan bangkainya dibiarkan membusuk.
Kepala BKSDA Aceh Agus Ariyanto menuturkan, penanganan konflik satwa jangan dibebankan kepada BKSDA semata. Sebab, kata Agus, banyak faktor pemicu konflik, salah satu adalah alih fungsi lahan dari hutan menjadi budidaya.
GPS ”collar”
Kawanan gajah liar di Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung, akan dipasangi GPS collar agar pergerakan satwa liar itu terpantau. Pemasangan GPS untuk kedua kalinya ini dilakukan untuk meminimalisasi konflik gajah dengan manusia di Kecamatan Semaka, Tanggamus. Dua tahun terakhir, konflik gajah dengan manusia di kabupaten itu telah menelan dua korban jiwa.
Pelaksana Tugas Kepala Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan John Kenedie, mengatakan, GPS collar ditargetkan bisa terpasang paling lambat akhir Desember. Menurut rencana, pemerintah bersama mitra terkait akan memulai pemasangan pada 25 Desember.
Dari Palembang, Sumatera Selatan, pemetaan lahan kritis akan dilakukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Dempo, menyusul banyaknya konflik antara manusia dan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae). Selama pemetaan ini berlangsung, sejumlah petani dievakuasi dari hutan lindung untuk mengurangi potensi konflik.
”Menurut rencana, pemetaan lahan kritis melibatkan TNI/Polri. Adapun untuk perbaikan lahan kritis akan dilakukan tahun depan sembari menunggu dana dari pemerintah pusat,” kata Kepala KPH Dempo Ardiansyah Fitri.