Banyak difabel tidak ingin hidup dari belas kasihan. Mereka ingin diperlakukan sama. Sudah saatnya pemerintah daerah paham dengan keinginan itu. Difabel tidak ingin dikasihani, tapi hidup mandiri.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
Banyak difabel tidak ingin hidup dari belas kasihan. Mereka ingin diperlakukan sama. Sudah saatnya pemerintah daerah paham dengan keinginan itu. Difabel tidak ingin dikasihani, tapi hidup mandiri.
Jemari Suhaimin (35) tekun memijat tubuh pasiennya. Sesekali, dia memberi tekanan lebih keras di bagian tubuh yang diminta pasien. Sekitar 30 menit kemudian, pasien itu memberi selembar uang pecahan Rp 100.000 sebagai imbal jasa pijat refleksi dengan menaruhnya di tangan Suhaimin.
Akan tetapi, pasien yang enggan disebutkan namanya itu tidak meminta kembalian. Setelah mengucapkan terima kasih, uang itu lalu disimpan Suhaimin di tas kecil yang selalu dibawanya memijat.
Sejak setahun lalu, Suhaimin sudah menjalani hari-harinya sebagai pemijat di Rumah Pijat Tunanetra di Mal Pelayanan Publik Siola. Suhaimin praktik di tempat yang didirikan Pemerintah Kota Surabaya itu sejak April 2018. Dia juga masih membuka praktik pijat panggilan, umumnya bagi pekerja di kapal.
Di Rumah Pijat Tunanetra, ada 10 tukang pijat yang membuka praktik di tempat itu secara bergantian. Dalam sehari, ada tiga tukang pijat laki-laki dan dua tukang pijat perempuan. Biaya awalnya Rp 25.000 untuk layanan selama 30 menit.
Dia mengatakan, di Rumah Pijat Tunanetra, penghasilannya bertambah. Dalam sehari, biasanya ada empat orang menggunakan jasa pijatnya. Mereka mayoritas pegawai Pemkot Surabaya dan warga yang mengurus dokumen administrasi kependudukan di Mal Pelayanan Publik Siola.
Tukang pijat lainnya, Wiwik Hariyati (58), di Rumah Pijat Tunanetra, mendapat manfaat ganda. Selain penghasilan tambahan, dia mendapat sertifikat keahlian pijat dari Dinas Sosial Kota Surabaya. Hal ini bisa menambah daya tawar dan percaya dirinya saat berhadapan dengan pengguna jasa.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengatakan, alasan Mal Pelayanan Publik Siola menjadi lokasi Rumah Pijat Tunanetra karena lokasi itu jadi kantor sejumlah organisasi pemerintahan daerah, Museum Surabaya, serta tempat mengurus ratusan dokumen administrasi dan perizinan. Setiap hari, tak kurang dari 1.000 orang ada di Siola.
”Warga yang lelah seusai mengurus dokumen bisa mampir untuk pijat. Dijamin pijatannya enak karena sudah tersertifikasi sebagai pemijat profesional,” ujarnya.
Risma menuturkan, pembukaan Rumah Pijat Tunanetra ini menjadi salah satu upaya untuk memberikan akses pekerjaan yang layak kepada difabel netra. Harapannya, difabel netra bisa memenuhi kebutuhannya secara mandiri.
”Kami memberi kesempatan kepada penyandang disabilitas agar mandiri, tidak bergantung kepada orang lain. Sama dengan warga lain, mereka juga harus bekerja untuk mencari nafkah,” katanya.
Kami memberi kesempatan kepada penyandang disabilitas agar mandiri, tidak bergantung kepada orang lain. Sama dengan warga lain, mereka juga harus bekerja untuk mencari nafkah.
Selain di Siola, Pemkot Surabaya juga memberikan fasilitas panti pijat tunanetra di Taman Bungkul dan hotel. Para difabel diberdayakan di sejumlah kantor organisasi pemerintahan daerah.
Bagi penyandang disabilitas yang belum mampu bekerja, Pemkot Surabaya berupaya memenuhi kebutuhan dasar, yakni makan sehari-hari. Ada sekitar 9.500 penyandang disabilitas di Surabaya yang diberikan makan setiap hari oleh Dinas Sosial. Petugas mengantarkan makanan tersebut di rumah penerima sebelum pukul 10.00.
”Semua sekolah dasar negeri di Surabaya merupakan sekolah inklusi, artinya anak-anak penyandang disabilitas bisa memilih sekolah seperti anak-anak pada umumnya,” ucap Risma.
Selain memberikan akses pekerjaan kepada penyandang disabilitas, lanjut Risma, Pemkot Surabaya juga memberikan kemudahan akses fasilitas publik. Di seluruh kantor pemerintahan dibangun ram agar pengguna kursi roda tidak perlu menaiki tangga.
Kemudian, di trotoar, ada jalur timbul berwarna kuning yang dapat menjadi panduan difabel netra. Jalur ini dibuat di tengah dan tidak terhalang benda lain, seperti pohon perindang. ”Di bus Suroboyo, ada kursi khusus bagi disabilitas,” ujar Risma.
Fasilitas-fasilitas itu dibuat guna menjamin difabel menjalani kehidupan sama dengan orang-orang di sekitarnya. Saat kesempatan itu datang, bukan tidak mungkin mereka bakal memberikan beragam hal besar yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.