Lebih dari 245.000 jiwa buruh migran di mancanegara pada penempatan tahun ini masih memerlukan pengawasan dan perlindungan. Mereka rawan dimanfaatkan organisasi kejahatan ekstremisme, terorisme, atau narkotika.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Lebih dari 245.000 buruh migran di mancanegara masih butuh pengawasan dan perlindungan. Mereka rawan dimanfaatkan organisasi kejahatan ekstremisme, terorisme, atau narkotika.
Hal itu mengemuka dalam Pertemuan Nasional Perempuan Pekerja Migran Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang, Kekerasan, dan Eksploitasi, Selasa (17/12/2019), di Asrama Haji Surabaya, Jawa Timur.
Acara tersebut untuk menyambut Hari Buruh Migran Sedunia yang diperingati setiap 18 Desember. Tahun ini, pertemuan bertema ”Memperkuat Solidaritas Antarpenyintas untuk Mendorong Perwujudan Keadilan Sosial Perempuan Pekerja Migran”.
Dwi Wulandari, pekerja asal Blitar, Jawa Timur, yang dipenjara di Filipina lebih dari tujuh tahun akibat ”dimanfaatkan” oleh kartel narkotika, mengatakan, buruh migran mutlak memiliki pengetahuan, kompetensi, dan kewaspadaan. Di mancanegara, organisasi kejahatan selalu berusaha mendekati orang-orang untuk dieksploitasi. Kalangan majikan juga ada yang berkecenderungan mengorbankan buruh migran.
”Saya menjadi korban karena waktu itu terlalu mudah percaya,” kata Dwi saat kesaksian dalam jumpa pers di sela pertemuan. Yang menjerumuskan dirinya adalah sahabat kentalnya sehingga ia percaya tanpa kritis.
Selain itu, ia tergiur tawaran pekerjaan dengan honor tinggi dan fasilitas menemani majikan bepergian bisnis ke mancanegara. Ternyata, perempuan yang kini bekerja di sektor pariwisata di Bali itu dijerumuskan dalam sindikat narkotika dan tertangkap, lalu dihukum di Filipina.
Saya menjadi korban karena waktu itu terlalu mudah percaya.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Aris Wahyudi mengatakan, pemerintah terus berupaya memastikan pengawasan dan perlindungan terhadap buruh migran.
Secara regulasi, telah terbit Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Aturan itu tidak menghambat keinginan warga negara (buruh migran) untuk mendapat pekerjaan di mancanegara, sekaligus memastikan perlindungan.
Bahkan, menurut Aris, regulasi tersebut memiliki sudut pandang berbeda. Sebelumnya, buruh migran dianggap sebagai pahlawan devisa sehingga nyaris selalu menjadi korban pemerasan. Buruh migran adalah duta bangsa sehingga dunia bisa lebih mengenal Indonesia dan akhirnya membangun atau mempererat kerja sama berbagai bidang.
Menurut Aris, ada 179 negara potensial untuk penempatan buruh migran. Penelusuran data pada Kementerian Ketenagakerjaan, kurun Januari-November 2019, sebanyak 245.242 jiwa buruh migran masuk dalam penempatan. Angka itu terdiri dari 122.932 buruh migran sektor formal dan sisanya 122.310 jiwa di sektor informal. Jumlah tersebut masih di bawah penempatan tahun lalu, yakni 283.640 jiwa.
Direktur Eksekutif Migran CARE Wahyu Susilo mengingatkan, UU No 18/2017 membawa paradigma baru. Namun, sudah lebih dari dua tahun sejak disahkan belum ada turunannya berupa peraturan pemerintah atau peraturan presiden. Di sisi lain, tahun ini, kenaasan masih dialami kalangan buruh migran.
Wahyu mencontohkan, kematian Tamam, Oktober lalu, dan Ngatiyai, November lalu, terkait antre pengurusan paspor di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur, Malaysia, menjadi ironi. Fakta itu bertolak belakang dengan keinginan pemerintah mempercepat pengurusan dokumen kewarganegaraan, termasuk paspor, yang ternyata masih memakai cara tradisional dengan mengantre, tetapi sampai mengakibatkan kematian.
Selain itu, kasus Yuli Riswati, buruh migran sekaligus jurnalis warga Migran Pos, yang dideportasi dari Hong Kong, China, karena status keimigrasian dan mewartakan demonstrasi anti-RUU Ekstradisi di negara bagian tersebut.
Di Singapura, ada tiga perempuan buruh migran yang menghadapi ancaman hukuman berat atas dugaan pendanaan aktivitas terorisme. ”Padahal, mereka tidak mengetahui dan merasa sekadar melakukan solidaritas untuk sesamanya,” ujar Wahyu.
Untuk itu, lanjut Ketua Pusat Studi dan Kajian Migrasi Migran CARE Anis Hidayah, agar segera dituntaskan turunan undang-undang berikut kelembagaan dan tata kelolanya. Selain itu juga agar disusun peta jalan perlindungan buruh migran yang berorientasi pelayanan publik yang adil dan tidak bias jender.
”Kami menolak keras UU No 18/2017 masuk dalam rencana omnibus law bidang ketenagakerjaan. Ini aturan melindungi manusia, bukan penghambat investasi,” katanya.