Babak 16 besar Liga Champions Eropa menghadirkan sejumlah duel maut, salah satunya Manchester City kontra Real Madrid. Bagi Manajer City Pep Guardiola, laga ini bak “Kotak Pandora” yang misterius.
Oleh
Yulvianus Harjono
·5 menit baca
NYON, SENIN – Suratan takdir memaksa Manajer Manchester City, Pep Guardiola, pulang ke Spanyol untuk menyambangi lawan yang tidak lagi asing baginya, Real Madrid. Duel City kontra Real Madrid di babak 16 besar Liga Champions Eropa menjanjikan pertarungan sengit berbalut misteri yang sulit terpecahkan.
Dari sekian banyak klub di dunia, Real Madrid merupakan lawan yang paling sering dihadapi Guardiola sepanjang karir manajerialnya. Total 17 kali ia menghadapi Real dengan catatan menawan, yaitu sembilan kali menang, empat imbang, dan empat kekalahan. Hampir seluruh kemenangan itu diperolehnya saat masih memegang klub Spanyol, Barcelona.
Anda akan selalu memilih bertemu tim sebesar Madrid di fase-fase akhir, bukanlah awal seperti sekarang
Sayangnya, rekor positif itu menjadi kurang berarti saat ini. Berbeda dengan ketika melatih Barca, rekam jejak Guardiola bersama Manchester City di Liga Champions jauh dari kata menggembirakan. Jangankan juara, City di era Guardiola selama tiga musim terakhir belum sekali pun menginjak semifinal kompetisi antarklub Eropa itu. Guardiola yang terakhir kali juara Liga Champions pada 2011 bersama Barcelona, belum mampu mengulanginya bersama Bayern Muenchen dan City.
City, penguasa Liga Inggris dua musim terakhir, tampil inferior di Liga Champions. “The Citizens” asuhan Guardiola berturut-turut disingkirkan AS Monaco, Liverpool, dan Tottenham Hotspur di fase gugur tiga musim terakhir. Tidak heran, meskipun berstatus juara grup di babak penyisihan sebelumnya, City bukan tim favorit pada duel kontra Real di babak 16 besar yang digelar mulai pertengahan Februari mendatang.
Sebaliknya, City—yang belum pernah menembus final Liga Champions—bak bocah ingusan di hadapan Real. “Anda akan selalu memilih bertemu tim sebesar Madrid di fase-fase akhir, bukanlah awal seperti sekarang. Ini adalah laga besar menghadapi klub juara 13 kali di kompetisi ini. Untuk itu, kami harus berada di puncak performa dan pikiran yang baik ketika menghadapi mereka,” ujar Direktur Manchester City Txiki Begiristain dilansir UEFA.com.
Duel kontra Real, yang kini kembali dipimpin pelatih Zinedine Zidane, tidak ubahnya Kotak Pandora bagi Guardiola. Sepanjang satu dekade karir melatihnya, ia belum sekali pun berhadapan dengan Zidane di medan laga. Di mata Guardiola, Zidane adalah sebuah misteri. Meskipun pengalamannya lebih sedikit, Zidane mengalahkannya dalam hal prestasi di Eropa.
Sihir hitam
Dari tiga musim kiprahnya sebagai pelatih di Liga Champions, Zidane selalu meraih gelar juara, yaitu bersama Real. Menakjubkan pula, dua dari tiga trofi “Si Kuping Lebar” itu diraihnya ketika Real tampil kurang meyakinkan seperti musim ini, yaitu berstatus runner-up penyisihan grup di musim 2016-2017 dan 2017-2018. Menurut Squawka, Zidane berpeluang mengulang keajaibannya menghadapi City.
“Manchester City jelas memiliki kualitas. Meskipun mereka bakal menguasai laga ini seperti biasanya, entah mengapa, mereka bakal kalah (dari Real) berkat sihir hitam klasik dari Zizou (julukan Zidane),” tulis Squawka memprediksi hasil akhir duel City kontra Real di babak 16 besar itu, kemarin.
Bagi sejumlah kalangan, Zidane—yang kerap disebut “penyihir”—dianggap memiliki ilmu magis yang sulit dinalar. “Mantra-mantranya, seperti ritual Macumba Brasil, dapat mengubah Casemiro (gelandang bertahan) menjadi Ronaldinho ketika menendang jarak jauh. Jimat Andalusia-nya juga membuat (bek) Sergio Ramos menjelma Paolo Maldini serta Franz Beckenbauer di laga-laga besar,” tulis Managing Madrid menjelang laga final 2018 silam.
Sindiran itu seolah terbukti di final saat itu. Liverpool, tim yang ofensif dan agresif dalam menyerang, kalah 1-3 dari Real yang lebih banyak mengandalkan serangan balik. Bak terkena guna-guna, kiper Liverpool saat itu, Loris Karius, membuat dua blunder gol konyol. Di saat sama, penyerang andalan “The Reds” saat itu, Mohamed Salah, terkapar di lapangan dan gagal melanjutkan laga final itu karena cedera.
Kutukan Inggris
Liverpool lantas menebus kegagalan menyakitkan itu dengan membekap Tottenham Hotspur di final musim lalu. Klub Inggris itu akan menghadapi tim Spanyol lainnya, Atletico Madrid, di babak 16 besar musim ini. Duel sengit lainnya ini menjadi ujian awal Liverpool menghadapi Kotak Pandora lainnya, yaitu kutukan lama yang menjerat klub-klub Inggris.
Sejarah mencatat, tidak ada satu pun klub Inggris yang bisa mempertahankan gelar juara Eropa setelah Nottingham Forest, 39 tahun silam. Kutukan serupa sempat berlaku 27 tahun lamanya bagi klub-klub lain di ajang Liga Champions.
Madrid adalah tempat di mana kami hanya memiliki kenangan fantastis
Namun, kutukan itu lagi-lagi dipatahkan Real dan penyihir terhebatnya, Zidane, pada musim 2016-2017. Bahkan, pada musim berikutnya, Zidane membawa Real menjadi klub pertama yang tiga kali beruntun menjuarai Liga Champions.
Namun, bagi Liverpool, tandang ke Madrid memiliki atmosfer yang membangkitkan semangat. Di markas Atletico, Stadion Wanda Metropolitano, Liverpool meraih gelar juara Liga Champions pada Juni lalu. Skuad The Reds mengalahkan sesama klub Inggris, Tottenham Hostpur di sana.
”Madrid adalah tempat di mana kami hanya memiliki kenangan fantastis, kami semua, jadi itu sangat bagus, tetapi kali ini kami melawan Atletico di sana dan ini kandang mereka,” tegas pelati Liverpool Juergen Klopp wawas diri.
”Ini laga yang sulit, tetapi jika melihat semua hasil undian, di sana ada sekitar empat atau lima laga yang sudah mirip final di babak 16 besar,” ujar pelatih asal Jerman yang baru saja memperpanjang kontrak bersama Liverpool hingga 2024 itu.
Atletico yang memiliki misi belum tuntas di Liga Champions, akan menjadi tantangan besar bagi Liverpool. Tim asuhan pelatih Diego Simeone itu selalu tampil spartan dan tidak kenal takut dengan lawan. Mental mereka telah ditempa melalui laga-laga sulit di Liga Spanyol dan Liga Champions.
Mereka selalu menjaga misi menjuarai Liga Champions yang gagal mereka wujudkan dalam dua kali final, pada musim 2013-2014 dan 2015-2016. Dua kegagalan itu semuanya di tangan rival sekota, Real Madrid.
Kali ini, saat Liverpool datang ke Wanda Metropolitano, tidak akan ada keramahan bagi mereka. Di sana, Atletico bak para petarung yang mengobarkan api pertempuran. (AFP)