KPK menetapkan Sekretaris MA periode 2011-2016 Nurhadi sebagai tersangka penerima suap dan gratifikasi senilai Rp 46 miliar terkait dengan pengurusan perkara.
Oleh
Riana Afifah
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS— Komisi Pemberantasan Korupsi membongkar dugaan adanya praktik perkara di Mahkamah Agung yang melibatkan bekas petinggi lembaga tersebut. Kasus ini diharapkan menjadi pintu masuk pembenahan badan peradilan tertinggi di Indonesia tersebut.
KPK menetapkan Sekretaris Mahkamah Agung periode 2011-2016 Nurhadi sebagai tersangka melalui surat perintah penyidikan tertanggal 6 Desember 2019. Ini merupakan pengembangan perkara Edy Nasution, bekas Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang ditangkap pada April 2016.
Nurhadi melalui menantunya, Rezky Herbiyono, diduga menerima suap Rp 33,1 miliar dari PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) dan gratifikasi Rp 12,9 miliar untuk mengurus perkara perdata, baik di tingkat pengadilan pertama maupun pengadilan tinggi hingga MA, dalam tahun yang berbeda.
”Berawal dari OTT (operasi tangkap tangan), KPK dapat mengungkap skandal besar mafia hukum. KPK sangat berharap MA benar-benar dapat menjadi tempat bagi masyarakat untuk mencari keadilan sehingga diharapkan para penegak hukum dan pejabat lain yang ada di jajaran peradilan melaksanakan tugasnya secara bersih tanpa korupsi,” tutur Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dalam jumpa pers di Gedung KPK Jakarta, Senin (16/12/2019).
Ini dapat menjadi pintu masuk untuk mengungkap yang lain.
Saut menambahkan, perkara tersebut semestinya juga menjadi pembelajaran agar tidak ada lagi praktik mafia hukum ke depan, yaitu oknum-oknum yang diduga memperjualbelikan kewenangan, pengaruh, dan kekuasaan untuk keuntungan sendiri.
Tak hanya pada pengurusan kasus perdata yang melibat PT MIT, Nurhadi juga diduga mengurus kasus lain. Setidaknya ada enam kasus lain yang diduga melibatkan Nurhadi. Dalam dakwaan dan tuntutan terhadap Edy Nasution, Nurhadi sempat disebut menerima gratifikasi dalam bentuk layanan kesehatan di RS MRCCC Siloam Semanggi bersama istrinya. Edy Nasution dijatuhi hukuman 5 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 150 juta hingga tingkat kasasi.
Oce Madril dari Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum UGM menyampaikan, penetapan tersangka Nurhadi ini dapat menjadi pintu masuk untuk membongkar lebih jauh jaringan mafia hukum di tubuh
peradilan. Sebab, saat itu, polemik dugaan keterlibatan Nurhadi justru ditutup dengan pengunduran dirinya. ”Ini dapat menjadi pintu masuk untuk mengungkap yang lain,” ujar Oce.
Di sisi lain, pembenahan peradilan pun mendesak dilakukan. Tidak sekadar membangun sistem digital yang membantu proses transparansi, pembenahan sumber daya manusia justru yang perlu diutamakan tidak hanya melalui pembangunan wilayah bebas korupsi.
Potongan hukuman
Di sisi lain, MA saat ini juga tengah disorot karena beberapa putusannya, baik di tingkat kasasi maupun peninjauan kembali (PK), menguntungkan terdakwa/terpidana korupsi. Salah satu yang mencolok putusan lepas dari jeratan hukum terhadap mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional Syafruddin A Temenggung.
Secara terpisah, Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro kembali menegaskan, pihaknya memiliki komitmen tinggi terhadap pemberantasan korupsi. Sanksi tegas dapat dijatuhkan kepada siapa pun di jajaran peradilan yang terbukti menerima suap terutama terkait dengan pengurusan perkara.
Terkait dengan hal ini, Saut percaya MA masih bisa dipercaya. ”Kami sangat berharap MA ke depan akan menjadi MA yang agung yang mengedepankan keprofesionalan dan semua yang ada dalam pedoman perilaku hakim itu dilaksanakan,” ujarnya.
Saat ini, ada sejumlah perkara yang menunggu putusan MA, baik di tingkat kasasi maupun PK, di antaranya kasasi advokat Lucas dan PK Anas Urbaningrum.
Pada hari yang sama, KPK juga mengumumkan Undang Sumantri, Pejabat Pembuat Komitmen di lingkungan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, sebagai tersangka dalam proyek pengembangan laboratorium madrasah tsanawiyah yang nilainya melebihi Rp 114 miliar. Ia diduga merugikan negara Rp 16 miliar.