Pada 2020, Pemerintah Kurangi Frekuensi dan Target SBN Ritel
Peminat SBN ritel terus menurun karena sudah jenuh. Hal itu karena pertumbuhan kelompok menengah tidak cukup tinggi untuk mengimbangi penerbitan SBN ritel yang cukup agresif sepanjang 2019.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan kelompok penduduk kelas menengah atas di Indonesia tidak cukup tinggi untuk mengimbangi penerbitan surat berharga negara ritel yang terlalu agresif. Dengan demikian, target penerbitan dan nominal instrumen investasi ritel ini akan dikurangi pada 2020.
Kementerian Keuangan akan mengurangi penerbitan surat berharga negara (SBN) ritel dari 10 kali penerbitan tahun 2019 menjadi maksimal 8 kali penerbitan tahun 2020. Adapun target nominal penerbitan SBN ritel pada 2020 berkisar Rp 40 triliun-Rp 80 triliun.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam mengatakan, peminat SBN ritel terus menurun karena sudah jenuh. Hal itu karena pertumbuhan kelompok menengah tidak cukup tinggi untuk mengimbangi penerbitan SBN ritel yang cukup agresif sepanjang 2019.
”Selain peminat yang terus turun, SBN ritel juga harus bersaing dengan alternatif investasi lainnya, seperti saham dan deposito,” kata Piter yang dihubungi Kompas di Jakarta, Selasa (17/12/2019).
Mengacu pada kriteria Bank Dunia, setidaknya ada 52 juta orang masuk kelas menengah atas di Indonesia pada 2017. Penduduk kelas menengah berkontribusi sekitar 43 persen dari total konsumsi rumah tangga. Kriteria penduduk kelas menengah ini berpendapatan Rp 1,2 juta-Rp 6 juta per orang per bulan.
Piter berpendapat, pertumbuhan kelompok penduduk kelas menengah atas yang tidak terlalu cepat dihadapkan pada instrumen investasi yang beragam, baik di pasar modal maupun perbankan. Dengan demikian, pengurangan frekuensi dan target nominal penerbitan SBN ritel tahun 2020 merupakan langkah tepat.
Di sisi lain, lanjut Piter, pertumbuhan investasi, termasuk SBN ritel, terancam melambat pada 2020. Pemerintah sebagai otoritas fiskal bersama otoritas moneter harus mencari kebijakan terobosan guna menahan perlambatan ini, yaitu dengan lebih melonggarkan likuiditas sehingga dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi.
Dihubungi terpisah, Direktur Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman mengatakan, pengurangan frekuensi dan volume penerbitan SBN ritel tahun 2020 mempertimbangkan realisasi tahun ini yang di bawah target. Realisasi penerbitan SBN ritel tahun 2019 sebesar Rp 49,9 triliun dari 10 kali penerbitan. Pengurangan SBN ritel juga merespons era suku bunga rendah.
”Pemerintah meyakini, realisasi penerbitan SBN ritel tahun 2020 secara jumlah rupiah minimal akan sama meskipun dengan frekuensi penerbitan yang lebih sedikit,” ujar Luky.
Sejauh ini, pemerintah belum mengumumkan jadwal dan jenis SBN ritel yang akan diterbitkan tahun 2020. Namun, Luky menekankan, frekuensi penerbitan SBN ritel untuk jenis sukuk dan konvensional akan seimbang.
Pada 2019, pemerintah menerbitkan SBN ritel 10 kali, terdiri dari saving bond retail (SBR), sukuk tabungan (ST), sukuk ritel (Sukri), dan Obligasi Ritel Indonesia (ORI). Target volume dari 10 kali penerbitan SBN ritel itu berkisar Rp 60 triliun-Rp 80 triliun.
Target meleset
Menurut Luky, nilai nominal penerbitan SBN ritel yang tidak mencapai target ditutup dari lelang surat utang negara ataupun private placement. Di tengah ketidakpastian dan volatilitas ekonomi global, pemerintah menerapkan strategi pembiayaan yang fleksibel, tetapi tetap oportunistik. Skema pembiayaan juga berorientasi pendalaman pasar keuangan.
”Secara keseluruhan, kebutuhan pembiayaan tahun 2019 aman dan terjaga,” kata Luky.
Defisit APBN 2019 diproyeksikan kembali melebar pada kisaran 2-2,2 persen PDB atau senilai Rp 322,08 triliun-Rp 354,29 triliun. Pelebaran defisit APBN menyebabkan target penerbitan SBN neto meningkat. Pada 2019, target penerbitan SBN neto meningkat dari Rp 388,96 triliun menjadi Rp 439,03 triliun.
Pelebaran defisit APBN 2019 salah satunya diatasi dengan pembiayaan asing. Pada Oktober lalu, pemerintah kembali menerbitkan surat utang negara (SUN) berdenominasi dollar AS dan euro masing-masing senilai 1 miliar. Di dalam negeri, pemerintah juga menyerap dana segar sebesar Rp 24,25 triliun melalui lelang SUN pada 5 November lalu.
Selain dari penerbitan obligasi, kata Luky, pembiayaan asing untuk menutup defisit APBN 2019 juga berasal dari pinjaman Bank Pembangunan Asia (ADB) berbasis kebijakan atau policy-based loan senilai 500 juta dollar AS.