Pembatasan Akses Internet Dinilai Melukai Hak Digital Publik
Platform-platform cek fakta belum secara masif diakses masyarakat yang terpapar hoaks. Penyebaran hoaks melalui media sosial juga terjadi lebih cepat dengan cakupan yang luas.
Oleh
Fajar Ramadhan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembatasan akses internet yang dilakukan pemerintah selama tahun 2019 dinilai merugikan masyarakat lantaran tanpa disertai upaya mitigasi. Hak digital masyarakat berkaitan dengan kebebasan akses informasi dan berekspresi juga terenggut.
Direktur Eksekutif SAFENet Damar Juniarto, di Jakarta, Selasa (17/12/2019), menilai, dari tahun ke tahun kontrol pemerintah terhadap internet semakin kuat. Tidak hanya berkaitan dengan konten pornografi, tetapi juga konten yang berkaitan dengan disintegrasi, terutama dalam dua tahun terakhir.
Bahkan, hal baru terjadi pada 2019 dengan pembatasan akses internet oleh pemerintah, yakni pada Mei, Agustus, September. Damar menganggap hal ini mencederai demokrasi dan mengganggu kondisi sosial-ekonomi masyarakat.
”Langkah ini menjadi langkah yang sengaja membatasi dan mengatur akses internet masyarakat. Di dunia, hal ini memang terjadi di mana-mana,” katanya dalam seminar nasional ”Media Sosial dan Tantangan Indonesia di Masa Depan” di Jakarta, Selasa.
Dalam hal ini, SAFENet memberikan catatan terkait pembatasan internet tersebut. Misalnya, tidak ada upaya mitigasi pembatasan akses internet terhadap layanan publik. Selain itu, pemerintah juga tidak menjelaskan secara pasti kapan pembatasan akses tersebut diberlakukan.
”Saat internet dimatikan, beberapa mesin ATM tidak bisa digunakan. Banyak orang juga tidak bisa membaca berita. Bahkan, orang tidak bisa mencari uang karena pekerjaannya terkait dengan akses internet,” ujar Damar.
Damar juga mencermati tidak adanya prosedur standar tentang pembatasan akses internet tersebut. Selain itu, situasi gawat yang mengharuskan pembatasan internet pun tidak didefinisikan secara jelas.
Dampak lain juga muncul akibat pembatasan internet tersebut. Misalnya, Indonesia menjadi negara penginstal Virtual Private Network (VPN). Dengan aplikasi ini, masyarakat justru semakin bebas mengakses konten negatif.
Sementara itu, Damar menyatakan, setiap masyarakat memiliki hak digital atau hak asasi manusia terhadap dunia digital. Pengakuan tersebut seharusnya sudah ada di dunia digital mengingat dunia digital merupakan perpanjangan ruang interaksi masyarakat.
Hak digital yang pertama, misalnya, hak atas akses informasi. Hak ini berkaitan dengan kemerdekaan seseorang atas informasi tanpa dikuasai oleh segelintir orang.
Hak selanjutnya adalah hak berekspresi. Hal ini berkaitan dengan keberagaman konten yang bisa digunakan untuk ruang berekspresi. Selain itu, hak ini juga memungkinkan masyarakat sipil melakukan berbagai gerakan.
”Semenjak internet ada di Indonesia, masyarakat menggunakannya untuk mengelola hal-hal yang berkaitan dengan diri sendiri dan memperbaiki kesejahteraan hidupnya,” ucap Darman.
Hak ketiga adalah hak untuk terjamin keamanannya. Menurut Damar, setiap orang punya hak yang sama untuk bebas dari penyadapan, pemonitoran, pengumbaran data pribadi, dan serangan siber. Hal ini penting mengingat media sosial saat ini sudah menjadi ruang pertarungan antarnegara.
Banyak cek fakta
Selama tahun 2019, penyebaran hoaks di Indonesia marak terjadi, terlebih pada masa pemilu. Dalam hal ini, Project Officer Defenders Partnership HIVOS Afra Suci Ramadhon mengatakan, kemunculan platform pengecekan fakta juga semakin banyak.
Meski begitu, platform-platform tersebut belum secara masif diakses oleh masyarakat yang terpapar hoaks. Penyebaran hoaks melalui media sosial juga terjadi lebih cepat dengan cakupan yang luas.
”Bisa dibayangkan, kalau kita menerima informasi, harus dicek terlebih dahulu, sedangkan di saat bersamaan banyak orang langsung membagikan begitu saja,” kata Afra.
Berdasarkan riset yang dilakukan HIVOS pada anak muda usia 15-22 tahun di Kota Depok, Jawa Barat, diketahui bahwa mereka tidak mudah terjebak dalam polarisasi yang terjadi saat pemilu. Hal ini karena mereka tidak merasa memiliki ikatan elektoral apa pun dengan calon masing-masing.
”Mereka mengabaikan hoaks terkait politik. Justru polarisasi di kalangan yang lebih senior membuat mereka terganggu,” ucapnya.
Menurut Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden Santi Hapsari Paramita, ke depan, Indonesia akan menghadapi tantangan media sosial yang semakin banyak dan beragam. Banyak platform baru yang akan bermunculan pada tahun depan.
”Di sisi lain, hoaks menyebar secara cepat, terus-menerus, dan berulang-ulang,” lanjutnya.
Dalam hal ini, Kantor Staf Presiden bekerja sama dengan kementerian dan lembaga akan terus merilis pernyataan klarifikasi terkait kemunculan hoaks yang menyerang pemerintah.