Perdagangan global tumbuh lambat, penuh persaingan, dan diwarnai proteksionisme. Indonesia perlu memperkuat negosiasi dan investasi berbasis ekspor bernilai tambah tinggi.
JAKARTA, KOMPAS -Perlambatan ekonomi global semakin berdampak pada perlambatan kinerja perdagangan Indonesia. Salah satu indikatornya adalah neraca perdagangan Indonesia pada Januari-November 2019 defisit 3,105 miliar dollar AS atau Rp 43,4 triliun.
Perlambatan kinerja perdagangan itu antara lain disebabkan oleh penurunan harga komoditas dan proteksi perdagangan sejumlah negara guna menyeimbangkan neraca perdagangan. Untuk menghadapinya, Indonesia perlu memperkuat negosiasi dan investasi bernilai tambah tinggi yang berorientasi ekspor. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan Indonesia pada November 2019 defisit 1,33 miliar dollar AS. Nilai defisit itu terbesar kedua sepanjang Januari-November 2019, setelah April 2019 yang defisit 2,29 miliar dollar AS.
Defisit pada November itu semakin melebarkan defisit neraca perdagangan pada Januari-November 2019 menjadi sebesar 3,105 miliar dollar AS. Pada November 2019, ekspor di hampir semua sektor turun cukup tajam, kecuali pertanian yang tumbuh 4,42 persen secara tahunan. Ekspor migas turun 15,81 persen, industri pengolahan turun 1,66 persen, serta pertambangan dan lainnya turun 19,09 persen.
Kepala BPS Suhariyanto, Senin (16/12/2019) di Jakarta, mengatakan, terjadi penurunan mayoritas harga komoditas global. Rata-rata harga agregat barang ekspor Indonesia pada November 2019 mayoritas turun dibandingkan November 2018, seperti minyak mentah turun 3,12 persen, gas 6,85 persen, dan industri pengolahan hasil minyak 28,1 persen.
Nilai ekspor bahan bakar mineral pada Januari-November 2019 turun sebesar 9,67 persen dibandingkan periode sama 2018. ”Penurunan harga komoditas itu berpengaruh pada total nilai ekspor karena kontribusinya terhadap ekspor nasional sebesar 14,5 persen,” katanya.
Hambatan perdagangan
Namun, penurunan nilai ekspor itu tak hanya karena harga komoditas global yang rendah. Hambatan perdagangan juga mulai berpengaruh pada kinerja ekspor Indonesia. Salah satunya adalah dari India yang menaikkan bea masuk impor minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya. Ini menyebabkan nilai ekspor Indonesia ke negara itu turun 16,29 persen per November 2019.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) juga menilai Uni Eropa (UE) telah mendiskriminasikan CPO dan produk turunannya. ”UE telah menggolongkan kelapa sawit mentah dalam kelompok tanaman yang berisiko tinggi terhadap alih fungsi lahan dalam dokumen Arahan Energi Terbarukan (RED) II. Penggolongan ini jadi hambatan ekspor CPO sebagai bahan bakar nabati di pasar UE,” kata Direktur Pengamanan Perdagangan Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Pradnyawati.
Hal ini mengakibatkan, biofuel dari CPO tidak termasuk dalam pemakaian energi terbarukan UE pada 2020-2030. BPS mencatat, ekspor nonmigas Indonesia ke UE turun 16,95 persen per November 2019. Sebelumnya, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dalam laporan ”Hambatan Perdagangan” yang dirilis 12 Desember 2019 menyebutkan, nilai perdagangan negara-negara anggota WTO yang terdampak penerapan kebijakan hambatan impor melonjak.
Penggolongan ini jadi hambatan ekspor CPO sebagai bahan bakar nabati di pasar UE.
Pada periode Oktober 2018-Oktober 2019, nilai perdagangan yang terdampak kebijakan hambatan impor sebesar 747 miliar dollar AS. Jumlah itu meningkat dari Oktober 2017-Oktober 2018 yang senilai 588 miliar dollar AS. Laporan itu juga menunjukkan ada 102 kebijakan pembatasan perdagangan baru diberlakukan anggota-anggota WTO. Kebijakan pembatasan impor itu memengaruhi 7,5 persen nilai impor dunia.
Pada akhir 2018, nilai impor dunia yang terpengaruh kebijakan itu sebesar 1,5 triliun dollar AS dari total 19,5 triliun dollar AS impor dunia. Pada pertengahan Oktober 2019, dampaknya ke impor dunia diperkirakan meningkat jadi 1,7 triliun dollar AS. Ini membuat WTO menurunkan proyeksi pertumbuhan perdagangan dunia pada 2019 menjadi 1,2 persen dan 2020 jadi 2,7 persen.
Menurut Pradnyawati, pemerintah menguatkan strategi pengamanan perdagangan. Negosiasi secara bilateral dan multilateral akan terus diperkuat guna menghadapi hambatan perdagangan. Konkretnya, Kemendag telah melayangkan gugatan terhadap UE terkait diskriminasi CPO ke WTO.
Transformasi
Presiden Joko Widodo meminta transformasi ekonomi mulai dikerjakan. Menghentikan ekspor barang mentah dan mendorong ekspor barang jadi atau setengah jadi adalah strategi yang harus konsisten dikerjakan untuk mengatasi defisit neraca perdagangan. Defisit itu terjadi akibat impor yang lebih besar dari ekspor. Impor ini terutama pada produk energi, barang modal, dan bahan baku. Impor barang modal dan bahan baku tak terlalu jadi masalah jika masih bisa diekspor kembali.
Namun, impor minyak dan gas Indonesia semakin tinggi. ”Saat ini, impor minyak sudah 700-800 barel per hari. Selain itu, masih ada impor gas dan bahan turunan petrokimia. Ini bertahun-tahun tidak diselesaikan sehingga membebani dan menyebabkan defisit,” kata Presiden.
Ekonom PT Bank Permata Tbk Joshua Pardede berpendapat, dalam jangka pendek, pemerintah perlu terus mendorong penciptaan nilai tambah dari industri yang memiliki potensi ekspor besar, seperti industri furnitur, karet dan plastik, logam dasar, dan barang logam. Di saat yang sama, substitusi impor juga harus direalisasikan, terutama pada industri kimia dan farmasi, mesin, serta alat angkutan.
Saat ini, impor minyak sudah 700-800 barel per hari.
Pemerintah mengakui mayoritas produk ekspor Indonesia masih diproduksi oleh industri dengan teknologi rendah. Berdasarkan data pola ekspor Indonesia ke negara-negara anggota Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP), misalnya, produk olahan industri dengan teknologi tingkat rendah mendominasi dengan nilai sekitar 25 juta dollar AS.
Adapun ekspor produk hasil olahan industri dengan teknologi tingkat tinggi-menengah dan tingkat tinggi masing-masing 10 juta dollar AS-15 juta dollar AS dan 5 juta dollar AS. ”Kita perlu meningkatkan kuantitas jenis produk dan kualitasnya untuk menikmati manfaat optimal dari RCEP,” kata Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag Iman Pambagyo.