Tri menganjurkan teknik imobilisasi, yakni mengikat bagian tubuh yang terkena gigitan dengan bidai, kayu, atau benda kaku lainnya agar pergerakan otot di sekitar luka gigitan berkurang.
Oleh
Aditya Diveranta/Ayu Pratiwi/Aguido Adri
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tren kemunculan ular di sejumlah kawasan permukiman Jakarta dan sekitarnya beberapa pekan terakhir kurang disikapi dengan kewaspadaan oleh warga. Sebagian besar warga belum tahu cara mengantisipasi saat ular atau hewan berbahaya lainnya muncul.
Sejumlah warga yang mengalami kemunculan ular di Jakarta, Selasa (17/12/2019), mengatakan tidak pernah tahu cara mengantisipasi kemunculan ular. Kejoy (32), warga Kembangan, Jakarta Barat, mengaku panik saat muncul tiga ular di sekitar tempat kerjanya di Jalan Langgar RT 004 RW 003, Kelurahan Joglo, Kembangan, Jakarta Barat.
”Ular yang muncul pada Minggu (15/12/2019) lalu membuat saya kaget. Mulanya keluar tiga ular kecil. Namun, setelah ditelusuri, ternyata ada hampir 18 ular yang bersarang di dalam lubang saluran air,” ujar Kejoy saat ditemui di Kembangan, Jakarta Barat.
Kepanikan serupa dialami Amran (42), warga Tanjung Priok, Jakarta Utara. Saat itu, Jumat, 13 Desember, warga geger ketika ular kobra memasuki perkampungan. Tidak ada warga yang berani menangkap ular tersebut.
”Tidak ada warga yang tahu cara menangani ular. Sampai kemudian warga meminta bantuan petugas damkar. Ini bukan pertama kali ular masuk ke wilayah manusia. Sebelumnya ada ular kobra juga, tidak besar, tapi buat warga takut,” tutur Amran.
Warga di Kelurahan Rawajati, Pancoran, Jakarta Selatan, mengalami hal yang sama. Ketua RT 004 RW 007 Rawajati Ihin Solihin menyatakan, warga di kawasannya kerap panik saat muncul ular serta hewan berbahaya lain saat musim hujan.
Permukiman tersebut berlokasi di pinggir sungai sehingga kerap ditemukan ular dan biawak. Saat hujan pada Februari 2019, warga heboh karena menemukan sarang ular di selokan rumah.
”Sebagian wilayah dekat sungai mungkin begitu. Kalau ketemu ular atau biawak, warga ada yang nekat menangkap. Tahun 2006, ada yang meninggal karena digigit ular saat banjir,” ujar Ihin.
Di Kelurahan Meruya Utara, Jakarta Barat, satwa tersebut juga memasuki rumah warga. Sutopo AR (70), warga Meruya Utara, mengatakan, rumahnya pernah dimasuki biawak sepanjang sekitar 1 meter.
”Hal itu mungkin wajar karena lokasi rumah saya dulunya rawa-rawa, bersebelahan dengan taman rumput dan sungai pula. Untungnya, yang saya tahu, warga sini tidak pernah ada yang jadi korban hewan berbahaya,” ucap Sutopo.
Ketua Yayasan Sioux Ular Indonesia Aji Rachmat berpendapat, warga Indonesia secara umum belum memiliki pemahaman yang mumpuni akan keberadaan ular di sekitar kawasan permukiman. Satu konsep yang sering gagal dipahami warga mengenai hewan berbahaya adalah hewan tidak akan mengincar manusia sebagai mangsa.
”Umumnya, mereka hanya melakukan mekanisme pertahanan karena merasa terancam bahaya,” ujarnya.
Aji menduga, maraknya kemunculan ular di sejumlah wilayah merupakan tanda pergeseran ekosistem dan habitat hewan. Bisa jadi, fenomena ini merupakan dampak pembangunan yang lebih berpihak pada manusia.
”Mungkin sudah menjadi konsekuensi saat kawasan permukiman kita dihinggapi sebagian jenis hewan berbahaya. Ular yang punya daya adaptasi tinggi mungkin kini menyesuaikan dengan habitat permukiman. Kawasan permukiman itu mungkin rawa-rawa yang menjadi habitat natural bagi ular,” tutur Aji.
Menurut dia, langkah antisipasi yang dapat dilakukan ialah menjaga kawasan permukiman agar tetap bersih. Sebab, ular dan hewan berbahaya lainnya bukan mengincar manusia, melainkan karena ada mangsa yang bersembunyi di permukiman.
”Jangan biarkan ada kawasan yang kotor dan lembab di rumah karena dikhawatirkan menjadi tempat satwa berkembang biak. Lantai dan ruangan juga sebaiknya diberi wangi-wangian yang menyengat. Hal tersebut tidak disukai satwa seperti ular,” lanjut Aji.
Penanganan korban
Pakar gigitan ular dan toksikologi Tri Maharani mengatakan, warga juga belum paham terhadap penanganan medis pertama bagi korban gigitan ular. Penyebaran bisa ular terjadi melalui kelenjar getah bening yang ada pada otot-otot di sekitar bekas gigitan ular.
”Ada salah pemahaman warga yang justru mengisap atau mengeluarkan darah di sekitar luka korban. Hal ini tidak dianjurkan. Karena menyebar melalui kelenjar getah bening pada otot, justru sebaiknya bagian tubuh yang terkena gigitan itu tidak banyak bergerak,” kata Tri, yang juga Penasihat WHO untuk Kasus Gigitan Ular.
Tri menganjurkan teknik imobilisasi, yakni mengikat bagian tubuh yang terkena gigitan dengan bidai, kayu, atau benda kaku lainnya agar pergerakan otot di sekitar luka gigitan berkurang.
”Imobilisasi semestinya dapat menahan penyebaran bisa ular, hingga korban dirujuk ke rumah sakit terdekat,” ucap Tri.