Perlu Kewaspadaan dan Deteksi Dini Pemda untuk Cegah Demam Babi
Kewaspadaan dini dan deteksi dini menjadi penting untuk mencegah meluasnya wabah demam babi Afrika.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA
·3 menit baca
BADUNG, KOMPAS — Ketua Umum Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) Muhammad Munawaroh meminta pemerintah di daerah yang wilayahnya masih bebas dari wabah demam babi Afrika segera bertindak untuk mencegah penularan penyakit demam babi Afrika yang disebabkan virus African swine fever (ASF). Kewaspadaan dini dan deteksi dini menjadi penting untuk mencegah meluasnya wabah demam babi Afrika.
Hal itu dikatakan Munawaroh kepada Kompas ketika menghadiri acara simulasi penyakit hewan eksotik ASF yang diadakan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian di Kuta, Kabupaten Badung, Bali, Rabu (18/12/2019). Munawaroh diminta tanggapannya terkait laporan Pemerintah Indonesia kepada Organisasi Kesehatan Hewan Dunia tentang terjadinya wabah demam babi Afrika di 16 kabupaten/kota di Sumatera Utara.
”Kita semua berharap wabah ini tidak menyebar lebih luas meski ini bukan upaya yang mudah karena penularan virus ASF itu sangat mudah,” kata Munawaroh di Kuta, Badung, Rabu malam.
Adapun laporan Pemerintah Indonesia terkait wabah demam babi Afrika ke Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (Office International des Epizooties/OIE) sudah diumumkan melalui situs web OIE pada 17 Desember 2019. Kompas juga memperoleh foto salinan Keputusan Menteri Pertanian tentang Pernyataan Wabah Penyakit Demam Babi Afrika pada Beberapa Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara yang ditandatangani Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo tanggal 12 Desember 2019.
Kita semua berharap wabah ini tidak menyebar lebih luas meski ini bukan upaya yang mudah karena penularan virus ASF itu sangat mudah.
Munawaroh menyatakan, pemerintah daerah memiliki kewajiban dan sumber daya melindungi wilayahnya dari penularan penyakit serta melindungi masyarakatnya dan menjaga sumber daya daerah, termasuk hewan ternaknya. Pemerintah daerah dapat memetakan lokasi-lokasi peternakan babi, termasuk pula memetakan risiko penyakitnya. ”Melalui KIE, yakni komunikasi, informasi, dan edukasi,” kata Munawaroh.
Munawaroh juga menyoroti pentingnya pencegahan penularan virus ASF melalui sampah sisa makanan dari sisa katering pesawat ataupun kapal yang digunakan menjadi pakan (swill) ternak babi. Menurut Munawaroh, sampah dari sisa makanan dapat dimanfaatkan sebagai pakan babi asal diproses dan dimasak terlebih dahulu.
Secara terpisah, tetapi dalam kesempatan yang sama, Ketua Asosiasi Epidemiologi dan Ekonomi Veteriner Indonesia Anak Agung Gde Putra mengatakan, penularan virus ASF dapat melalui kontak langsung antara babi dan melalui kontak tidak langsung.
Pemanfaatan sampah sisa makanan, terutama sisa makanan yang mengandung daging babi atau produk babi olahan dari negara yang terjadi wabah ASF, dinilai berisiko menularkan virus ASF. Agung juga menyatakan kewaspadaan dini dan deteksi dini menjadi penting dalam mencegah merebaknya demam babi Afrika di daerah yang masih bebas penyakit ASF itu.
”Dampak dari wabah itu sangat besar. Tidak hanya merugikan peternak, tetapi juga kehidupan dan penghidupan masyarakat,” ujar Agung di Kuta, Badung. Menurut Agung, kewaspadaan dini dan deteksi dini menjadi sangat diperlukan pada tahap prabencana, terutama di daerah-daerah yang tergolong daerah berpotensi tinggi merebaknya penyakit demam babi Afrika, termasuk di Bali.
Kepala Dinas Peternakan Provinsi Bali I Wayan Mardiana mengatakan, hingga saat ini Bali masih bebas dari penyakit demam babi Afrika. Ditemui di Kuta, Rabu malam, Mardiana menyatakan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait, di antaranya dinas peternakan di kabupaten dan kota, otoritas bandara, balai karantina, dan maskapai penerbangan terkait upaya mencegah masuknya penyakit demam babi Afrika di Bali.